Ny. Hanna




Tetapi apakah aku mesti pulang, kata perempuan tua itu pada dirinya sendiri seraya mengenakan jaketnya yang tua dan kecokelatan. Melangkah dari ruang tamu dengan kaki gemetar, napas pendek-pendek, dan untuk menyangga agar tubuhnya tidak jatuh, tangan kirinya meraba tembok ruang tamu. Ia berjalan merambat dan menyusur dari petak keramik yang satu ke petak keramik yang lain, membuka pintu kamar tidurnya, merambat lebih pelan agar tubuhnya yang renta tidak membentur sisi pintu, menutupnya kembali, dan sebagaimana telah dilakukan lebih dari lima tahun belakangan, ia menelentangkan tubuhnya perlahan. Seperti menelentangkan tubuh bayi berusia enam bulan, dengan perasaan takut-takut agar bayi itu tidak bangun dan menangis keras-keras.
Tapi pertanyaan yang diungkapkan dalam batin itu menjadi kata-kata tanpa arti setiap ia memasuki kamarnya, merebahkan tubuh, dan kenangannya tentang tiga anak kecil bangkit memenuhi pikirannya yang merongga. Ia selalu membayangkan tiga anak kecil yang lucu-lucu, bersenda-gurau di antara dirinya dan setiap menyelanya begini, "‘Bu, kakak merebut bonekaku!’ ‘Tidak Bu, adik tidak cocok boneka laki-laki.’" Dan dengan bibirnya sendiri akan meluncur kata-kata penuh perasaan dari seorang ibu terhadap anak-anaknya bahwa mereka tidak boleh bertengkar, bahwa mereka mesti berdamai di antara sesamanya, apalagi sesamanya itu adalah saudara kandungnya. Maka ketiga anak itu pun tidak saling tuding lagi dan asyik kembali ke dunia permainannya masing-masing.
Ia tersenyum sendiri. Wajahnya mengembang penuh keceriaan dan akan berbeda sekali dari ketuaannya yang murung, apabila ia membayangkan anak-anak itu telah dewasa, masing-masing telah berkeluarga dengan anak-anak yang manis-manis, sehat-sehat, dan lucu-lucu. "Nenek ikut kami saja. Dongengin kami, Nek," kata anak-anak dari anaknya yang pertama. "Tidak Nek, ikut kami saja. Nenek nanti akan kami ajak ke pinggiran laut dan nenek bisa melihat senja yang indah" itu kata anak-anak dari anaknya yang ketiga. "Jangan Nek, Nenek ikut kami saja dan mengajari kami bahasa Jawa yang katanya indah itu, Nek," itu kata anak-anak dari anaknya yang kedua. Ia merasa senang dan bahagia dengan permintaan cucu-cucunya. Ia merasa dirinya orang bijak sekaligus orang bahagia. Dituntunnya satu-satu cucu-cucu tersebut tentang hidup yang damai, hidup yang bahagia.
"Apa hidup itu, Nek?" tanya cucunya dari anaknya yang kedua. Ia tidak langsung menjawab. Ditebarkan wajahnya yang ceria ke sekelilingnya. Dipandangi cucunya yang tadi mengajukan pertanyaan sampai lama.
"Apa jawabannya, Nek?"
Ia tetap tidak menjawab dan terus-menerus menebarkan pancaran wajahnya yang ceria. Pada akhirnya dengan diulanginya pertanyaan oleh cucunya, ia menjawab bahwa bahagia adalah tidak sedih. Anak kecil itu cemberut dan dengan suara ditekan karena ketidakpuasan berkata bahwa jawaban pendek macam itu diungkapkan hingga begitu lama.
Tetapi ia tidak marah mendengar gerutuan anak kecil yang merasa dipermainkan antara lamanya waktu menunggu jawaban dan kenyataan jawaban itu sendiri. Ia malah merasa sadar posisi dirinya yang begitu jauh dengan manusia yang masih mengawali melihat hidup seperti yang terjadi pada cucunya, dan manusia yang hendak mengakhiri melihat hidup seperti yang terjadi pada dirinya. Sekali lagi ia tersenyum dan wajahnya menebarkan pancaran wajah yang ceria. Tangan mengelus rambut sang cucu yang belum reda dari rasa kecewa, dan mengelak seraya berlari mengambil layang-layang dan menerbangkan di lapangan rumput, begitu kepalanya terasa diusap-usap. Mungkin cucuku itu berpikir alangkah misteriusnya orang dewasa itu, batinnya. Tetapi cucuku pasti tidak sampai bahwa neneknya misterius, paling-paling ia jengah dan memandang orang-orang dewasa, orang-orang tua yang terus-menerus berpikir, bagi dirinya, sangat membosankan.
Akhirnya ia bangkit dari telentangnya. Ia melihat jarum jam masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. Ia benahi sprei hijau, dilipat persegi dan diletakkan di atas bantal. Ia ambil pakaian-pakaian yang ia serahkan untuk dicuci ke tangga sebelah, dilipat rapi dan dimasukkan ke dalam kardus. Beberapa jaket penghangat, selimut tebal, jas hujan baru. Beberapa kardus lain yang berisi alat-alat untuk mandi, obat-obatan. Tinggal mengangkatnya ke stasiun, pesan karcis, dan lima jam kemudian akan sampai di tanah kelahirannya dengan jauh memandang berupa kehijauan belaka.
Tetapi, sekali lagi, apakah mesti aku pulang, katanya kepada dirinya sendiri.
Kardus itu diletakkannnya kembali, urung untuk ditali. Perlahan ia melangkah ke pintu kamar dan kembali menuju ke kursi yang berada di salah satu sudut ruang tamu. Perempuan tua itu gemar sekali duduk di sana hingga berjam-jam lamanya setelah makan pagi dan menjelang berjam-jam sebelum senja muncul. Memang rumah itu tidak menghadap barat dan karena itu tidak secara langsung dapat melihat di mana senja muncul. Akan tetapi justru dengan menghadapnya rumah ke arah timur membuatnya dapat melihat gumpalan-gumpalan mega yang menyerupai arang bergantungan di langit. Ia senang sekali melihat gumpalan-gumpalan itu. Seoalah-olah dengan gumpalan-gumpalan itu dirinya adalah gumpalan-gumpalan awan yang menyerupai arang dan sedang menyaksikan seorang perempuan tua dari balik kaca, yang kadang mengkhawatirkan senja segera berlalu.
Maka dengan kecewanya, pagi itu, ia mendapati langit dengan awan-awan putih berlarian dengan cepat ke arah barat daya. Ia hanya melihat awan-awan yang bergegas cepat seperti pesawat. Ia tidak menyukai sesuatu yang mengandung unsur kecepatan. Di situ akan terjadi perlombaan siapa cepat siapa dapat. Dan sepanjang pengalamannya dialah yang paling sial untuk masalah yang harus diselesaikan dengan adu kecepatan. Ia nyaris pingsan ketika umur delapan belas tahun mendapati pemuda yang diidam-idamkan diserobot teman sekelasnya. Ia waktu itu hanya menunggu dan sekedar membayangkan alangkah bahagianya jika ia dapat berjalan bersama pemuda itu sekedar dari pintu gerbang sekolahan ke kelas masing-masing. Namun kalah cepat dan sampai tua ia berpikir kemalangan dirinya mungkin berawal dari situ.
Bagaimana kemalangan tidak berawal dari situ tatkala kemudian ia dikejar-kejar pemuda yang tidak ia sukai namun karena ia tidak diberi kesempatan untuk membandingkan dengan yang lain, akhirnya ia harus menikah dengannya. Memang akhirnya ia sempat kuliah dan menyelesaikannya dengan baik dalam waktu empat setengah tahun. Kemudian dengan suaminya ia diboyong ke kota yang sebelumnya hanya ia kenal melalui koran, di mana hingga masa tuanya sekarang ini tinggal. Mulanya ia tenang dan menurut apa kata suaminya. Seraya mengurusi keperluan-keperluan rumah tangga, bulan-bulan berikutnya setelah dapat mengikuti irama kota tersebut, ia berkata pada suaminya: "Pa, aku kan sarjana sastra. Dari pada seharian sendirian di rumah, di sebuah kota yang bergolak terus-menerus seperti air mendidih, aku lebih baik bekerja di koran sore hari sebagai redaktur bahasa. Lagi pula jam kantorku lebih siang dan jam pulangku lebih awal dari jam kantor Papa."
"Kenapa mendadak kamu suka bekerja dan mulai cerdik menempatkan posisi" kata suaminya yang waktu itu berada di restoran untuk acara akhir minggu. Ia diam seperti biasanya dan sama sekali tidak berani menatap bola hitam pada mata suaminya. Mata itu berkilat setiap kali terdapat ketidaksukaan, ketidakcocokan dengan dirinya, istrinya. Ia memandang ke samping kiri di sebuah meja yang kelihatannya semarak, dua anak dengan umur tujuh dan sembilan tahunan melonjak-lonjak di bangkunya, dan tampang kedua orang tua dengan tawa berderai membagikan makanan. Sang istri dengan cekatan membantu anaknya yang kecil mendekatkan makanan yang disukainya. Sedang sang suami yang memakai kaca mata bening dengan gagang hitam, membuatnya sejuk untuk memandang. Tidak ada kilatan di situ, yang ada hanya keakraban. Tetapi ia menjadi pusing karena itu. Ia seakan terlempar ke dunia yang tak betul dikenalnya. Selain tak dapat kembali ke dunia asal, tak mampu memilih dunia mana yang cocok untuk dirinya.
"Kenapa kau murung, Hann?" kata suaminya menerobos kesenyapan dan membuat dirinya canggung.
ìMasak saya murung, Pa?" Diupayakan keceriaannya muncul dalam dirinya. Bukankah ini acara akhir minggu keluarganya? Bukankah ini untuk kebahagiaan mereka? Tetapi ia masih ragu tatkala ia berhasil membuat dirinya ceria dan berpikir bahwa keceriaan itu adalah tiruan yang dipinjamnya dari meja sebelah. Memang ketegangan itu reda dan antara dirinya dan suaminya terlibat percakapan ringan yang dari luar tampak suami-istri yang bahagia.
Dalam perjalanan pulang, sebentar berkeliling kota, ia meminta suaminya memutar lagu sweet memories. Kenapa, kata suaminya, teringat teman pria lamamu. Meskipun begitu diputar lagu yang ia minta. Ia tak tahu dengan pasti apakah suaminya sekedar bercanda atau ada alasan lain yang membuatnya berkata seperti itu. Sampai mobil masuk garasi dan mereka terlelap di kamar tidur, ia terus-menerus menunggu suaminya bicara sepatah dua patah kata mengenai hal yang dimintanya tadi sewaktu makan di restoran. Ia sabar menunggu di tengah pejam matanya dan terbuka lebar-lebar telingannya untuk suara-suara yang siang hari tak dapat terdengar. Detak detik jam yang berada di ruang sebelah terasa menekan dan seolah berpacu dengan detak jantungnya. Ia berharap di tengah detak-detik jam dan detak jantungnya itu, terdengar suara lembut suaminya membelah kesenyapan ruang yang tersekap oleh tembok tebal: "Baiklah, Sayang, kau dapat bekerja di koran sore sesuai dengan keinginanmu. Kira-kira koran sore itu koran apa?" Maka jawaban yang telah disiapkan bermalam-malam sebelumnya akan ia ungkapkan dengan pelan, penuh rasa suka cita, kelopak matanya segera ia buka, dan ditatapnya bola hitam yang meredup dengan perasaan haru. "Itu lho, Pa, yang kantornya di Jalan Dharmawangsa, sebelah-menyebelah dengan gedung Balai Kota."
Itu jawaban yang telah ia siapkan dan dengan caranya sendiri kata per kata dari jawabannya tersebut akan terungkapkan melalui mulutnya dengan cara yang paling lembut. Ia menunggu dengan sabar. Setelah dentum jam menandai bahwa waktu menunjuk ke angka dua belas berganti ke angka dua. Ia tak tahu lagi caranya mengungkapkan permintaannya setelah bermalam-malam kemudian ia terus-menerus berharap, sedangkan suaminya pulas tertidur entah bergelut dengan mimpi-mimpi yang bagaimana. Keadaan seperti itu mungkin telah berlangsung sampai delapan bulan dari satu tahun usia perkawinannya. Sampai kemudian ia mengulangi permintaan yang sama sepulang dari pernikahan teman sekantor suaminya.
"Rani, istrinya teman Papa tadi apakah benar bekerja di bank?"
"Ya benar, kira-kira sudah lima tahun dari sekarang," kata suaminya pendek tanpa menoleh kepada dirinya. Suami itu terbenam dalam kesibukannya untuk mengendalikan laju mobil. Ia menahan napas dan sesekali melirik ke wajah sang suami. Ia tidak tahan, atau entah kenapa, ditariknya cepat-cepat lirikan itu dan memandang lurus ke depan. Jalan mulai lengang dan sepanjang sisi kiri badan jalan tampak pedagang-pedagang makanan duduk di balik gerobak dagangan. Mata-mata cekung itu mengawasi mobil-mobil yang melintas cepat dan bergeming dengan tatapan-tatapan itu.
Tidak tahu persis atau sebenarnya tidak ingin tahu apakah antara dirinya dan suami itu sebagaimana dua orang dalam pertemuan di perjalanan yang satu sama lainnya tidak memerlukan latar belakang, namun dianggap orang sebagai suami-istri. Akan tetapi sebagaimana yang terjadi dalam pesta perkawinan teman suaminya, teman-teman sekantor suaminya rata-rata mengatakan bahwa mereka—dia dan suami itu—tampak paling serasi, mesra dan pasti (kata ‘pasti’ ini selalu ada) bahagia. Ia tidak tahu perasaan macam apa yang muncul bila perkataan tersebut didengar dan ditujukan pada mereka. Ia hanya tersenyum tipis dan, malam itu di kamarnya yang meremang setelah acara perkawinan teman suaminya, air matanya melinang.
Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari di mana dirinya tidak bisa mengendalikan dari kemurungan. Ia tak lagi mampu menyuguhkan muka seorang istri yang menebarkan keceriaan, menampakkan bahwa dirinya setia pada suaminya ketika suaminya tiba dari kantor dengan dibukanya pintu gerbang begitu saja tanpa sapaan. Dengungan mesin mobil suami yang biasanya tak sempat diperhatikan, kini menjadi terasa memuakkan. Menyentak-nyentak perasaan dan membuatnya ingin menangis keras-keras, merobek-robek pakaian, menjambak rambut, dan ingin melontarkan tubuhnya ke tengah jalan biar ban-ban mobil melindasnya. Ingin melemparkan tubuhnya ke kandang singa agar dengan gigi-giginya yang runcing itu, rasa sakit dari tubuh yang merupakan miliknya, sirna. Entah dikarenakan oleh rasa sakit dikoyak ban mobil, taring singa atau memang rasa sakit itu menguap seperti bau daging yang berlepasan tatkala daging sapi itu direbus dalam air mendidih.
Tubuhnya sampai gemetar menahan emosi yang mendesak dari kedalaman batinnya. Ia bukan lagi mengiringi sang suami untuk membawa masuk tasnya ke kamar kerja, kemudian keluar lagi ke ruang makan untuk menyiapkan makan suaminya. Ia menghamburkan dirinya ke tempat tidur, menyurukkan muka ke balik bantal, menahan titik-titik air matanya meluncur deras.
Sementara itu sang suami tetap melenggang tenang mengganti pakaian di samping tempat tidur, membiarkan dirinya. Terdengar kelebat jalannya ke ruang makan. Terdengar dentingan sendok dan piring, derit kaki kursi menggores permukaan keramik, dan setelah senyap sebentar terdengar koran tengah dibentangkan di ruang sebelah kamar tidur. Ia tak sungguh tahu mengapa suami itu begitu rutin dan mekanis semacam jarum jam yang berputar. Apakah suami itu sebenarnya akan ketakutan, tubuhnya gemetaran, selera terhadap pekerjaan akan kacau, keyakinan dirinya akan runtuh?. Terhadap istrinya akan menanggung malu, memandang dirinya sebagai lelaki pengecut, suami lemah yang patut dikasihani, dan dalam keadaan demikian lebih baik dirinya menyingkir dari orang-orang di lingkungannya, terutama istrinya. Orang yang kelewat percaya diri mungkin sedang menenggelamkan sisi dirinya yang lain, menguburnya dan mencoba dengan menganggap dirinya tidak demikian. Diri yang tidak rasional, sentimental terhadap perempuan dan menyukai hal-hal yang membangkitkan kenangan. Tetapi ke manakah gerangan disembunyikan diri pada suami itu?
Ia bangkit dari tengkurapnya, berjalan ke mana suaminya duduk sambil mengikat rambut.
"Suamiku, apakah bulan-bulan ini aku dibolehkan bekerja sebagai redaktur bahasa di koran?"
"Kenapa kau tanyakan hal itu lagi, Hann?"
"Kenapa? Mengapa kau bertanya dengan ‘kenapa’? Apakah kau tidak tahu kenapa aku begitu murung di rumah ini, berjalan dari ruang satu ke ruang yang lain seolah-olah aku tikus percobaan!"
"Kenapa kau mendadak bersikap seperti ini, Hann?" kata suaminya tanpa kendali dengan melemparkan koran, wajahnya menegang.
"Memang aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kamu karena, kuanggap, tidak ada yang harus dipermasalahkan dalam keluarga kita. Makan cukup. Rumah lumayan. Fasilitas rumah tidak mengecewakan." Suami itu mulai gemetaran. "Tenang, tenangkan dulu dirimu Hanna. Nanti dulu kita bicara. Aku masih lelah. Kalau kau setuju nanti malam kita bicara dalam suasana yang lebih jernih."
Tetapi ia langsung menyerobot dan mengatakan bahwa sebagai istri, kepentingannya selalu dinomor-duakan.
"Sebagai suami yang mestinya adil, kau harus mengetahui seluk-beluk istrimu. Dan jangan kau paksa perempuan lemah semacam diriku ini untuk tahu kondisimu," katanya setelah diikutinya sang suami hingga ke kamar tidur. Ia tidak sampai ke dalam dan menuju teras. Cahaya matahari terasa keras sekali siang itu. Jalan perumahan sepi, kecuali sekali penjual es krim melintas.
Perempuan itu tidak mengerti bagaimana dirinya menjadi begitu berani dan berhasil mengeluarkan kalimat yang tegas dan tidak seperti malam-malam hingga menjelang dini hari dengan satu atau dua titik air dari sudut matanya, karena ia selalu gagal mengungkapkan satu atau dua kalimat. Entah itu permohonan, permintaan, atau sedu-sedan dari jerit perasaan seorang perempuan.
Malam itu dalam ruang tamu yang temaram perempuan itu duduk tepat di hadapan suaminya. Ia menatap lurus pada bola hitam mata suaminya.
"Baiklah sayang aku katakan mengapa kuinginkan kau tidak bekerja dan ditinggal di rumah saja. Kau, bagiku, adalah perempuan paling cantik, paling menawan. Aku tidak ingin kau ikut bersusah payah, terjun dalam kerasnya dunia kerja. Karena itu aku rela untuk berangkat pagi-pulang sore agar kau tidak sengsara dan…"
"…tetap cantik dan tidak membosankan. Kenapa kau ragu mengucapkannya suamiku?" katanya yang membuat suaminya gelagapan.
"Ya…ya…"
Sejak peristiwa itu perempuan yang pada masa tuanya akan hidup sendirian, memberanikan diri untuk bekerja sebagai redaktur bahasa di koran. Suaminya membiarkan dan sejak itu perempuan yang hari-harinya tidak lagi di antara sekat ruang-ruang di rumahnya dan berganti berderet-deret kalimat yang tak kunjung habis tapi dinikmatinya. Mereka jarang bertemu dan tak ada keingin-tahuan apabila masing-masing, entah si lelaki atau si perempuan, suatu malam tidak pulang. Dan ketika berhari-hari, berbulan-bulan, dan bahkan sampai bertahun-tahun kemudian, tatkala perempuan itu telah tua dan tidak lagi sebagai redaktur bahasa, ia kembali diterpa rasa kesendirian.
Tetapi apakah aku mesti pulang, kata perempuan tua itu pada dirinya sendiri seraya merapatkan jaketnya yang tua dan kecokelatan. Saat itu udara dingin menerobos lobang-lobang kecil rumah. Ia sedikit gemetar bahwa udara dingin menandakan hujan akan turun dan akan mengurungnya dalam rumah. Tetapi ia menjadi tenang dan tidak berbuat apa-apa lagi. Ia sadar bahwa ia menyukai kesendirian dan tidak suka diatur oleh hal-hal di luar dirinya.***

Surabaya, Juli-Agustus 2001


Sinar Harapan Silakan Kunjungi Situsnya! 07 Juni 2003

0 comments:

Post a Comment

 

Buku Saya


Created with flickr slideshow.

Pemilik Blog

.

.

Translate

PageRank