Metafor Kebutaan dalam Konflik Kelas Sosial

Judul: Kebutaan (Blindness)
Penulis: Jose Saramago
Penerbit: Ufuk
Cetakan: Pertama, Maret 2007
Tebal: 447 halaman


NOVEL ini bertutur tentang kebutaan massal yang melanda penduduk kota tak bernama. Satu per satu penduduk kota teridap kebutaan dengan cara yang sungguh tak bisa diterima hukum medis.

Seseorang akan demikian menjadi buta setelah kontak pandang satu sama lain. Dokter yang menangani pasien buta, lelaki yang menolong lelaki pertama yang buta, pasien yang antri di tempat praktik dokter, dan tetangga yang tak sengaja menatap si pasien buta tiba-tiba menjadi buta. Pejabat pemerintah setempat cemas dan untuk mengatasi krisis kepercayaan masyarakat, mereka yang teridap kebutaan dimasukkan paksa ke bekas gedung rumah sakit jiwa. Hanya satu yang terbebas dari kebutaan dalam cerita tersebut sekalipun di akhir cerita akhirnya ia pun buta: isteri lelaki yang pertama kali buta mendadak.

Di dalam bekas gedung rumah sakit jiwa ini pembaca akan mengetahui bagaimana sebuah ekpserimentasi mengenai manusia dalam membentuk sistem sosial terlihat. Tokoh-tokoh yang mengidap kebutaan tersebut dipaksa oleh peraturan yang membuat mereka harus memperlakukan dirinya secara sangat hati-hati. Jika tidak mereka bukan hanya terancam kematian yang disebabkan oleh kebutaan mereka sendiri, tetapi lebih dari itu, terdapat sistem yang lebih efektif dalam membinasakan mereka selama di dalam tembok rumah sakit jiwa. Konsekuensinya, satu sisi mereka harus mengatasi kebutaan yang mereka idap, pada sisi lainnya mereka mesti mengantisipasi sistem yang ditetapkan pejabat negara yang dengan sistemnya tersebut menghendaki mereka musnah. Mereka tidak ditolong dari kebutaan, tetapi justru dipaksa sedemikian rupa untuk mati pelan-pelan.

Hidup-Mati

Dalam tegangan antara bertahan hidup di tengah kebutaan yang menimpa dan aturan yang memaksa dalam lingkungan rumah sakit jiwa, dapat diketahui bagaimana tokoh-tokoh mempertahankan diri. Tokoh-tokoh buta tersebut secara paksa mesti mengorganisakan dirinya untuk menghadapi kelompok lain dalam bangunan rumah sakit jiwa agar jatah makannya tidak disabotase. Digambarkan ada ratusan penghuni gedung bekas rumah sakit jiwa tersebut dan terbagi-bagi dalam berbagai kelompok. Namun ada satu kelompok berandalan yang dengan caranya ingin mengusai kelompok lain, diantaranya kepada kelompok lelaki yang pertama kali teridap virus kebutaan. Di antaranya anggota perempuan dengan sadar rela dijadikan pemuas nafsu sebagai syarat yang diajukan para kelompok buta berandalan. Anggota perempuan buta ini pada awalnya menyepakati persyaratan itu untuk bertahan hidup meski kemudian memberontak dengan membunuh pimpinannya.

Dari peristiwa tersebut kita dapat membayangkan bagaimana kelompok yang pertama kena virus kebutaan ini mengorganisasikan dirinya dari kebutaan agar mereka sebagai satu kelompok sosial bisa padu, satu suara, dan bertindak demi kelangsungan hidupnya. Satu hal yang paling nyata dalam hal ini adalah, bagaimana seseorang yang terbiasa menggunakan matanya harus mengalami kebutaan dan dalam kebutaan tersebut harus mengorganisasikan dirinya agar bisa bertahan dari serangan dari kelompok lain dan yang utama dari pemilik otoritas, negara. Di sini jelas kata kuncinya: membentuk dan menguatkan kelas sosial adalah sesuatu yang mutlak.

