oleh Imam Muhtarom
Judul Buku : Sejarah Dunia dalam 10 1/2 Bab
Penulis : Julian Barnes
Penerjemah : Arif Bagus Prasetyo
Penerbit : KPG & Dewan Kesenian Jakarta
Cetakan I, 2009
Tebal 411 halaman
Judul Buku : Sejarah Dunia dalam 10 1/2 Bab
Penulis : Julian Barnes
Penerjemah : Arif Bagus Prasetyo
Penerbit : KPG & Dewan Kesenian Jakarta
Cetakan I, 2009
Tebal 411 halaman
Novel tidak memiliki aturan baku agar ditulis dalam cara tertentu agar pembaca mengikuti jalannya cerita dari awal hingga akhir. Aturan baku tersebut antara lain terlihat pada semua novel yang beredar di masyarakat pembaca, yakni dengan alur pembuka-konflik-penyelesai
Salah satu kelemahan dari tiadanya pertanyaan ini terletak pada alur dalam sebuah novel tidak sebatas pembuka-konflik-penyelesai an. Alur semacam ini hanya sebatas satu pilihan dari berbagai banyak kemungkinan dalam penulisan novel. Alur yang hadir dalam novel bukan bersifat tetap dan pasti, namun alur tergantung juga pada bagaimana novel ini diharapkan diterima pembacanya. Alur dalam novel adalah metafiksi yang mendasari sebuah cerita yang terbaca. Lantaran alur lebih merupakan cara berpikir novel itu, maka salah satu penyebab utama dari keberterimaan umum atas jalannya cerita baik di novel maupun di film selama ini kurang-lebih pada tidak adanya daya kritis terhadap bangunan cerita itu sendiri. Ketika tidak ada daya kritis terhadap cerita yang disampaikan lewat novel, berarti juga tidak ada daya kritis terhadap bagaimana ia—pembaca juga penulis—menerima isi novel tersebut. Ironisnya, sebelum apa yang hendak disampaikan lewat novel, pertanyaan bagaimana sebuah cerita dibangun sehingga dampaknya bisa dibayangkan adalah sesuatu yang sangat penting. Sebab ini menyangkut bagaimana sebuah cerita mampu menjelaskan kepada dirinya maupun kepada pembacanya.
Salah satu contoh konsekuensi dari kekritisan atas cara bercerita novel yang sudah konvensional ditunjukkan oleh novel Sejarah Dunia dalam 10 ½ Bab (2009) karya Julian Barnes. Novel ini jelas memposisikan dirinya menyangkal sekaligus menunjukkan bahwa novel bisa sesuatu yang menarik tanpa harus menggunakan alur pembuka-konflik-penyelesai an. Juga, novel ini tidak canggung untuk tidak peduli pada sebuah keutuhan pada adegan dengan harapan menguasai konsentrasi pembaca. Sebagaimana dicontohkan novel-novel kanon Inggris secara khusus tempat tradisi sastra Julian Barnes berada, novel tak ubahnya usaha membangun dunia yang benar-benar mandiri lewat kekuatan tekstual. Implikasi yang dikandung dari novel kanon tersebut justru menguatkan apa yang ditolaknya atas dunia sehari-hari justru obsesinya atas kesempurnaan lewat dunia tekstual. Ini bisa dilihat dari analisis-analisis yang ditulis oleh Edward W. Said dalam World, Critic, Text. Said dengan cerdas dan indah mengkaitkan imperialisme Inggris atas kolonia di Karibia abad 18 dengan bertumpu pada novel karya Bronte bersaudara.
Sementara karya Julian Barnes ini meragukan pandangan-pandangan yang sudah melekat perihal representasi, sejarah, kebenaran, dan cinta. Salah satu poin utama karya Barnes sehingga novelnya berupa sebuah cerita acak, mirip mosaik yang tidak saling melengkapi, namun memberi terobosan atas cara bercerita ada pada kecurigaannya terhadap masalah representasi. Reprentasi bukan sebuah hasil yang sempurna ketika apa yang disebut realitas hanyalah sebuah anggapan dan bukan realitas dalam dirinya sendiri. Representasi ini meliputi penggunaan dalam bahasa verbal dan visual baik rupa maupun film. Menganggap sebuah representasi lewat berbagai medium adalah suatu kenyataan tak terbantah adalah fatal dan menyimpan kelemahan yang sifatnya laten sebab tidak ada yang sempurna dari tindak representasi ini baik dibidang hukum, sejarah, keyakinan agama, politik, kesenian, dan kehidupan sehari-hari.
Barnes dalam novelnya ini memperlakukan apa-apa yang menjadi keyakinan umum atas sejarah dunia dengan cara memberi komentar ironis. Ironis ini berlatar pada bahwa dasar keniscayaan yang telah terbangun pada sejarah dunia (Barat) itu sudah keropos oleh alasan representasi. Sebaliknya, keniscayaan itu tetap mengakar kuat dalam pandangan publik dunia sehingga menganggapnya sebagai kebenaran.
Contoh tentang keniscayaan yang sudah telanjur populer mengenai nasib kapal Titanic. Diceritakan satu sumber hidup dari korban Titanic adalah lelaki (atau banci?) yang menyamar sebagai perempuan. Dengan penyamaran ini, ia diselamatkan dan kemudian segera setelah selamat itu ia menulis buku mengisahkan pengalamannya. Dari dasar satu orang ini ia dijadikan sumber utama dari berbagai kalangan termasuk wartawan, ahli hukum, ahli tentang spionase, sutradara film, dan berbagai lainnya yang serius maupun iseng. Dari seorang ini kemudian dijadikan film Titanic. Barnes menyampaikan dalam novelnya ini tidak lebih berupa esei panjang yang mengomentari banyak kekurangan dari salah satu orang saksi hidup yang tak ubahnya sebagai banci sebab menyerobot satu jatah perempuan atau satu jatah anak-anak untuk diselematkan dari kapal Titanic. Dari satu narasumber ini sebuah kenyataan tidak mungkin dihadirkan sebagaimana adanya secara sempurna, terlebih kredibilitas seseorang itu tidak lain seorang pengecut.
Ironisnya dalam sebuah pembuatan film si narasumber hidup ini menyamarkan dirinya untuk menjadi salah satu pemain dalam film Titanic sekalipun ia dilarang keras terlibat masuk main film kecuali sebatas narasumber. Oleh pengalamannya menyamar ia berhasil menyelinap dengan busana persis saat ia menyamar agar selamat dalam Titanic sesungguhnya. Si tokoh ini ingin merasakan bagaimana mengalami sensasi lewat sebuah kepura-puraan yang ingin dimainkannya. Ironisnya, penyamarannya diketahui sang sutradara film sehinga ia, persis dalam kejadian nyata, lolos dari maut oleh tenggelamnya kapal Titanic.
Cara Barnes memperlakukan ironi atas peristiwa sejarah dunia (Barat) ini meliputi berbagai peristiwa mulai dari kisah Bahtera Nuh, Nabu Yunus ditelan Paus, misionaris pertama di Suku Indian abad 16, lukisan karamnya kapal Medusa di abad 19, teroris, kisah cinta, dan surga. Sikap ironis dalam novel ini pada dasarnya ketidakpercayaan Barnes sendiri atas semua representasi yang dilakukan oleh Barat terhadap dirinya sehingga sejarah Barat laiknya sejarah besar, penuh keagungan, dan sempurna. Atas dasar ini kemudian Barat menjadi satu-satunya simbol atas berbagai kebenaran dan keagungan dalam ranah kebudayaan dan secara khusus atas perannya dalam bidang seni rupa dan film.
Seni rupa Barat merupakan acuan satu-satunya atas perkembangan sejarah seni rupa dunia. Perkembangan seni rupa dunia di luar Barat selalu dikaitkan dengan sejarah seni rupa Barat terutama pencapaian sisi artistiknya. Apa yang disebut indah ketika karya seni rupa itu setelah diperbandingkan dalam pencapaian dunia seni rupa barat. Ini kemudian mengakibatkan seni rupa Barat menjadi tolok ukur dari keberhasilan sebuah pencapaian karya seni rupa, sementara apa yang di luarnya dipandang sebelah mata. Selain itu, seni lukis bersama patung dinilai sebagai satu-satunya karya seni agung (fine art) dan karya seni lainnya dalam seni rupa adalah seni rendah.
Kritik atas berbagai keagungan yang dilekatkan pada ranah kebudayaan dan seni Barat ini oleh Barnes dituliskan dalam sebuah novel juga menentang penulisan novel konvensional. Sejarah Dunia dalam 10 ½ Bab ini terbagi dalam 10 bab. Satu dan lain bab memiliki topik tersendiri yang sama sekali tidak berhubungan dengan lainnya. Bab demi bab bukan dirangkai dalam jalinan alur pembuka-konflik-penyelesai n tetapi pengertian ironis atas sejarah dunia yang sesungguhnya sejarah Barat yang dipenuhi berbagai kekurangan. Kekurangan ini ada pada pengetahuan atas terma representasi di satu sisi dan pengunggulan Barat secara politis dengan menafikan budaya di luar Barat. Bukan sebuah keunggulan Barat ketika membaca novel ini, tetapi rangkaian ironi dari apa yang selama ini kita percayai tanpa kita periksa dengan serius bagaimana anggapan itu terbentuk. (*)
0 comments:
Post a Comment