oleh Imam Muhtarom
Perkembangan kota sebagai sebuah ruang yang benar-benar berbeda dengan desa, telah mengubah bukan hanya di tingkat bagaimana penghuninya memenuhi kebutuhan ekonominya tetapi juga bagaimana kesadaran para penghuninya. Jika dalam masyarakat desa memiliki ketergantungan pada alam, maka masyarakat kota memiliki cara lain dalam memenuhi kebutuhannya. Sistem sebagai sarana pengelolaan segala kebutuhan masyarakat kota merupakan seperangkat cara agar segala kebutuhan dan kepentingan dapat terakumulasi dengan baik. Persoalan penyediaan tempat tinggal, kebutuhan makanan, dan sandang bukan lagi persoalan sederhana ketika semua itu melibatkan modal di satu sisi dan birokrasi di sisi lain. Modal adalah persekutuan dari berbagai jenis sumber yang semuanya mengarah pada pelipatan keuntungan. Sedangkan birokrasi mengurusi soal bagaimana mengelola kepentingan masyarakat secara administratif.
Kompleksitas muncul ketika persoalan akumumulasi modal berjalan sedemikian cepat dan menimbulkan tantangan baru bagi pola perkembangan sosial masyarakat. Pada perkembangan awal modal bergerak secara konvensional, pada tahap mutakhir modal telah bergeser ke arah bagaimana percepatan merupakan taruhan satu-satunya. Maka segala cara untuk menciptakan citra melalui iklan-iklan berupa baliho-baliho besar yang terpampang di sepanjang jalan hingga iklan-iklan yang menyerbu para pemirsanya melalui televisi di kamar-kamar pribadi merupakan bagian dari upaya pelipatan modal sebesar-besarnya. Karena itu persoalan modal di akhir abad 21 tidak hanya persoalan yang berkenaan dengan penindasan kelas pemilik modal dan kelas pekerja, tetapi perang citra yang berusaha menundukkan kesadaran masyarakat agar hanyut dalam “alam” konsumerisme. Di sinilah kemudian tesis tentang marxian mendapat sanggahan yang cukup meyakinkan bahwa kelas pekerja tidak dengan sendirinya akan menentukan pilihan-pilihannya berupa perebutan modal oleh kaum pekerja atas kaum pemilik modal. Kelas pekerja adalah bagian dari masyarakat yang menyenangi citra-citra sebagai sebuah gaya hidup. Sebuah bentuk kehidupan yang pada awalnya milik kelas menengah-atas namun kemudian menjadi bagian yang tak terpisahkan dari semua kelas, tak terkecuali kelas bawah.
Perombakan asumsi-asumsi dasar tentang pola hidup yang manual dengan digantikan dengan pola hidup yang bersifat simulatif dari sebuah kota adalah cara-cara yang utama dalam memahami pola hidup masyarakat kota. Salah satu pola simulatif yang tidak bisa diabaikan adalah bentuk ruang. Analisa mengenai ruang akan bergerak kepada pola ekonomi sekaligus bergerak pada pola kesadaran penghuninya sebagaimana akan tampak pada psikologi perkotaan. Sebagaimana laporan Newsweek edisi Oktober-Desember 2003 tentang perkembangan kota-kota di Asia Tenggara tidak lepas dari perkembangan ekonomi dunia ketiga yang belum mapan di satu pihak dan kesemrawutan sistem sosial yang tidak bisa dilepaskan dari ketidakmapanan sistem ekonomi-politik sebelumnya. Apakah, kemudian, kesadaran pada individu-individu penghuni kota bersifat determinis atas kecenderungan persoalan sosial-politik? Secara psikologi perkotaan jawabannya “ya”.
Ditilik dari perspektif di atas kita akan melihat kejanggalan pada buku kumpulan cerpen Kota Yang Bernama Dan Tak Bernama (Bentang Budaya dan Dewan Kesenian Jakarta, Desember 2003) jika menimbang tempat hidup pengarang di satu sisi dan tulisan yang mereka hasilkan pada sisi yang lain. Para pengarang cerpen tersebut, meskipun tidak asli di lingkungan metropolitan Jakarta, mereka tinggal di lingkungan metropolis. Tetapi kenapa tulisan-tulisan yang mereka hasilkan tidak menggambarkan pergulatan yang secara fisik dekat dengan mereka, malah menggambarkan nuansa pedesaan (ruralness). Atau jika tidak, menggambarkan kota tetapi lebih persoalan ketimpangan sosial yang terjadi di metropolitan Jakarta. Persoalan ketimpangan sosial bukan khas kehidupan kota tetapi bisa terjadi di manapun sejauh ada perbedaan kelas sosial yang memungkinkan adanya konflik-konflik sosial. Dalam arti ini, kesadaran kota sebagai implikasi ruang hidup tidak dilibatkan pada cerpen-cerpen dalam kumpulan cerpen Kota Yang Bernama Dan Tak Bernama.
Ketigapuluh teks cerpen dalam kumpulan ini memiliki kecenderungan untuk tidak menempatkan kota sebagai sebuah ruang di mana kesadaran individu berada. Kesadaran tokoh sebagai suatu ukuran sejauh mana ia terlibat dari segi latar, persoalan, dan menggambarkan implikasi yang bisa dilihat secara psikologis dalam ruang kota tidak mendapat penguraian yang memadai. Teks-teks tersebut bergerak dengan memperlakukan kota sebagai latar dan bukan memposisikan kota sebagai suatu unit kultural yang memungkinkan pola hidup tertentu dan, katakanlah, berbeda dengan kehidupan yang bukan kota. Dan dengan cara yang lebih spesifik memperlakukan persoalan kota Jakarta berbeda dengan, misal, kota Bandung atau kota Surabaya.
Upaya yang menonjol dari kota sebagai suatu persoalan khusus dalam kumpulan cerpen ini adalah cerpen “Kupu-Kupu Hinggap di Tangkai” karya Arie MP Tamba. Karya ini menampilkan persoalan kota berupa cerita hasil “tangkapan” seekor kupu-kupu kepada sebuah bunga atas perkelahian di sebuah halte antara seorang anak dan ayah tanpa mendapat tanggapan orang-orang di sekelilingnya. Sebuah karakteristik yang sulit ditemukan di wilayah pedesaan. Dimana norma-norma kebersamaan masih demikian melekat. Cerpen lain semisal “Keluarga Gerbong” karya Endang Supriadi, “Gaji” karya Humam S. Chudori, “Haji Imung” karya Yanuso Nugroho, “Percakapan Nomer-Nomer” karya Widyawati Oktavia, “Mauludan” karya S. Saiful Rahim, “Ode Untuk Selembar Rahim” karya Martin Aleide, “Cinta Begitu Senja” karya Asma Nadia merupakan karakteristik cerpen-cerpen di kota. Cerpen-cerpen tersebut berusaha meletakkan kota sebagai latar peristiwa, namun tidak menempatkannya sampai pada tingkat kesadaran tokoh-tokohnya. Tokoh masih berperan sebagai bidak yang dikendalikan oleh pandangan kelas sosial tertentu. Di sini tokoh masih seperti konsep dalam seni tradisional yang menempatkannya dalam stereotip baik-buruk atau memang-kalah.
Dikotomi ini sesungguhnya sama sekali mengabaikan pergeseran sosial dan budaya yang ekstrem tatkala terdapat “teori” yang hitam-putih dalam memperlakukan tokoh. Tokoh yang sesungguhnya lebih fiktif daripada latar karena sifatnya yang konstruktif dari permainan alur, sudut pandang, tema. Dengan adanya tokoh yang khas dengan karakter-karakternya maka sebuah cerpen sesungguhnya telah berhasil mengguratkan identitas. Pertaruhan atas identitas tokoh inilah yang menyebabkan cerpen Kafka, Marcel Proust, Marquez, Budi Darma maupun Sony Karsono mendapat penilaian tidak saja sebagai fase perkembangan dalam khazanah sastra tetapi juga peradaban. Sebab tokoh adalah gambaran yang lebih sublim karena ia menjadi sebuah “tanda” dari pendalaman suatu struktur ektrinsik cerita di satu sisi sebagai tahapan sejauh mana cerpen menautkan dirinya dengan persoalan dan struktur intrinsik pada sisi yang lain sebagai tahapan sejauh mana cerpen membangun kapasitasnya sebagai karya tekstual.
Kembali pada sastra kota, sesungguhnya tidak harus untuk membahas apakah ketigapuluh cerpen dalam Kota Yang Bernama Dan Tak Bernama menggunakan moda penceritaan realis atau non realis sebagaimana dituliskan oleh para penyunting. Berkaitan dengan sastra kota yang mestinya justru dipersoalkan adalah sejauh mana ketiga-puluh cerpen memiliki kecenderungan untuk menempatkan kota sekedar latar cerita hingga mengabaikan kota sama sekali dengan mengangkat persoalan di wilayah pedesaan. Di sini ada gejala keterbelahan (split) karena mengingkari antara apa yang didiami penulisnya dan apa yang dituliskannya. Terdapat jarak antara badan dan jiwa ketika hubungan penulis dan hasil tulisannya menunjukkan pengingkaran. Sampai di sini saya teringat cerpen Sony Karsono yang berjudul “Sukra” dalam Imsonia Masyarakat Hiperrealis (1996) yang menempatkan kota tidak sekedar latar tetapi telah menjadi kesadaran para tokoh-tokohnya. Kota bukan lagi ruang fisik tetapi menjelma imaji-imaji chaos yang merupakan salah satu kekhasan kehidupan individu dalam masyarakat kota. Secara sosiologis ataupun dalam studi-studi mengenai perkotaan cara cerpen tokoh utama “Sukra” mengalami diri dan dunianya demikian khas karena melibatkan sistem-sistem yang membentuk struktur di mana kesadaran tokoh tersebut berada. Berikut cuplikannya, "Ada gempar di Kota Lama. Suatu hari, seorang lelaki berkelanan di sebuah plaza tanpa busana. Ia hanya tersenyum ramah bila para pengunjung plaza mengoloknya sebagai orang gila. Ia duduk bertopang dagu pada tangga eskalator. Berendam dalam kolam air mancur lantai dasar. Bercengkerama dengan burung gereja di atap plaza. Dan di sebuah butik, ada mannequin yang gemetar ketika lelaki itu mengecup daun telinganya Telinga plastik. ..."
Adanya kebertautan antara artefak-artefak khas kota, yakni benda-benda di mall dengan tokoh menghasilkan cara tersendiri bagaimana dunia orang kota terbentuk. Hubungan semacam ini tentunya sama sekali berbeda dengan seorang yang tinggal di wilayah yang bukan kota, dan meskipun kota, ia tetap memiliki kekhasan. Katakanlah kota Jakarta atau kota Surabaya, atau bahkan kota New york. Sebagaimana dikatakan Edward W. Soja dalam Postmetropolis (2000) setiap kota memiliki caranya sendiri dalam hal mengelola hidupnya sebab hal ini berkait dengan sejarah yang menentukan arah perkembangan masing-masing kehidupannya.
Namun jika cerpen-cerpen dalam Kota Yang Bernama Dan Tak Bernama memiliki hubungan yang tidak korelatif karena adanya sebuah pengingkaran antara dimana penulis tinggal dan hasil tulisannya, persoalannya bukan berhenti pada masalah ketidakmampuan para penulis dalam hal menghadapi situasi kekiniannya. Namun persoalannya meluas dengan persoalan beban masa lampaunya, beban sejarahnya, sehingga seolah mereka gagu untuk berbicara kondisi kekiniannya, kondisi kotanya.
Labels:
Bahasa Indonesia,
Esai,
Sastra
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment