Bau Tak Sedap Seni Rupa Indonesia Modern

Dalam konstelasi seni rupa Indonesia, keberadaan lukisan palsu selalu mendapat tempat untuk dipergunjingkan. Seperti sebuah siklus, yang sekali waktu muncul jadi perhatian, kali lain redup, lantas muncul lagi dan begitu seterusnya. Saat ini, situasi seni rupa Indonesia modern dihadapkan pada posisi sulit. Sejumlah kurator dan pemerhati seni rupa mempertanyakan keaslian karya-karya lukisan yang dipajang di Museum Oei Hong Djien (OHD), Magelang, Jawa Tengah. 

Lukisan-lukisan yang diduga palsu itu terkait dengan karya para perupa yang menjadi bagian penting dalam memunculkan gagasan tentang seni rupa modern di Indonesia, seperti Sudjojono, Affandi, Hendra Gunawan, dan Soedibio. Dugaan keberadaaan karya-karya palsu tersebut tidak hanya merongrong kredibilitas museum dan sosok OHD selaku kolektor kenamaan di Indonesia, melainkan juga merugikan keluarga besar seni rupa Indonesia. 

Betapa lemah dan rapuhnya dasar-dasar infrastruktur seni rupa Indonesia saat ini. Tidak ada yang lembaga atau pihak yang bisa dijadikan acuan secara mutlak untuk menyatakan keabsahan sebuah karya seni lukis. Dampaknya, semua pihak yang memiliki koleksi karya old master Indonesia kebingungan dalam menjawab pertanyaan seputar otentisitas karya-karya yang dikumpulkannya dengan susah payah. Jika tidak segera ditemukan langkah-langkah antisipatif, situasi ini akan menyebabkan hilangnya kepercayaan yang setara dengan hilangnya nilai-nilai intrinsik yang terkandung dalam karya seni lukis para maestro seni rupa Indonesia modern. 

Untuk tidak sampai pada jurang semacam itu, sebagai upaya menuju langkah antisipasi, pada Kamis dua pekan lalu diselenggarakan "Fine Art Round Table Discussion: Indonesia Modern Paintings" di Galeri Nasional Indonesia (GNI), Jakarta. Diskusi terbuka ini menghadirkan OHD sebagai pihak yang perlu mengklarifikasi adanya tuduhan karya-karya palsu di museumnya. Juga hadir sejumlah pihak yang dianggap menguasai masalah, antara lain Eddy Soetriyono, Jim Supangkat, Enin Supriyanto, Suwarno Wisetrotomo, Hendro Wiyanto, Dr. Werner Kraus, Hermanu, Edi Sunaryo, dan nama-nama lainnya. Sri Malela Mahargasarie dan Lin Che Wei bertindak selaku moderator. 

OHD menyatakan bahwa dirinya terbuka terhadap diskusi semacam itu. Ia secara gentleman akan menurunkan karya apabila suatu ketika telah dibuktikan bahwa memang ada karya seni rupa palsu yang dipajang di museumnya. Sepanjang pengalamannya sebagai kolektor, OHD mengaku pernah tertipu dengan menggantungkan salah satu karya Raden Saleh yang dipalsukan. Ia menyebutnya "Raden Salah" dan menjadikan peristiwa itu sebagai pelajaran berharga. Dalam hubungannya dengan karya lama, OHD mengaku sering kedatangan orang yang membawa karya para maestro dalam kondisi menyedihkan. Ia tidak lepas dari kebimbangan antara kehilangan momen atau kehilangan uang. 

Kehilangan momen karena tidak membelanjakan dengan alasan tidak mau kehilangan uang lantaran ragu pada keasliannya. Di pihak lain, ia akan kehilangan uang apabila setelah dibelinya ternyata karya tersebut palsu. Jika dihadapkan pada situasi itu, OHD mengaku akan memilih lebih baik kehilangan uang daripada kehilangan momen. Jikalau nanti karya itu asli, ia akan mendapatkan momen sejarah berupa nilai yang tak terkirakan karena itu karya maestro asli. Jika kelak terbukti karya yang bersangkutan palsu, buat OHD, ia hanya kehilangan uang. Sikap semacam itu dianggap sebagai langkah progresif dalam rangka berbuat untuk memajukan karya seni rupa Indonesia modern. 

Memang langkah-langkah spekulasi itu bisa dijadikan sarana untuk menemukan karya seni rupa yang bersejarah, walaupun berisiko besar. Dalam keadaan tidak menentu pada 1940-an hingga 1960-an, karya-karya para maestro seni rupa Indonesia tidak diketahui nasibnya. Dalam masa revolusi fisik maupun politik dengan latar ekonomi yang buruk, sangat mungkin sebuah karya tidak terurus dan tidak masuk akal membicarakan dokumentasi yang layak lantaran nyawa dan makan lebih penting. Apa yang dilakukan OHD tentu sangat bernilai, dan itulah salah satu kontribusi utama OHD terhadap seni rupa Indonesia modern. 

Namun tidak pula menjadikan dirinya imun terhadap penilaian dari pihak luar. Terlebih, karya-karya tersebut telah dipajang di museumnya sehingga telah menjadi bagian dari publik. Menggembirakan sekali, OHD sendiri terbuka terhadap penilaian itu sejauh apa yang disampaikan berdasar. Sebagaimana ditekankan salah satu kolektor, Budi Setiadharma, penting untuk bersikap penuh tanggung jawab atas apa yang menjadi koleksi sebuah museum. Sebab museum menjadi rujukan bagi banyak orang terhadap karya seni rupa beserta nilai intrinsik yang dikandungnya. 

Memang, yang menjadi masalah utama ketika karya yang berasal dari puluhan tahun silam, titik utamanya ada di dokumentasi. Ketika dokumentasi standar tidak ada, maka yang dibutuhkan adalah dokumentasi yang mungkin bisa dikumpulkan sebagai instrumen untuk menentukan apakah karya tersebut asli atau tidak, masuk akal dilukis tahun sekian atau tidak. Para peserta panel maupun peserta umum cenderung tidak langsung pada persoalan asli-palsu yang menerpa karya Sudjojono, Hendra Gunawan, dan Affandi. 

Hanya Ucok alias Aminuddin Th. Siregar yang lantang menyampaikan adanya kejanggalan dalam sejumlah lukisan yang dipajang di Museum OHD. Antara lain, pertama, melihat karya Soedibio dengan ukuran besar dan kanvas utuh yang dipajang di Museum OHD, misalnya Perdjalanan ke Langit (150 x 300 cm, 1946). Menurut Ucok, adalah sebuah kemustahilan untuk mencari kanvas ukuran besar, apalagi utuh tanpa jahitan, pada akhir 1940-an. Ucok membandingkannya dengan lukisan Soedibio yang ada dalam koleksi Bung Karno yang berukuran cukup kecil dan rata-rata ada jahitan yang menunjukkan dua kain disambung. Kanvasnya juga berupa kain belacu/kain goni. Kondisi kanvas ini menunjukkan betapa miskinnya keadaan pada masa revolusi itu sehingga tidak mampu membeli kanvas yang layak. 

Kedua, pada lukisan Pangeran Diponegoro, ada bayonet yang bentuknya terlalu sederhana dan tombak yang ujungnya terlihat lancip. Sudjojono sebelum melukis melakukan riset hingga ke Belanda selama tiga bulan. Sehingga sulit diterima hasil lukisannya begitu sederhana dari sebuah riset yang serius. Menurut Ucok yang juga staf pengajar di Fakultas Desain dan Seni Rupa ITB ini, Sudjojono memiliki prinsip kebenaran dulu, baru kemudian kebagusan. Artinya, sulit diterima Sudjojono melukis bayonet mirip bayonet Ramboo dan tombak lancip karena bertentangan dengan prinsip kebenaran yang berarti keakuratan.

Ketiga, sulit diterima akal lukisan Perdjuangan Belum Selesai bertahun 1967 menunjukkan laki-laki membawa celurit. Pasalnya, Sudjojono masih dalam masa tiarap karena perubahan rezim yang anti-PKI. Sebuah tindakan sulit diterima bila dalam situasi mencemaskan stigma PKI, justru Sudjojono yang bekas anggota PKI melukis lelaki membawa celurit. 

Ucok yang menyusun tesis berjudul "Sudjojono: Sang Ahli Gambar" pada kesempatan lain mengatakan, ada dua model untuk memvalidasi sebuah karya lukis yang harus dilakukan musem seni milik pemerintah yang kredibel. Pertama, memanfaatkan teknologi, dan kedua menggunakan sejarah seni. Dalam pemanfaatan teknologi, misalnya, pengujian bahan cat minyaknya. Cat minyak yang lazim digunakan saat itu oleh perupa diperbandingkan dengan cat yang ada pada lukisan yang dianggap meragukan. Uji laboratorium ini bisa menunjukkan apakah cat yang digunakan untuk lukisan yang meragukan itu sesuai dengan zamannya ketika perupanya hidup. 

Namun para pemalsu lukisan bukanlah orang yang bodoh. Mereka menyesuaikan bahan yang ada pada zaman tersebut. Untuk itu, perlu dipadukan pendekatan teknologi dengan pendekatan sejarah seni. Pendekatan seni ini, antara lain, menggunakan metode biografi, historis, psikologi seni, dan formalisme. Paparan Ucok itu adalah masukan yang layak diperhatikan jika memang ada rencana menjadikan diskusi di GNI tempo hari sebagai peristiwa yang berkelanjutan. Bersamaan dengan itu, sesungguhnya ini momentum yang baik untuk memperbaiki insfruktur oleh pemerintah berupa museum seni yang berisi para sejarawan seni yang berwibawa karena ilmunya. 


Imam Muhtarom, pemerhati seni rupa 

Tulisan ini terbit di Majalah GATRA, 6 Juni 2012

0 comments:

Post a Comment

 

Buku Saya


Created with flickr slideshow.

Pemilik Blog

.

.

Translate

PageRank