Rumah Sunyi




IA angkat pelupuk matanya seperti ia menyibak kain korden pada kamar jendelanya pada pagi-pagi bulan pertama musim penghujan, kala ia menikah dengan Enn. Enn, pikirnya, perempuan penuh kekecewaan. Ia bangkit di antara suara gemeretak kayu-kayu tempat tidurnya.
"Enn, di manakah kau?"
"Di sini."
"Ah, seperti aku akan segera kehilangan kesempatan melihatmu."
Ia melangkah ke tempat Enn, memegang pundaknya, menatapnya, menyelidik ke dalamnya.
"Kenapa Enn?"
"Tidak apa-apa."
"Ah, pasti apa-apa. Aku tahu kau perempuan yang tidak mudah tenang. Kau ibarat burung daerah dingin dipaksa tinggal di daerah tropis. Katakan apa saja. Aku tahu kau cemas, tapi aku tak tahu mengapa kau hari ini cemas?"
Enn, perempuan kurus berwajah putih bersih, berusaha melepas tatapan dan pegangan lelakinya. Ia undur. Berlari ke ruang sebelah. Napasnya memburu.
"Enn, kau marah," kata si lelaki dengan aksen suara melemah. Ia tidak sadar bukan berhadapan dengan musuhnya. Enn menggigil di sofa, mencengkeram bantal hijau muda, matanya terkatup.
"Enn, katakanlah. Kau bosan? Kau tidak kerasan tinggal di sini?"
Enn menggigil. Wajahnya bergetar. Mencoba menutupinya dengan bantal hijau muda, tetapi si lelaki mendadak duduk di sampingnya, meraih bantal dan ... matanya sembab.
"Aku muak! Sesungguhnya kau yang perempuan. Kau bawa paksa aku kemari. Kau paksa aku menemanimu. Kau takut sendirian, lelaki?"
Si lelaki tenang dan mulai membelai rambut, bibir, pundak Enn dengan kecemasan memuncak. Ia tatap wajah Enn yang tersuruk ke lipatan sofa.
"Pulangkan aku jika kau lelaki, sendirian, tegar!" teriak Enn, keras, memandang si lelaki. Seolah jawaban si lelaki akan sama dengan ratusan jawaban yang lain.
"Ke mana kita akan pulang Enn?" kata si lelaki membelai. "Ke keluargamu? Bekas pacarmu? Aku ragu Enn. Kira-kira apa kata mereka begitu melihatmu?"
Enn terisak. Ia menggeserkan mukanya ke sudut sofa, sementara si lelaki bangkit dari ruangan, menutup pintu, jendela, menyalakan beberapa lilin. Ia meletakkan masing-masing dalam sudut-sudut setiap ruang. Selesei, ia ke dapur. Ia siapkan roti bakar sebagaimana sebulan lalu ia mengawali makan malam dengan sepotong roti bakar. Ia menyalakan arang dengan sedikit mengguyur minyak tanah, mengipasi dengan selembar kipas plastik. Sementara itu, ia nyalakan kompor untuk air panas dua gelas susu. Tangan kiri mengipasi arang agar cepat membara, tangan kanan menyiapkan dua gelas besar. Menuangkan susu dari kaleng dan memasukkan beberapa sendok gula pasir ke dalamnya.
Ia mesti di sini, kata si lelaki dalam hati kala ia mengangkat baki berisi dua gelas besar susu, empat lapis roti, ke ruang depan.
"Enn ...." si lelaki meletakkan baki di meja depan Enn dan memakan selapis roti, lalu meneguk susu.
"Susunya hangat, Enn." Si perempuan tidak beranjak. Terisak. Wajahnya kabur oleh api lilin bergoyang-goyang tersapu angin.
"Enn kau harus makan, minum susu, dan istirahat," pinta si lelaki lembut.
"Tidak, aku tidak akan minum, makan, istirahat di rumahku dulu."
"Rumah dulu?"
"Benar. Rumahku, bukan rumahmu."
"Tak ada itu, Enn. Rumahmu dulu bukan rumahmu kini. Rumahku dulu adalah rumah kita kini."
"Omong kosong. Pulangkan aku. Aku benci kamu."
Si lelaki tersenyum. Wajahnya memandang ke seluruh muka Enn.
Ah, Enn, pikir si lelaki, kau tetap keras.
Si lelaki mengabaikan Enn dengan mengunyah roti panggang dan seteguk susu. Membiarkan Enn terpuruk dalam sofa. Tubuhnya melipat seperti bantal berwarna hijau. Nafasnya mengembang dan mengempis pada tubuhnya. Tak ada suara kecuali angin di luar rumah. Bergemuruh. Berkerosak tak henti-henti. Tetapi lilin di atas meja tenang seolah angin itu mengabaikannya. Apinya tetap melancip ke atas dan seperti arus air tetap pelan bergerak-gerak.
"Enn kau harus makan, sejak pagi perutmu kosong," kata si lelaki mendekat. Duduk di sisi kakinya, memijit-mijitnya. Kaki Enn yang melipat tidak bergerak sedikitpun kecuali napas mengembang-mengempis dalam tubuhnya.
"Tidak... Kau harus makan, minum, dan istirahat." Digerak-gerakkan tubuh Enn sehingga tubuh melipatnya bagai guling.
"Apa!" mukanya diangkat ke muka si lelaki.
"Makan Enn ... nanti sakit."
"Aku mau mati!" Menarik muka, melipat tubuh kembali. Si lelaki tetap duduk di tempatnya, tangannya meraih pergelangan kaki dan memijit-mijit.
"Bagaimana jika malam ini aku pergi, tak kembali, Enn?"
"Apa?"
"Kau sendirian dan aku sendirian. Aku pergi," kata si lelaki beranjak.
"Tidak mungkin itu. Kau harus membawaku serta, hei lelaki!"
"Apa alasanku?"
"Kau membawaku ke mari, sebab itu juga kau harus membawaku pulang."
"Aku tidak pulang, dan itu bukan tanggung jawabku. Aku memberimu susu, kau menolak. Memberimu roti, menolak juga. Aku memintamu sekali lagi, kau tetap menolak. Aku tahu kau tidak membutuhkan aku lagi."
Enn bangkit dari sofa mengikat rambutnya. Membenahi kain roknya. Ia menatap si lelaki lekat-lekat. Meraih sebatang rokok dan menyalakannya pada lilin. Ia menghela napasnya dalam-dalam.
"Kau mengartikan jika aku tidak sesuai perintahmu, aku orang lain. Sendiri-sendiri. Boleh pergi, begitu?"
"Tak ada omongan seperti itu Enn?"
"Tapi kau..."
"Tidak ada lagi kata kau dan aku di sini. Anggaplah kebetulan saja dua orang bertemu dan salah satu di antaranya tidak berusaha memerkosa..."
"Oh...," Enn mengisap rokok tanpa menatap si lelaki, lalu melemparkan sisa batang rokok yang panjang ke pintu. Wajahnya kosong ke arah nyala lilin.
"Jika begitu, bukan kau, tetapi aku dulu yang akan keluar dari rumah ini," kata Enn.
"Ke mana?"
"Yang penting tidak di rumah ini lagi."
"Kalau begitu aku tetap tinggal di rumah ini."
"Kau, lelaki..."
"Ya, Enn."
Enn menggelengkan kepalanya, menatap kelopak mata si lelaki yang kini mengatup.
"Baik lelaki, intinya kau tidak suka padaku. Bagaimana rumah dibagi dua, kau kanan, aku kiri. Diberi sekat. Tidak boleh menyapa, masuk ke sebelah, atau makan bukan miliknya."
"Tak apa."
***
ENN memulai harinya, dengan duduk menghadap langit melalui jendela. Membuka buku kecilnya dan membaca. Menghabiskan waktunya membaca, keluar mencari makan, dan membaca. Kadang menuliskan sesuatu, lima halaman, merobeknya dan membuangnya ke tempat sampah, atau menyimpannya di map berwarna kuning. Ia tidak pernah lagi mengeluarkan suara kecuali jarinya ketika membalik lembar-lembar berikutnya, kertas yang disobeknya dan masuk ke keranjang sampah.
Adapun lelaki di sebelah sekat papan kayu yang disusun rapat tepekur. Matanya tak beranjak dari sosok si perempuan. Mengikuti gerakan jemari membuka lembar demi lembar, suara kertas ketika di balik, dua tangan meremas kertas hingga menjadi gulungan kecil, dan meluncur ke tempat sampah di depan jendela.
Wajahnya yang putih, lehernya membuat kerutan-kerutan lembut, kedua pundaknya, dada, ah ujung-ujung jari lembut. Ah kuku-kuku putih yang segar. Bibir itu, bola mata itu, hidung, rusa betina, anggur madu. Ah... ah...
Si perempuan tepekur dalam deret kata-kata buku novelnya. Terbayang seorang terperangkap dalam gang di kotanya sendiri pada siang bolong. Seorang tersebut tak mendapati hubungan gang satu dengan gang yang lain, tetapi deretan rumah-rumah berisi teriakan anak-anak belaka. Dengan jelas gambar anak-istri di kepalanya kebingungan, bus tempat di mana ia kerja marah-marah. Dua minggu berlalu. Ia mencari kerja, menyewa kamar, dan menikahi gadis 22 tahun. Ia melempar buku itu ke lantai dan memandanginya seperti barang asing.
"Tidakkah ini cuma keliaran pikiranku...," terbayang monolog lelaki dalam novel bergerak-gerak dalam pikiran si wanita. Berjalan tegak tetapi lelaki itu merasa tersesat. Gang-gang yang dilaluinya menjadi tak berujung dan lelaki itu merasa ia menyusuri garis-garis cetakan. Merabanya seolah peta dalam kepalanya adalah sebuah kertas yang diletakkan di atas meja dan ia menunjukkan dengan ujung jarinya.
"Seperti pejalan tidur," pikir si wanita dengan mata menusuk ke kulit novel yang kusam.
Lelaki itu tidak dapat menyangkal pagi tadi, pagi tatkala ia berpamitan kepada istrinya, kepada dua anaknya yang selalu mengingatkannya pada dua ekor burung murai yang menyanyi di pagi berkabut. Pagi yang ditinggalkannya menuju jalan besar tempat ia naik bis kecil berkeriut seperti kaleng roti yang bopeng-bopeng. Ia naik dengan kekwatiran yang tidak hilang meskipun bertahun-tahun naik bis dengan bayangan besi-besinya tidak lama lagi berlepasan, berburaian sepanjang jalan. Tapi ia mesti naik. Mesti naik dan harus duduk di sebelah lelaki tua berbau keringat seolah sepanjang hidupnya tidak sekalipun bersentuhan dengan air. Mungkin ia pengembara, duga lelaki itu sekenanya. Setiap bis oleng ke kanan dan oleng ke kiri terhisap ke dalam hidung lelaki itu bau busuk..... Ah, bisik lelaki itu pada dirinya sendiri. Ia seperti baru saja bangun dari tidur sepanjang seratus tahun. Aku lepas dari rel ingatan ... Ia berdiri di pinggir gang, mengawasi setiap orang melintas. Menyusuri ingatan yang berantakan dan menggabungkannya seperti seorang anak melekatkan gambar truk, melepaskan lagi dan melekatkannya lagi... dan menjadi gambar singa. Anak itu terkejut, tetapi lelaki itu semakin putus asa.
"Kasihan sekali lelaki itu," pikir si wanita yang dipanggil lelakinya dengan Enn serasa merasakan betapa kejamnya si pengarang. Wanita itu mengambilnya, memeriksa foto pengarang yang tersenyum mengejek di bagian belakang sampul buku.
Lelaki itu tidak tahu perempuan 22 tahun yang ia nikahi masih keponakannya sendiri.
Oh ... kurang ajar sekali pengarang novel ini, bisiknya. Ia menegakkan tubuhnya, beranjak keluar rungan. Ke arah pintu si lelaki. Ia duduk di samping lelaki menghadap lukisan dalam potret kalender yang sudah bertahun-tahun lewat. Sebuah air terjun mencurah ke padas-padas, putus-putus, tak henti-henti.
"Kau tahu kau telah menghinaku dengan cara semacam ini," kata si wanita dengan nada tegas .
"Apa...?" kata si lelaki.
"Kau menghinaku dengan menelikungku seperti ini."
"Siapa bilang, bukankah telah sepakat kau di sebelah sana dan aku di sebelah sini."
"Lupakan semua itu. Apa maksudmu menjebakku di tempat ini? Baca ini!"
"Ah, siapa yang menjebakmu. Kau boleh pergi ke mana kau suka. Tak ada ikatan lagi di sini."
Si perempuan diam beberapa saat dan melemparkan novel yang selesei ia baca ke pangkuan si lelaki. Kemudian beranjak meninggalkannya ke bagian rumah samping. Terguguk di tempat tidur dan memukul-mukul papan penyekat sehingga sampai di ruang lelaki seperti suara orang yang tengah menggedor-gedor.
Sementara si lelaki tetap dalam sikapnya semula setelah meletakkan di rak bersama novel-novel yang lain, dipandangi lekat-lekat burung-burung yang terlihat kabur di balik air yang mencurah terputus-putus.
Barangkali menyegarkan sehingga burung-burung itu harus berlintasan di sela-selanya, pikir si lelaki. Nikmat sekali kau burung bisa mempermainkan dirimu di antara air mencurah terputus-putus. Ia berpikir bahwa pelukisnya amatir tetapi mempunyai suatu harapan yang orisinal tentang kegembiraan.
"Enn, kau mestinya tidak bertindak seperti orang putus asa. Kau menyiksa jiwamu sendiri," katanya agak keras sehingga dapat merobos papan penyekat.
Namun gedoran itu terus saja tak hendak berhenti. Tak hilang kala hujan mulai turun dan perlahan-lahan suaranya mengeras menimpa atap.
"Kau pengecut. Kau menyiksaku. Lebih baik kau perkosa saja aku dan lepaskan dari jebakan gila ini!" teriak si perempuan dari tempatnya tidur.
"Kau mengada-ada. Siapa tega memerkosamu, menjebakmu? Aku tak mungkin berbuat keji. Aku lelaki punya moral, Enn."
Tak ada jawaban, kecuali gedoran-gedoran tangan si perempuan tak henti-hentinya mengiringi timpahan air hujan di seng penutup rumah. ***
Sby-Jkt, 2003-2006


Suara Merdeka Silakan Kunjungi Situsnya! 01 Juli 2007  

0 comments:

Post a Comment

 

Buku Saya


Created with flickr slideshow.

Pemilik Blog

.

.

Translate

PageRank