Karena itulah, pembaca novel ini tidak akan menemukan sosok tokoh yang berdiri sendiri dengan perwatakan yang cukup kuat. Tokoh-tokoh dalam novel ini tak lain dari bagian sebuah unit-unit sosial yang saling mendukung demi terbangunnya sebuah kelas sosial yang kuat. Kekuatan kelas sosial ini mengandaikan individu pendukung memperoleh kompensasi berupa keselamatan yang berupa jatah makanan maupun jaminan keselamatan dari serangan kelompok lain.

Pelacur

Pembaca novel ini memang akan mendapatkan tokoh semacam bekas pelacur bukan dalam perwatakannya sebagaimana pembaca kenal dalam kehidupan keseharian, tetapi mendapati pelacur hanya sebuah peran yang tidak ada bedanya dengan peran sosial lainnya. Sebab bukan pelacur yang secara sosial dipahami sampah masyarakat tetapi pelacur hanya sebagai sebutan. Dalam konteks kebutaan yang melanda tersebut, peran sosial semacam dokter, istri dokter, pengarang, sopir, anak kecil, lenyap. Mereka disatukan oleh wabah kebutaan dan di sinilah sebuah eksprimentasi sosial dibawa kembali ke dasar-dasarnya: berbeda dengan hewan yang secara alamiah diberi organ-organ untuk bertahan hidup, manusia yang tak diberi organ-organ semacam hewan memiliki kemampuan untuk membuat sistem sosial untuk bertahan.

Namun novel ini tidak hanya ingin mengajak pembaca mengais pemikiran yang sudah klasik ini. Novel ini ingin menghunjam ke hal yang paling dasar dalam kaitannya dengan pembentukan kelas sosial dan konflik-konflik yang menyertainya. Kebutaan dalam novel ini tak lebih dari sebuah metafor untuk menyatakan adanya sebuah kelas sosial tertentu. Peran dokter, pelacur, istri dokter, pengarang, anak kecil, tak lebih dari bungkusan yang sesungguhnya akan lenyap ketika mereka dalam kondisi terpojok oleh kebutaan, mengalami konflik dengan kelompok lain, dan terutama ketika mereka menghadapi sebuah kelas yang lebih berkuasa, negara.

Dalam pertarungan ini kelompok yang pertama terkena virus kebutaan dipaksa untuk bisa mempertahankan kelompoknya jikalau mereka ingin bertahan hidup. Negara bersama aparatusnya sebagai otoritas resmi tidak lebih dari sebuah kelas lain yang akan bersikap ekstrem jika kasus sosial yang ada dalam wilayahnya membahayakan sendi-sendi kuasanya. Virus kebutaan yang dengan cepat melanda masyarakat dan tidak bisa ditanggulangi secara medis memerlukan tindakan yang ekstrem untuk menyelamatkan kelanggengan kuasanya. Satu hal yang akhirnya dilakukan: melokalisir dan perlahan-lahan memusnahkannya. Pandangan semacam ini memang mengundang kembali pemikiran Marx tentang pertentangan kelas sebagai satu-satunya cara untuk mengubah kehidupan kelompok tertindas keluar dari ketertindasannya. Konflik antarkelas dan sesama kelas sebagai sesuatu yang sifatnya tak terelakkan dan disanalah harapan secara revolusioner terbentuk.

Saramago menggunakan metafor kebutaan sebagai jalan masuk bagi semua kelas sosial dan menusuk di jantung kesadarannya tentang perubahan sosial. Ini juga cara yang ditempuh George Orwell dalam Animal Farm dengan metafor binatang atau Franz Kafka dalam Metamorphose tentang sosok menyerupai serangga. Selamat membaca!

Terbit di Harian Suara Merdeka, 20 Agustus 2007
(Imam Muhtarom) 

0 comments:

Post a Comment

 

Buku Saya


Created with flickr slideshow.

Pemilik Blog

.

.

Translate

PageRank