Sketsa dianggap karya seni rupa yang belum jadi. Sebab dari sketsa seorang
perupa akan menggarapnya menjadi lukisan di masa-masa mendatang. Sketsa
jamaknya dibuat di suatu tempat dan waktu ketika si perupa menemukan objek yang
membuat naluri kreatifnya muncul. Sketsa tak ubahnya ungkapan spontan dari si
perupa dan pada saat itu perupa langsung menumpahkan dalam bentuk sketsa. Hanya
saja, sketsa disimpan dulu di laci si perupa, entah kapan kemudian berdasarkan
dari sketsa itu menciptakan karya berupa lukisan utuh.
Karena itu, sketsa menyerupai rancangan kerja bagi sebuah karya yang jauh
lebih sempurna pada suatu saat nanti. Begitupun
pada arsitektur. Sketsa adalah kerja paling awal sebelum melangkah ke tahapan
desain. Sketsa dalam seni rupa maupun arsitektur bisa dikatakan karya yang
belum utuh.
Kondisi “kelas dua” ini secara umum telah disadari oleh perupa. Maka,
sketsa jarang atau hampir tidak pernah dipamerkan oleh perupa kecuali posisinya
sekadar pelengkap dari sebuah pameran. Atau, ketika seorang maestro telah lama
meninggal dan karya-karyanya telah habis dikoleksi, maka pameran sketsa baru
akan dilakukan. Namun demikian, kesan akan status sketsa tidak lebih dari
pelengkap sulit ditepis.
Kesadaran memandang sketsa sebagai karya rupa kelas dua ini tidak
menghinggapi sedikit pun dalam diri Romo Mudji Sutrisno, SJ. Hal ini terlihat
pada beberapa kali pameran sketsanya. Terkini, Romo Mudji pameran sketsa di
Galeri 3 Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 4-15 Oktober 2012, selaku kurator
Irawan Karseno. Bersamaan dengan itu Romo Mudji meluncurkan buku sketsa beserta
puisi berjudul Ranah-Ranah Sketsa dan
Puisi Mudji Sutrisno, SJ.
Tidak adanya persoalan kelas pada sketsa ini semakin jelas ketika karya
Romo Mudji kurang-lebih terpasang 150 karya dalam ukuran variatif dalam kertas
ukuran A4. Karya-karya itu menampilkan berbagai hal mulai dari Candi Angkorwat,
kota-kota di eropa, Kota Solo, daerah Laung Prabhang di Laos, lanskap lembah
dan gunung entah di mana, dan sketsa bebas.
Sketsa, tentu saja, mengandalkan kekuatan garis sebagai sarana pengungkapan
ekspresi. Garis merupakan bentuk paling dasar dan primitif dari karya seni
rupa. Maka, kita bisa menikmati sebuah sketsa tidak saja pada kemampuan seorang
perupa menuyusun sebuah objek tertentu, tetapi juga bagaiamana seorang perupa
itu menarik garis-garisnya sehingga garis-garis itu berciri khas, lain, dan
tercipta dari pengendapan tertentu. Hubungan antara bentuk sebuah objek dan
garis adalah saling mengandaikan. Artinya, objek dan garis tidak terpisah.
Bentuk tergantung pada garis, dan garis tergantung pada bentuk.
Contoh karya Romo Mudji mengenai lanskap kota. Sederhana sekali sketsa ini,
nyaris sebagai karya minimalis, dan karena itu menurut saya indah. Ada garis
perspektif yang membelah bidang bawah dan bidang atas. Panorama bangungan kota
ditarik dalam garis tak terputus dari sisi bidang kiri hingga bidang kanan.
Entah dari mana Romo Mudji mulanya menarik garis ini—dari kanan atau kiri. Yang
jelas, bangunan kota merupakan tarikan dari satu garis spontan tanpa putus.
Dalam tarikan tanpa putus itu tampak dua salib mengacung ke atas di sisi kiri
melampaui puncak ketinggian di sisi kanan. Sebagai penikmat kita tidak perlu
tahu apakah sebenarnya bangungan kota itu—toko, rumah tangga, kantor, gudang?
Hanya saja, kita tahu bahwa itu sebuah kota malam hari ketika bulan bundar
tengah naik dari timur cakrawala. Karya ini mendorong suasana sunyi yang kuat
dalam karya ini. Tidak ada manusia di situ dan ketidakhadiran manusia menyampaikan
suasana kesunyian yang kosong tetapi reflektif.
Spontanitas garis ini begitu kuat dan menjejakkan kekhasan dalam
karya-karya sketsa Romo Mudji. Misal dalam karya yang bertuliskan pesan “doa
r.i.p semoga pulang dengan berkah” bertanda 2011. Dalam karya ini tidak
terdapat pengulangan garis. Garis ditarik dalam coretan yang sudah pasti,
mantab, tak ada yang perlu diulang. Sekali garis, sekali karya jadi. Seperti
tema dalam karya itu juga. Hidup itu sekali lalu mati. Seperti objek yang
muncul dalam karya itu seakan daun jatuh. Tidak ada yang betul disesali kecuali
direnungkan bahwa kematian itu pasti akan datang pada setiap mahluk, entah itu
manusia atau satu lembar daun di pepohonan.
Atau, sebatas abstraksi dari judul. Karya bertanda “patah patah’ berupa
garis yang tidak membangun objek tertentu kecuali suatu objek yang
mengisyaratkan adanya garis yang bukan lurus tetapi patah-patah. Setiap orang
bisa menafsirkan apa di balik karya ini sesukanya. Karya ini hanya menampilkan
garis patah-patah dan memang begitu juga keterangan di bawahnya. Menariknya,
garis memiliki kekuatan untuk ditafsirkan sebagai apapun walaupun belum atau
tidak menyarankan sebuah objek tertentu.
Namun tidak semua karya sketsa Romo Mudji berupa karya dengan satu tarikan
garis dan selesai. Banyak karyanya berupa objek, terutama candi yang terdiri
dari perulangan garis yang terus-menerus. Dalam karya seperti ini ketika Romo
Mudji melanglang ke Angkorwat, Luang Prabhang, dan Surakarta terlihat
garis-garisnya yang berulang. Dalam benak saya selalu diliputi tanya kenapa ada
perbedaan dalam hal garis ketika Romo membuat sketsa tentang Angkorwat dan
lanskap sebuah kota? Di Angkorwat, candi-candi lain, atau kota tua selalu
pengulangan garis yang ditonjolkan. Bahkan, garis-garis yang berulang itu
diberi air sehingga tintanya melebar berupa endapan khas seperti watak cat air
di atas kertas. Tidak ada kesederhanaan seperti dalam lanskap kota atau
ekspresi ketika salah satu kolega Romo Mudji meninggal.
Barangkali kemasasilaman yang hendak Romo Mudji tekankan dalam karya-karya
tersebut. Bukan lagi garis berulang yang muncul, tetapi noktah-noktah air tinta
yang meresap ke dalam kertas sehingga membentuk kesan tertentu tentang bangunan
lama itu. Ini terjadi juga ketika kita melihat karya yang bertuliskan “Andai
Direkontruksi...Candi Singosari, Malang Utara”. Karya ini terdiri ratusan garis
sehingga tampak kerumitan dan kekusaman akibat tinta bertemu air di atas
kertas. Masa silam yang jaya hadir dalam kompleksitas garis dan keburaman tinta
dengan air yang diserap garis.
Memang, impresi yang kuat yang hendak diupayakan terus-menerus oleh Romo
Mudji. Hal ini terbaca dalam puisi-puisi di buku katalog sketsanya.
Puisi-puisinya sederhana. Puisinya bertaruh pada kata yang tersusun biasa tetapi
pemampatan kata itu yang penting. Dibutuhkan refleksi yang dalam. Misal puisi
“Padma Abu-Abu”. padma mekar di atas
comberan/mengundang tanya:/hitam putihkah kehidupan?/abu-abukah?/langkah
putih/langkah torehan/mengurang kehitaman/langkah putih/langlah sapuan/memutih
keabuan/
Tidak muncul kompleksitas kata dan susunan. Kesederhanaan untuk mencari
kekompleksan arti di baliknya. Kompleksitas dengan simbol Hindu, Budha, Islam,
Katholik. Walaupun seorang romo, Mudji Sutrisno tidak hanya perhatian pada aktivitas
keagamaan yang dipeluknya, tetapi memperhatikan bahkan kadang larut dalam
perenungan akan arti spiritualitas yang muncul dalam sketsa-sketsa bengunan
masjid, candi, gereja. Juga perenungan yang dalam untuk tema-tema maut. Maut
tidak untuk disesali dan ditakuti tapi diterima dengan lapang dada sebagaimana
daun jatuh diterpa angin atau sebuah sampan yang hendak melaut sendirian ke
ranah lain.***
Penulis: Imam
Muhtarom, pengamat seni rupa dan sastra.
Publikasi di portal seni: www.indonesiaseni.com
0 comments:
Post a Comment