Meja tepat di depan kududuk dilapisi kain coklat tanpa corak. Sepertinya belum lama dipasang. Aku melihatnya dengan pikiran siapa yang terakhir kali mengganti pelapis meja. Aku hanya menduga bahwa tak ada orang lain kecuali ibuku yang memasangnya. Beberapa lamanya ibu besarta bapak tidak aku temui.
Ibuku berada jauh dari rumahku. Aku baru saja tiba dari Surabaya. Seratus lima puluhan kilometer perjalanan ke arah selatan. Ibu tinggal bersama bapak dan hanya disertai burung-burung yang hidup dibiarkan di belakang rumah. Berderet rumah burung-burung itu dan menyerupai rumah panggung namun bentuknya kecil. Burung-burung itu dibiarkan dan hidup dengan mencari biji-bijian sendiri di alam.
Ibuku tidak begitu peduli pada burung-burung itu. Ibuku hanya akan menyuruh seseorang untuk segera membenahi rumah-rumah panggung apabila rumah-rumah panggung tidak lagi dapat menampung burung-burung itu. Ibuku tidak berusaha menawar-nawarkan bahkan menjualnya ke para pedagang hewan yang beberapa hari lewat rumah. Tetapi ibu akan dengan senang hati memberikan burung-burung itu kepada orang yang memintanya kecuali memintanya untuk disembelih.
Burung-burung itu akan terbang dua kali sehari. Terbang pagi hari dan sore hari. Puluhan burung-burung itu akan terbang mencapai di antara awan dengan cara terbang memutar puluhan kali dan memakan waktu berjam-jam. Setelah timbul tenggelam di antara awan maka burung-burung itu akan turun dengan cara perlahan-lahan dan akan kembali ke rumah panggungnya masing-masing. Burung-burung yang memiliki anak akan melihat anak-anaknya, sementara burung-burung yang tidak memiliki anak akan berkasih-kasihan di atap rumah panggungnya masing-masing. Beberapa waktu kemudian burung-burung itu akan turun ke tanah dan mencari biji-bijian.
Aku tidak tahu dan belum pernah bertanya pada ibu dari mana burung-burung itu. Aku hanya tahu bahwa burung-burung itu telah menjadi teman ibu terlebih semenjak kami tidak lagi tinggal di rumah untuk meneruskan kuliah. Setiap pagi jika ada makanan sisa, ibu akan menyebarkan makanan itu di pelataran belakang rumah persis di bawah rumah panggung burung-burung itu.
Puluhan burung-burung itu akan beterbangan begitu melihat ibu menyebar sesuatu ke bawah rumah mereka. Maka akan tampak burung warna-warni memenuhi pelataran rumah itu dan ibu akan memandanginya tanpa berkedip untuk beberapa lamanya. Ibu biasanya secara tak sengaja menghitung burung-burung itu dan akan berkata untuk dirinya sendiri, "Lho, di mana si jambul nakal itu. Nah, itu si putih tukang kalah yang kemarin tidak terlihat. Wah, anak si jambul sudah bisa terbang."
Ibu akan melihatnya sampai makanan yang disebarkan itu tak bersisa dan beberapa burung terbang kembali ke rumah panggungnya. Sebelum menutup pintu dan kembali ke urusan masak, ibu akan berseru, "Hayo terbang ke langit sana. Kamu kan cuma enak-enakan sendiri." Bila aku ada di situ biasanya akan kutimpali, "Kok dimarahi Bu?"
"Bukan dimarahi. Begitu itu perkerjaannya. Makan, main-main di angkasa, tidur, beranak, seolah tidak ada yang lebih berguna dari itu."
"Tapi kenapa ibu mencari-cari bila si jambul tidak muncul berhari-hari?" "Ya, kasihan saja. Mungkin tersesat tak bisa kembali pulang setelah berputar-putar di langit."
"Seperti bapak ya," godaku. "Dibiarkan saja kalau sedang di rumah, tapi akan dicari-cari sampai ke mana-mana bila pergi dan tak pulang esoknya saja. Dulu itu ketika bapak pergi empat hari ternyata sendirian pergi ke kota Yogyakarta dan pulang-pulang membawakan pakain dari batik yang bagus dan sandal dari kulit."
"Ya, tidak. Masak bapakmu kau samakan dengan burung-burung itu."
"Bukan itunya, Bu. Ibu mendiamkan saja bapak persis kepada burung-burung itu, tetapi akan mencarinya kemana-mana bila tidak muncul sehari saja." "Kalian, ini sukanya membuat ibu terpojok saja," kata ibu dengan senyum dan berjalan melewatiku.
Setiap ibuku berkata seperti itu kami seakan menangkap sebuah sikap setia yang sulit terucapkan. Tidak seperti generasiku. Aku akan mengatakan secara terbuka apa yang ada dalam benakku. Kalau suka dengan gamblang aku katakan suka, bila tidak akan aku katakan bahwa aku tidak suka. Aku memang jarang (atau tidak bisa?) menggunakan bahasa isyarat.
Aku tidak tahu bagaimana ibu dan bapak akan berdiam-diam tidak bicara karena bapak tanpa satu pesan pun pergi ke kota Yogyakarta beberapa hari yang lalu. Empat hari lagi! Aku rasa ibu bukan seorang pencemburu buta. Ibu sudah berumur. Dan pastinya masa cemburu buta itu sudah sirna bersama bertambahnya usia dan semakin dewasanya kami anak-anaknya. Ibu hanya merasa bapak seperti telah mengganggapnya orang lain. Ibu akan malu bila suatu kali saudara bertemu dengan saudara dari Yogyakarta di mana bapak berkunjung.
Ibu merasa tidak pantas sekali seorang bertamu tanpa membawa apa pun. Memang bisa membawa oleh-oleh dari luar rumah dengan cara membelinya dan nanti diberikan kepada orang yang akan dikunjungi. Tapi itu kan tidak pantas? Saru, kata ibu pernah bilang. Menurut ibu itu pertanda bukan berkunjung karena dari hatinya tetapi lebih karena alasan-alasan lain.
Ibu mendiamkan bapak berhari-hari lamanya semenjak kepulangannya dari Yogyakarta. Ibu tidak menanggapi oleh-oleh pakaian dan sandal bagus itu. Ibu hanya berkomentar pendek, "Seperti anak muda saja."
Bapak diam. Kami lihat bapak juga merasa salah, tapi tidak tahu mesti berbuat apa. Ia hanya mengatakan minta maaf dan berjanji akan mengajak ibu.
"Bukan persoalan aku harus ikut atau tidak Pak. Bapak ini bertamu ke orang, di Yogyakarta lagi. Masak disamakan dengan bertamunya anakmu yang masih kuliah. Mereka masih muda dan berbeda dengan kita-kita yang sudah tua dan tahu betul tata cara bertandang ke rumah orang, Pak. Sekalipun ia adikmu sendiri."
"Ya, ya Bu, aku salah. Aku memang tergesa-gesa kemarin sebab aku kangen betul sama adikku itu. Dia itu dulu nakalnya minta ampun, Bu. Bayangkan menggoda orang dengan membungkus kotoran kerbau yang masih hangat dan dibungkus dengan pembungkus pakaian baru seperti yang aku bawa itu. Kamu tahu, Bu, siapa yang mengambilnya waktu itu Bu, sekretaris camat yang tinggalnya di ujung gang tempat kami tinggal. Tapi sekarang dia sangat baik, sopan, dan akan diangkat menjadi guru besar di Yogya."
"Itu sih urusan Bapak. Yang jelas Ibu tidak mau lagi Bapak bertamu dengan gaya selonongan seperti anak muda ini lagi," kata ibu dan beranjak meninggalkan bapak di ruang tamu.
Bapak diam. Memandang ibu masuk kamar. Besoknya dengan mudah ibu melupakan kejadian dengan bapak itu dan menjalankan kegiatan seperti biasanya. Tapi Bapak tidak. Bapak akan diam terus sampai berhari-hari sampai aku harus ikut menanyakan apa yang sedang bapak pikirkan. Bapak berusaha mengalihkan perhatian dengan bacaan-bacaan berita dari koran. Bapak mengatakan tidak sepakat dengan cara pemerintahan sekarang ini. Pemerintah mustahil berhasil mengelola masyarakat jika masih menggunakan susunan menteri yang tawar-menawar itu. Mengabaikan profesionalisme.
Bapak terus saja mengutarakan ketidaksetujuan itu meskipun aku tahu pikiran bapak sebenarnya tidak sedang ke arah yang dibicarakan itu. Bapak sebenarnya kalut ketika ibu kecewa dengan tindakan bapak yang selonongan itu. Tapi bapak tidak mengatakan itu kepadaku. Aku diam. Aku mendengarkan ucapan bapak yang saat itu tak beda dengan pengamat ekonomi-politik di sebuah acara televisi yang disiarkan secara langsung.
Setelah aku rasa bapak sudah cukup dengan pendapatnya aku sedikit menyinggung tentang masalah ibu, "Kenapa sih Ibu sama Bapak jarang ngobrol seperti biasanya?"
"Siapa bilang kami jarang ngobrol. Kemarin malam kami ngobrol sampai larut malam."
"Tapi ngobrolnya tidak seenak biasanya," godaku.
"Ah, kalian ini sukanya ingin tahu saja. Urusi kuliahmu, cepat lulus, dan jangan sampai jatuh nilainya. Contoh pamanmu di Yogya itu?"
Aku tidak mungkin berkata sepatah kata pun di depan bapak. Aku diam, bapak beranjak dan mengurusi burung jalaknya.
"Burung ini sangat bagus warnanya. Suaranya enak. Bersih. Tidak berisik. Tidak kampungan. Sedikit makan. Coba lihat burung-burung piaraan ibumu di belakang rumah itu. Sudah warnanya blirik, berjambul, berisik, makannya berkilo-kilogram baru kenyang. Dan kalau sudah terbang kayak pesawat Amerika mau menyerang Irak," kata bapak diiringi siulan-siulan memancing agar jalaknya menyanyi. Seperti tahu kondisi pikiran bapak, burung jalak kebanggaan bapak itu pun mengeluarkan suaranya yang tidak terlalu buruk. Aku tersenyum memandang bapak yang tampaknya sudah kembali seperti biasanya. ***
Republika 22 Juli 2007
Labels:
Cerita Pendek
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment