Oleh Imam Muhtarom
Globalisasi, lebih dari sekadar persoalan demikian bebasnya perputaran modal, telah memengaruhi bagaimana sendi-sendi budaya menentukan arah. Budaya dalam konteks globalisasi tidak lagi bisa diartikan sebagai seperangkat nilai yang imun dari gerak ekonomi, sosial, politik, dan terutama temuan-temuan teknologi informasi. Dengan temuan teknologi informasi yang masif, arah budaya tidak menjadi monopoli sepihak seperti kuasa negara dari sebuah skenario global. Justru kuasa negara semakin lama aus di hadapan jaringan global tersebut.
Sendi-sendi global itu mencakup berbagai bidang kehidupan yang sifatnya makro maupun mikro. Mulai persoalan negara hingga bagaimana seorang individu harus memilih jenis pakaian. Persoalan bagaimana kebijakan negara meski diterapkan dalam kondisi tertentu hingga rencana akhir pekan bagi seorang bujangan apakah akan nonton di gedung bioskop, apakah cukup nongkrong di kafe, dan -kalau di kafe-, kafe yang mana. Harus minum apa, makan apa, berkencan dengan siapa, apa yang mesti dibicarakan. Sebuah rencana yang khas kehidupan kota-kota di dunia sejak pertengahan abad ke-20. Kota tidak lagi sekadar tempat bekerja dan suasana hiruk-pikuk maupun tempat harapan-harapan muluk dibuat. Kota telah disadari sebagai sebuah ruang produksi budaya.
Jalan dengan berbagai rambu di sepanjang lintasannya, gedung, mal, kafe, gedung bioskop, terminal, lapangan terbang, pelabuhan, dan pasar adalah subsistem bagaimana aktivitas kota dapat dipahami sebagai bentuk yang segala geraknya mengandaikan sistem tertentu. Sistem yang memosisikan apa yang dikehendaki dan apa yang tidak dikehendaki. Seorang penghuni kota harus memahami berbagai tata cara agar sejalan dengan kota sebagai sebuah sistem. Di sini yang terjadi bukan sifat mekanis belaka ketika seseorang dapat menginternalisasi berbagai tata cara tersebut. Sistem sesungguhnya bukan berada di luar kesadaran seseorang, tetapi merasuk dalam otak dan membentuk imaji-imaji sehingga ada hubungan ambivalen antara apa yang mengendap dalam kesadaran seorang warga kota dan kota itu sendiri dengan artefak-artefaknya yang membentuk sistem yang harus dipatuhi penghuninya.
Kecenderungan studi kota pada 1960-an sebagaimana dalam pandangan David Harvey diandaikan mematuhi mekanisme tertentu dengan memosisikan lokasi tempat tinggal sebagai penentu kemampuan penghuninya untuk mengakses pekerjaan dengan pendapatan yang tinggi. Mereka yang tinggal di dalam kota adalah kelas pekerja dengan pendapatan kecil (blue collar). Sementara itu, yang tinggal di luar kota namun bekerja di dalam kota adalah mereka yang posisi pekerjaannya bukan kelas buruh, tapi kelas pekerja menengah ke atas (white collar).
Persoalan lokasi tempat tinggal sebagai pemilah dua kelompok sosial kota yang berbeda itu disebabkan kelompok berpenghasilan rendah tidak memiliki kemampuan untuk membiayai transportasi keluar-masuk kota setiap hari. Kelompok berpenghasilan tinggi dapat membiayainya. Kelompok berpenghasilan rendah bertempat di sekitar lokasi pekerjaan dan karena serba kekurangan dalam mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, banyak bermunculan warung yang dikelola salah satu keluarga kelompok berpenghasilan rendah.
Di sini ada konsekuensi lain yang oleh David Harvey dianggap penting. Ketiadaan membiayai transportasi memengaruhi kelompok berpenghasilan rendah dalam mendapatkan akses ke pekerjaan yang lebih memadai. Kelompok berpenghasilan rendah disibukkan oleh ketidakcukupan biaya hidup sehari-hari di satu sisi. Hal itu berakibat terputusnya akses pekerjaan yang lebih memadai. Distribusi ruang (tempat tinggal) memengaruhi tingkat pendapatan dan menciptakan kelas-kelas sosial dalam perkotaan.
Namun, kota mendapat pemahaman lain dari Roland Barthes dalam bukunya, Mythology. Kota tidak dihadapi sebagai sebuah mekanisme tertutup sebagaimana dipahami David Harvey. Dalam bukunya tersebut, Barthes mengetengahkan kota telah melahirkan budayanya sendiri, meski sesungguhnya yang menjadi tekanan adalah praktik-praktik penandaan kehidupan Kota Prancis. Penandaan bagaimana sebuah realitas dikonsepsikan. Tetapi, dengan menempatkan artefak kota seperti iklan, mobil, fashion, rambu lalu lintas, pertunjukan opera, wine sebagai objek semiologinya, Barthes telah memberikan gambaran yang sistematis persoalan kota sebagai ruang produksi budaya.
Kota, seperti halnya gagasan Walter Benjamin di paro awal abad ke-20, telah disadari sebagai sebuah medan produksi budaya dengan karakteristiknya sendiri. Jika dalam Mythology Barthes membatasi diri pada praktik-praktik penandaan atas artefak kota sebagai habitus tersendiri, Benjamin menempatkan kota sebagai tanda itu sendiri, teks itu sendiri. Kota dengan jalan-jalannya yang khas, gang-gangnya yang khas, bentuk tata kotanya yang khas. Kota bagi mereka yang melibatkan inderawinya sebagai medium interaksi dan bukan bagi mereka yang interaksinya dengan kota melalui sebuah maket seperti ahli tata kota atau seorang birokrat pemerintah kota.
Namun, pada akhir abad ke-21 ini, kota bergerak dengan arah yang berbeda sebagaimana dipahami David Harvey, Roland Barthes, maupun Walter Benjamin. Kota tidak lagi independen dari relasi dengan kota-kota lain yang berada jauh di luar benuanya. Kota di awal abad ke-21 memiliki hubungan satu sama lain sedemikian erat setelah masalah komunikasi dan teknologi penerbangan selesai pada satu sisi dan jaringan ekonomi suatu pusat wilayah Asia (baca: negara-negara Selatan) tidak bisa dipisahkan dengan suatu pusat wilayah di Amerika Serikat pada sisi lain.
Kecenderungan pada kota di wilayah yang satu tidak berbeda jauh dengan kecenderungan kota di wilayah lain. Walau ada perbedaan antara Kota New York dan Jakarta -yang pertama memiliki sejarah panjang dan khas kota dunia pertama, sedangkan yang kedua memiliki sejarah yang belum lama dan khas kota di dunia ketiga-, keduanya tetap memiliki kecenderungan sama. Dunia hiburan, restoran siap saji, gedung-gedung bertingkat, manajemen isu melalui media massa maupun elektronik merupakan beberapa kecenderungan kesamaan tersebut. Meski, tidak bisa dimungkiri Jakarta selalu mengikuti New York dan bukan sebaliknya. Jika mengikuti, sebagaimana pola yang diterapkan restoran siap saji McDonald's dengan mengadopsi sifat lokal, itu hanyalah strategi kapitalisme.
Kota awal abad ke-21 merupakan sebuah sistem yang kompleks antara relasi modal, kuasa politik, sistem pertukaran informasi di satu sisi dan perilaku-perilaku sosial di sisi lain sebagai akibat ketiga faktor tersebut. Jatuhnya harga saham di Wall Street akan memengaruhi harga-harga saham di Jakarta, Bangkok, dan Kuala Lumpur. Jatuhnya harga saham itu memicu jatuhnya kemampuan pembiayaan perekonomian di suatu wilayah, mulai pemerintahan, pendapatan bruto, daya bayar pajak yang semakin menurun, hingga kehidupan sehari-hari. Risiko melemahnya sistem perekonomian makro tersebut memberikan dampak besar terhadap kinerja sistem perekonomian mikro sebuah wilayah perekonomian dan tentu kehidupan sehari-hari.
Malapetaka yang terjadi pada 1998 di Jakarta tidak hanya berhenti pada faktor provokasi pihak-pihak tertentu. Malapetaka tersebut adalah reaksi berantai dari keretakan ekonomi di tingkat global dengan implikasi di tingkat nasional dan menjadi spesifik pada sebuah kota, Jakarta. Namun, di sisi lain malapetaka yang terjadi di Jakarta tersebut tidak bisa dilepaskan dari karakteristik Kota Jakarta itu sendiri. Jakarta, seperti kota-kota lain di Asia Tenggara kecuali Singapura, dalam buku Cities of the World (2000) dikategorikan sebagai kota yang kacau dan khas kota-kota negara dunia ketiga.
Terlepas kacamata tersebut sangat bias Barat karena tidak memberi analisis historis keberadaan Singapura sebagai pilot project yang bersifat politis dari Barat, sejauh dibandingkan dengan Singapura, kesemrawutan tata kotanya bisa dijadikan indikator bahwa Jakarta sebagai sebuah kota yang tata ruangnya sangat kacau. Kemacetan lalu lintas, banjir, tidak terkendalinya pusat-pusat perdagangan, menipisnya hutan kota, perumahan yang tidak terencana adalah persoalan yang berkaitan dengan masalah ruang. Kekacauan ruang mengandaikan sebuah infrastruktur yang tidak memadai dan mengandung potensi amat besar bagi munculnya kekacauan, baik di tingkat psikologis maupun tingkat sosial.
Kerentanan yang dikandung sebuah kota di negara-negara dunia ketiga saat ini adalah ketidaksiapan dalam memformulasi pengaruh yang kuat dari globalisasi dan ketiadaan kemampuan dalam mengelola ruang kotanya. Jika pada yang pertama globalisasi tidak lebih dari bentuk pemaksaan sistem internasional negara-negara belahan Utara ke negara-negara di belahan Selatan, persoalan yang kedua berkaitan dengan kemampuan penguasa suatu wilayah regional dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang ditetapkan. (*)
*) Imam Muhtarom, peminat kota, tinggal di Surabaya dan Jakarta
Jawa Pos, Minggu, 30 Agustus 2009
Labels:
Esai
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment