Judul Buku : Kafka on the Shore
Penulis : Haruki Murakami
Penerjemah : Th. Dewi Wulansari
Penerbit : Pustaka Alvabet Jakarta
Cetakan : I, Januari 2008
Tebal : 597 Halaman
TATA sosial masyarakat Barat yang ditopang pandangan materialisme mendorong munculnya gagasan di luar materialisme, semacam New Age baik di ranah pemikiran maupun di ranah penulisan novel. Di ranah pemikiran munculnya penulis Fritjof Capra dengan karya yang sudah dalam terjemahan, Titik Balik Peradaban. Karya Capra ini intinya ingin menjelaskan implikasi dari disiplin fisika ketika mengalami ketidakpastian dalam hal menjelaskan materinya sebagai dasar manusia modern menjelaskan keberadaannya. Objektivitas berada dalam tahap krisis dan subjektivitas yang sebelumnya dianggap tidak relevan dalam keilmuan justru mendapat tempat. Dalam keadaan semua nyaris seragam oleh sifat universal dari rasionalitas, maka sesuatu yang subjektif dan nyeleneh justru mendapat tempat. Bukan hanya sifatnya yang menarik, tetapi sesuatu yang subjektif dan partikular dapat digunakan untuk melihat sesuatu yang sudah dianggap ada begitu saja (taken for granted).
Reaksi terhadap rasionalitas ini juga muncul dalam penulisan novel. Misalnya novel Chelestine Prophecy karya James Reidfield, Sang Alkemis karya Paulo Coelho, dan juga belakangan yang agak berbeda Kafka On the Shore karya Haruki Murakami. Untuk James Reidfield dan Paulo Coelho sudah umum diketahui bahwa keduanya memiliki corak New Age. Sementara bisa dikatakan berlebihan mengategorikan Kafka On The Shore sebagai karya bercorak New Age. Selain secara definitif karya-karya Haruki Murakami tidak disemangati New Age, misal dalam karya Norwegian Woods yang terkenal itu. Dalam novel tersebut Murakami tampak menggambarkan bagaimana Jepang terutama generasi penggemar musik karya Beatles tidak mewakili opini bahwa masyarakat Jepang memiliki hubungan yang erat dan mempraktikkan tradisi kejepangannya beratus tahun lampau dalam kehidupan keseharian mereka. Jelas semangat dan karya-karya Murakami berbeda, bahkan bertentangan dengan penulis macam Yukio Mishima yang bersifat
heroik dengan nilai tradisi Jepang. Pada Yukio Mi
shima, mewakili opini umum tentang Jepang dengan segala tradisinya. Namun, Murakami berada dalam garis yang sama dengan Kobo Abe, terutama dalam hal sikap realistis terhadap perubahan zaman yang menimpa Jepang dan penggambaran yang surreal.
Meskipun demikian, karya Murakami ini tetap bisa dipahami sebagai novel dengan inspirasi New Age sekalipun ia harus berbeda dengan karya-karya New Age arus utama. Ketika sebuah karya menunjukkan keterkaitan dengan tema tertentu tetapi pada saat yang sama berhasil keluar dari jebakan arus utamanya, bukankah hal semacam itu justru yang layak dibicarakan?
NOVEL Kafka on the Shore, Labirin Asmara Ibu dan Anak ini berawal dengan dua titik cerita berbeda yang berkembang sendiri dengan akhir saling melengkapi. Apa yang dilakukan tokoh berusia 16 tahun dengan meninggalkan (lari?) dari rumah ayahnya secara tidak langsung tertolong oleh tokoh Nakata, orang tua yang kehilangan ingatannya pada saat serangan AS ke Jepang pada Perang Dunia II. Kafka Tamura, tokoh belia tersebut, meninggalkan rumah dengan alasan tak begitu jelas. Ia mengalami perjalanan tak terduga oleh pertemuannya dengan seorang perempuan yang ia duga kuat kakaknya dan seorang perempuan paro baya yang ia duga ibunya. Sepanjang perjalanan, Kafka Tamura selalu tergiang bahwa di masa kecil ayahnya berkata suatu saat nanti ia akan membunuh ayahnya dan meniduri ibunya. Memang, dalam perjalanan menjauh dari Tokyo ke arah selatan tersebut serta merta ia mendengar ayahnya terbunuh dan salah satu yang layak dijadikan saksi tak lain anaknya, Kafka Tamura.
Perjalanan yang mulanya terkesan santai menjadi tak ubahnya pelarian.
Sesungguhnya kabar tentang matinya sang ayah tak lain pemicu suasana menjadi tegang seperti halnya tokoh tua, Nakata, yang tak tega menyaksikan penderitaan seseorang lalu meminta Nakata membantunya mengakhiri hidupnya. Dalam keadaan tegang dan pikiran kacau balaulah kedua tokoh ini mengalami peristiwa yang berarti. Si Kafka Tamura diungsikan oleh seorang karyawan perpustakaan di sebuah hutan kecil yang kemudian mengalami peristiwa spiritual berupa kemampuan masuk dalam dunia kematian. Pengalaman spiritual yang dialami Kafka Tamura bersamaan dengan ketika tokoh Nona Saeki, pewaris perpustakaan dan diduga sebagai ibu Kafka Tamura, meninggal setelah menyerahkan catatan hariannya ke Nakata dan meminta membakarnya.
Dalam hutan yang digambarkan dengan surreal untuk mengingatkan kepada pembaca bahwa kisah tersebut berada di alam gaib, Nona Saeki muncul guna memberi tahu Kafka Tamura untuk segera keluar dari hutan selagi memiliki kesempatan. Ini mengingatkan pembaca pada kisah-kisah mati suri yang sering terjadi, atau juga terjadi dalam pengalaman orang-orang yang paham dan percaya pada alam gaib. Berkat kedatangan Nona Saeki ini Kafka Tamura dapat kembali ke kehidupan nyata.
Sesungguhnya yang menjadi inti cerita ini tak lain berbagai kemungkinan pengalaman manusia yang paling jauh dan seseorang dapat menjadikannya sesuatu yang berarti terlepas orang lain mempercayainya atau tidak. Pengalaman pada dasarnya personal. Yang mengetahui dan mampu menghayati adalah orang yang mengalaminya saja. Keintiman pengalaman ini tergambar jelas pada diri tokoh Nakata yang memahami hingga bisa berkomunikasi dengan kucing, juga kemampuannya untuk menangkap naluri yang sifatnya adi-manusiawi.
Pengalaman spiritual dari tokoh Nakata dan Kafka Tamura jelas memiliki makna yang dalam saat diperhadapkan dengan persetubuhan antara Kafka Tamura dan Nona Saeki maupun hasrat seksualnya dengan seorang gadis bernama Sakura. Nona Saeki maupun gadis satu seperjalanan Kafka ini dapat diduga merupakan ibu dan kakak kandung Kafka sendiri. Tapi, teks novel ini tidak memberi penjelasan tegas kecuali ungkapan "aku paham" ketika Kafka Tamura bertanya kepada Nona Saeki perihal status seorang ibu. Sedangkan dalam kaitannya dengan Sakura penjelasannya hanya dalam mimpi.
Sesungguhnya yang menjadi persoalan bukan benar-tidaknya ibu atau kakak kandung, melainkan peristiwa yang dialami Kafka Tamura dalam usianya ke-16 dan bagaimana novel tersebut menggiring pembaca berada dalam keadaan mendua. Keadaan mendua antara benar-tidaknya status ibu-anak dalam kaitan hubungan seksual dua tokoh ini, si penulis memasukkan pengalaman spiritual. Pembaca, terutama pembaca konservatif dalam hal keyakinan, tentu terpukul dengan permainan cerita novel karya Murakami ini. Kebanyakan akan "tersesat" oleh labirin yang sengaja diciptakan penulis untuk menguji ketelitian dan kecerdasan pembaca dalam berhadapan dengan medan tekstual yang rumit.
Pengalaman spiritual seringkali tidak lahir dari tempat-tempat peribadatan. Pengalaman spiritual yang ekstrem pernah dicontohkan dalam novel Kuil Kencana karya Yukio Mishima berupa meletupnya hasrat seksual justru ketika berhadapan dengan seseorang yang jelek dan bukannya yang cantik, semakin mendapat tekanan dalam novel karya Hakuri Murakami ini. Rupanya pengalaman spiritual juga tidak harus muncul dari dunia entah berantah sebagaimana dalam novel Chelestine Prophecy maupun dalam Sang Alkemis. Dalam Kafka on the Shore disodorkan bagaimana pengalaman dalam dunia sehari-hari yang menjemukan juga dapat dihayati sebagai pengalaman batin. Novel ini secara sengaja memilinkan antara yang profan dan spiritual, antara yang rasional dan irasional, antara yang material dan immaterial.
Posisi yang ditawarkan novel-novel karya Harumi Murakami dalam konteks Jepang masa kini menjadi jelas. Ia tidak dijangkiti chauvinisme seperti halnya Yukio Mishima dan penulis Jepang lainnya, tetapi melihat Jepang masa kini dengan mata terbuka. Jepang yang jelas-jelas berada dalam posisi negara maju dan industrialis, tentu mempengaruhi masyarakatnya bagaimana memandang nilai-nilai tradisi Jepang yang adiluhung. Daripada menangisi generasi sekarang yang lebih kenal filosof dan musik Barat daripada Jepang sendiri, Murakami justru menggambarkan secara sosiologis apa yang terjadi di masyarakat Jepang seraya pada saat yang sama memasukkan gagasan spiritualisme ke dalamnya. Sayang sekali, terjemahan novel yang bagus ini agak cacat oleh penggunaan subjudul "Labirin Asmara Ibu dan Anak" yang kurang mengena, gambar kulit muka yang jauh dari isi buku, serta nomor halaman yang kacau. (*)
*) Imam Muhtarom, penulis cerita pendek, tinggal di Jakarta
INDO POS, Minggu, 13 April 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment