Oleh Samuel Mulia
KOMPAS.com- Sepanjang perjalanan dari Blitar ke Surabaya, pikiran saya berkecamuk. Bermacam peristiwa ingin saya tulis setelah berakhir pekan di rumah teman saya di Blitar, yang awalnya membuat saya segan melakukan perjalanan panjang itu. Mau bercerita dari mana, saya bingung. Tetapi, harus diputuskan, karena kalau tidak, saya tak akan menyelesaikan tulisan ini dan kembali lagi pada kebiasaan terlambat menyetor naskah.
Saya tiba di Blitar dari Surabaya sekitar pukul enam tiga puluh malam (18.30 WIB). Malam itu saya harus melayani di sebuah perkumpulan doa yang awalnya tak ada dalam rencana. Hanya berkat kegesitan ibu teman saya itu pertemuan terlaksana.
Yang mengharukan adalah kebaktian yang awalnya tidak ada itu menjadi ada dengan persiapan luar biasa cepatnya. Saya pikir yang akan hadir hanya segelintir orang, kenyataannya mencapai lebih dari tujuh puluh orang, bahkan ada yang datang dari luar kota.
Siap, tidak siap
Melihat kejadian itu, saya terharu karena di kelompok doa saya yang hanya beranggotakan delapan orang kalau mau bertemu harus direncanakan jauh-jauh hari. Setelah jauh-jauh hari pun yang hadir juga tak bisa lengkap. Pokoknya ribet sekali. Bahkan tak jarang kemudian dibatalkan tepat pada hari-H. Sementara seorang ibu yang sudah tua malam itu berkomentar, ”Saya tadi sore baru ditelepon dan disuruh hadir. Wah... yaaa… kalau untuk Tuhan, saya siap apa tidak siap yaaa… siap saja.”
Untuk Tuhan? Buat saya selalu ada saja alasan untuk tidak pergi ke pertemuan semacam itu. Siap tidak siap, saya tak pernah siap. Saya yang katanya mencintai Tuhan sering kali selalu menomorsekiankan Sang Pencipta. Tetapi, nanti kalau ada peristiwa porak poranda, maka tiba-tiba saya merasa begitu dekatnya dengan Sang Pencipta.
Hari kedua di Blitar, dengan udaranya yang sejuk dan kalau malam hari sedingin kulkas, saya menikmati rumah tinggal teman saya. Luas, teduh, enak, dan membuat saya susah bangun. Tidur melulu. Ibu sahabat saya juga jago masak. Menu dua hari itu beraneka ragam. Makan pagi, siang, dan malam selalu berbeda. Dari swike sampai bakmoi tanpa melupakan pastelnya yang uenak setengah mati yang dihasilkan dari dapurnya yang luasnya sama dengan apartemen saya. Pokoknya, akhir pekan di Blitar itu perut saya kenyang, hati turut senang.
Selain kenyang, saya salut sekali melihat ibu teman saya itu. Wanita kecil yang tak bisa diam. Energinya seperti tak ada habisnya. Bangun pukul empat pagi, pertama ia ”menghadap” Tuhan lebih dahulu, kemudian mulai memasak karena ia menerima pesanan dan menjual kue ke beberapa toko, kemudian dilanjutkan memasak untuk sarapan seluruh keluarga.
Beres dengan urusan rumah tangga, ia mengobrol sejenak bersama kami di teras depan rumah sebelum masuk ke dapur, kembali untuk mengurus keperluan isi perut siang hari. Ketika saya tidur karena kekenyangan sekitar pukul tiga, ia malah menyiapkan santapan malam hari untuk suami, anaknya, dan saya. Malam itu ia tak turut bergabung di meja makan karena mau menghadiri pertemuan dengan ipar dan teman-temannya.
Pada hari Minggu, ketika saya baru bangun pukul setengah sepuluh, wanita mungil nan gesit itu sudah pulang dari rumah ibadah yang dia hadiri pukul enam tiga puluh pagi. Selama dua hari itu saya berkata dalam hati, apakah saya bisa seperti wanita mungil ini. Jadi wanita saya bisa, jadi mungil lha wong saya ini juga mungil. Saking mungilnya, saya pernah digendong-gendong. Yang saya enggak bisa janji adalah menjadi setia seperti kesetiaan ibu teman saya itu untuk mengabdi menjadi ibu rumah tangga. Tanpa harus mengeluh bangun pagi dan tidur paling akhir. Itu semua belum termasuk mengurus tetek dan bengek lain.
Kemudian saya bertanya, apakah karena itu di Blitar dan bukan di Jakarta? Apakah ibu dan istri made in Blitar dan made in kota besar berbeda kualitas pengabdiannya? Apakah menggalang pertemuan di Blitar mendadak bisa 100 orang tanpa banyak cingcong, di Jakarta delapan orang saja rewelnya setengah mati. Apakah di Blitar mulut dan mental manusianya berbeda dari manusia kota besar?
Setia
Rumah sahabat saya di Blitar selama dua hari dipenuhi dengan datangnya saudara-saudara dari pihak ayah dan ibunya. Jadi, selalu saja pagi sampai siang hari suasananya ramai. Mendengar mereka tertawa, saling mengomel, atau bercerita. Ikatan persaudaraan yang kuat. Melihat keadaan itu saya kemudian membandingkan dengan keluarga kami yang hanya segelintir, tetapi tak pernah bisa berkumpul seperti itu. Dari sejak lama susah sekali diajak berkumpul. Sejujurnya saya rindu kerukunan itu.
Dalam perjalanan pulang dari Blitar ke Surabaya dan akan mampir di Malang, teman saya berkata, ”Mbok yang tua tadi itu, Mas, sudah tiga puluh lima tahun kerja sama kami.” Tiga puluh lima tahun. Bukan waktu yang sebentar untuk sebuah pengabdian. Untuk tidak tergoda ke sana-kemari. Untuk tidak putus asa mendengar jeritan majikan dan anggota keluarga majikan.
Udara di dalam mobil dingin dan di luar langit biru berawan. Pada saat itu saya mempertanyakan kesetiaan saya. Kesetiaan saya terhadap Tuhan, terhadap pasangan hidup saya, terhadap sanak saudara, dan terhadap orang lain. Saya mempertanyakan komitmen untuk membangun kesetiaan itu karena selalu saja buat saya ada alasan tidak berkomitmen. Mau kumpul keluarga selalu bilang jaraknya kejauhan, tetapi disuruh jalan-jalan ke Paris, yaa… tak pernah merasa jauh.
Takut sama PLN kalau tak bayar listrik, nanti aliran listrik di rumah dipadamkan. Tetapi, saya tak pernah takut ”listrik” hidup saya dipadamkan karena persembahan ke tempat ibadah bolong-bolong. Dan, yaa… kalaupun setor, asal-usul uang yang disetor juga perlu dipertanyakan. Dapatnya dari keringat yang keluar di mana dan dari mana? Saya itu setia sama PLN, tetapi susahnya setia pada yang memberi aliran ”listrik” setiap pagi untuk hidup saya.
Bodohkah bersetia? Kalau saya jadi ibu teman saya itu atau jadi pembantu selama sekian belas tahun, bodohkah saya? Melayani, melayani, dan melayani. Bodohkah melayani itu? Akhir pekan itu saya tak hanya makan tidur dengan nikmat, tetapi saya digugah melalui peristiwa sederhana yang dilakukan wanita mungil berpredikat ibu dan istri itu. Bisakah saya setia pada ikatan itu? Kepada pasangan saya, kepada anak saya, meski dalam keluarga kadang situasi porak porandanya juga tak kalah hebat dari porak poranda akibat hantaman tsunami.
Seperti biasa, kalau kena terapi kejut, saya sadar, terus saya menulis di ”Parodi” ini supaya saya punya teman untuk terkejut bersama-sama. Nah, Anda mungkin setelah terkejut bisa jadi benar-benar memutuskan berkomitmen, saya belum tentu. Itu lho jeleknya saya. Kejutnya hanya untuk sesaat, itu mengapa saya ini orangnya susah setia. ”Itu bukan jelek, malah baik. Jadi, kamu bisa menulis ’Parodi’ tiap minggu. Orang lain jadi selamat, kamu tetap ndak selamat-selamat. Ndak mau selamat, tepatnya.”
Saya pikir nurani saya tak ikut ke Blitar, lha wong selama dua hari itu saya bisa tidur lelap selelap-lelapnya. Waktu itu saya pikir nurani saya di Jakarta. Eh… ke Blitar juga.
Samuel Mulia, Penulis mode dan gaya hidup
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment