oleh Imam Muhtarom
Tentang cerpen “Sukra”, “Menanam Karen di Tengah Hujan”, dan “The Autobiography of J.G.B.”
Kota mengatur dirinya dengan sistem yang sifatnya mekanis. Satu hal terkait dengan hal lain membentuk hubungan otomatis menyerupai sebuah mesin yang sifatnya tetap. Jika satu komponen diubah atau berganti fungsi, maka berubahlah secara keseluruhan. Kota tak lain sebuah sistem tertutup yang dengan sendirinya mengorganisasikan seluruh komponennya untuk bekerja serentak, bersama-sama bagai sebuah pabrik. Sulit membayangkan sebuah kota yang mengandalkan spontanitas dan secara mendadak mengubah geraknya menjadi ganjil seolah sebuah suara yang berbeda dari mayoritas suara lain yang seragam. Kota memang selalu mengelak dari keadaan majemuk, saling paut dengan suara yang berbeda-beda. Tidak adanya kemungkinan berbeda terlebih berseberangan ini didasarkan pada pengandaian sistem yang tertutup dan dari sanalah sebuah kota bisa bergerak. Lantaran itu, kontinyuitaslah yang berlaku di kota dan bukan spontanitas.
Sementara itu penyifatan kota dengan istilah “keras” tidak lain istilah ini memiliki kedekatan asosiasi dengan sifat mekanis yang dikandung oleh kota. Sifat mekanis sebagai karakter kota ini meliputi semua bidang aktivitas penghuni kota. Aktivitas para penghuni kota ini secara langsung terhubung dengan kepentingan ekonomi, sekalipun kegiatan itu sulit dipahami keculi mereka yang terlibat. Misalkan aktivitas di bidang seni rupa. Keanehan gagasan yang dibawa dalam seni rupa jika dihadapkan pada tuntutan sosial keseharian yang bersifat mekanis, maka gagasan kesenian yang berbeda atau bahkan yang berlawanan justru yang paling mendapat minat. Di sini pemahaman yang mekanistis atas dasar kepentingan ekonomi di satu sisi dan pemahaman imajinatif atas dasar jarak yang dibuat dalam kaitannya dengan aktivitas keseharian di pihak lain, disejajarkan. Penyejajaran ini terjadi justru bukan atas dasar kesamaan melainkan atas dasar keberbedaan atau bahkan berlawanan. Kontradiksi yang ada dalam kesenian dapat diakomodasi dengan leluasa oleh kepentingan-kepentingan ekonomi.
Namun kota dengan sistem yang dimilikinya sehingga memberinya berbagai kemungkinan yang tidak akan ditemukan di luar wilayah kota, sesungguhnya kota menyimpan ironi yang terkandung justru dalam sistemnya tersebut. Melalui komodifikasi atas semua benda dan keahlian, kota sesungguhnya mensyaratkan keseragaman sekalipun kota seolah memberikan keragaman pilihan. Keseragaman tersebut berupa adanya nilai yang harus ada pada benda dan keahlian. Nilai ini berkait dengan penawaran dan permintaan yang ada di kota. Setinggi apa pun nilai intrinsik yang dikandung benda dan keahlian jika tidak memenuhi kebutuhan penawaran-permintaan di kota, maka benda dan keahlian tersebut tidak bisa menjadi bagian dari kota itu. Oleh sebab penawaran-permintaan itu terjadi dengan uang sebagai pengandaiannya, tentu kepemilikan uang merupakan prasyarat utama bagi siapa pun untuk terlibat dengan realitas kota. Komodifikasi merupakan kata kunci untuk mencari penjelasan dari fenomena kota.
Tulisan ini bukan berupaya masuk ke topik ekonomi di kota, tetapi ingin menguraikan gagasan penulisan tiga cerita pendek dengan latar kota berikut implikasi yang dikandungnya serta berbagai penyangkalan dari adanya implikasi tersebut.
Cerpen “Sukra” (1996) karya Sony Karsono menggunakan kota paling mutakhir sebagai latar ceritanya dibandingkan dengan karya Afrizal Malna “Menanam Karen di Tengah Hujan” (1995) dan juga cerpen “The Autobiography of J.G.B.” (2009) karya J.G. Ballard. Dikatakan paling mutakhir ini dilihat dari penggunaan teknologi komputer berikut kemampuan simulasi oleh tokohnya, Sukra. Sementara itu nama Sukra sendiri berasal dari kisah sejarah dinasti Kerajaan Surakarta abad 18. Sekalipun tetap membawa inti dari kisah Sukra dari masa silam, Sukra dalam cerpen “Sukra” adalah mahluk buatan yang membelot dari programernya oleh keinginan menjadi manusia atas ketakjubannya akan potensi badan. Sukra ingin bebas dari belenggu programer dengan menjadi manusia bebas dengan merasakan cinta. Cinta dalam bahasa programer tidak dikenal sebab Sukra diprogram untuk membunuh bukan untuk bercinta. Sementara cinta bukan masalah tingkat presisi melainkan sesuatu yang subjektif. Tokoh ini membelot dengan bereksplorasi memperlihatkan badan seksinya di sebuah ruangan mall yang membikin kagum sekaligus aneh para pengunjung mall. Tetapi tindakan Sukra merupakan pelanggaran norma moral kota. Ia tidak diharapkan oleh sistem kota di mana ia justru ingin jadi manusia. Di sisi lain pun, yaitu bagi programer, ia juga perlu dilumpuhkan. Kisah semacam ini barangkali sudah sering kita lihat di film yang bertemakan fiksi-ilmiah.
Namun gagasan untuk menjadi manusia yang benar-benar manusia dengan melepaskan berbagai kepalsuan berupa badan sebagai pertanda bagi aib sekaligus moral. Pesona badan yang dirasakan Sukra sehingga ia melawan programernya sendiri dan melakukan eksplorasi betapa mulianya badan yang dikekang oleh norma kota, tak lain sesuatu yang sifatnya terbawa dalam badan masing-masing. Kota berupa serangkaian sistem berbentuk norma yang hanya memberikan pilihan antara “ya” dan “tidak”. Pilihan “tidak” untuk pesona badan Sukra sebab gerak sistem yang sudah berjalan mengalami gangguan. Gangguan tersebut dalan cerpen ini berupa orang-orang menari dengan indah dalam ruang bola bersama Sukra dalam mall. Sebagian warga kota ikut terpesona dengan badan yang dimiliki dan diperankan Sukra. Sukra menjelma katub pembuka dari gerak mekanis orang-orang kota sekalipun orang-orang kota menganggap mall tempat pelepasan dari kesibukan keseharian. Namun justru dalam mall yang diandaikan tempat pelepasan tersebut Sukra melakukan tariannya yang paling memesona. Ada ironis dari mall yang dihadapi orang kota ketika tempat tersebut justru tempat yang mana mekanisme transaksi besar dan paling aneh terjadi. Tempat pelepasan tersebut justru menggunakan dasar bagaimana sistem kota yang mekanis dijalankan, namun pada saat yang sama sifat mekanis tersebut dikelabui oleh sensasi inderawiah yang paling canggih. Berbagai kemampuan manusia dalam hal artistik diperlihatkan sebagai cara membentuk surga kecil yang mereka bangun dan siapa pun boleh mengaksesnya dengan syarat mereka memiliki dan merasa dalam kategori kelas menengah.
Kepalsuan mall sebagai puncak dari kultur kota sangat disadari oleh cerpen “Sukra” ini untuk secara tidak langsung menggedor kebiasaan yang berterima begitu saja dan dengan berjalannya waktu menggumpal menjadi kesadaran yang dianggap wajar. Anggapan wajar yang sesungguhnya tidak wajar dalam pandangan tokoh Sukra oleh sebab kota tak lebih kurungan abstrak yang memperlakukan individu sebagai bidak-bidak catur. Bidak-bidak ini tidak tahu bahwa apa yang mereka pandang, anggap, dan pikirkan bukan betul-betul hasil olah pikir mereka, kecuali justru mereka diarahkan dan ditentukan oleh apa yang mereka pandang, anggap, dan pikirkan. Mereka menganggap sudah mengontrol, tetapi sebaliknya justru sesungguhnya mereka yang terkontrol. Pola ini hanya khas terjadi di kota di mana benda-benda dan komunikasi menjadi bagian sentral dalam aktivitas sehari-hari manusia kota. Apa yang berperan dalam kehidupan manusia kota dengan kerumitan administrasi dan lalu lintas barang-barang guna memenuhi kebutuhan manusia tak lain sarana bagaimana pikiran penghuni kota sesungguhnya dipertukarkan. Kota tak lebih beradanya pusat administrasi berlangsung dan dikendalikan dan semua kebutuhan barang dipasok dari luar kota dan dipertukarkan dengan jasa yang diproduksi oleh manusia kota. Dan manusia kota itu sendiri pada dasarnya tidak memproduksi apa-apa kecuali berbagai administrasi yang meliputi politik, perdagangan, dan kebudayaan. Karena tidak memproduksi apa-apa kecuali berbagai retorika (kebijakan), maka keteraturan yang mekanistis untuk menjamin berlangsungnya kota adalah satu-satunya cara. Keteraturan itu bisa berupa apa saja dengan mengambil bentuk sanksi moral maupun fisik sebagaimana dialami oleh Sukra. Ia harus mati.
Komputer sebagai satu ikon dari betapa superioritasnya perkembangan yang bisa dicapai kota, salah satu alasannya ada pada kemampuan presisinya untuk mengukur sekaligus mengontrol si objek. Robot yang sebelumnya diberi identitas angka tidak lain cara bagaimana presisi itu dibayangkan serta robot tidak memiliki sisi personal sebagaimana manusia. Namun dalam cerpen ini si robot membelok sebab ia merasakan betapa mulianya apa yang disebut badan itu. Ironi muncul karena ia sesungguhnya sebuah robot. Robot bukan manusia. Komputer sebagai benda tercanggih di kota tidak bisa mengontrol objek yang dikehendaki tetapi justru membelot. Yang menjadi penting sisi ketidakakuratan yang ditawarkan komputer sebagai benda tercanggih produk kota sehingga kota tampak lebih superior. Sifat mekanis yang dialami para penghuni kota dapat dipersamakan dengan sistem kota itu sendiri yang mengabaikan potensi badan dalam mengalami kehadirannya di dunia, secara khusus dunia kota.
Cerita dalam “Sukra” merupakan dongeng tentang kota. Cerita ini menarik justru ia tidak menarik garis keras antara yang nyata dan tidak nyata, antara yang bisa terjadi dan yang mustahil terjadi. Cerpen ini bergerak secara bebas tanpa ada dikotomi dalam ceritanya seraya menyampaikan gambaran tragik yang dialami oleh manusia kota. Tentu risiko dan kemampuan cerita pendek ini berbeda ketika ia semenjak awal menggunakan kategori antara yang nyata dan tidak nyata.
Sistem kota yang tertutup juga menjadi sasaran tokoh “aku” dalam cerpen “Menanam Karen di Tengah Hujan” karya Afrizal Malna. Berbeda dengan cerpen karya Sony Karsono maupun J.G. Ballard yang nanti dibahas, selain tidak memedulikan bangunan cerita yang memiliki alur jelas, cerpen ini menghadirkan berbagai benda dan hal di kota mirip sebuah supermarket itu sendiri. Persamaannya, cerpen Afrizal ini menata kehadiran benda dan hal dalam cerpennya untuk menghadirkan suasana yang sibuk dan pembaca seperti berada dalam rak-rak supermarket yang penuh merek dan membuat pembaca terkejut-kejut sebab setiap berada di paragraf yang berbeda pembaca seperti berada di rak berbeda dengan benda konsumsi yang berbeda pula. Dalam cerpen ini Afrizal terlihat kekaguman sekaligus penolakannya atas kehadiran supermarket di Indonesia yang marak di paruh pertama tahun 1990-an, saat Soeharto menjelang kejatuhannya. Supermarket seakan menjadi puncak dari pencapaian kegiatan yang bisa dibuat oleh manusia, khususnya kota, dan pada saat yang sama tokoh “aku” melakukan penyangkalan secara individual atas penolakannya terhadap supermarket dengan segala peraturannya yang melekat kepada siapa pun pengunjungnya.
Supermarket memang bukan satu-satunya lokasi di mana tokoh “aku” berada sepanjang cerpen ini. Tokoh “aku” bersama tokoh Karen yang bule juga di gedung bioskop, dapur, jalan. Penting untuk memerhatikan apa yang dipikirkan si tokoh “aku” dengan lokasi di mana ia berada. Perhatian ini terutama dalam kaitannya tokoh “aku” menyangkal perilaku yang diinginkan oleh lazimnya ketika orang berada di supermarket, bioskop, dapur, dan jalan. Penyangkalan terhadap prosedur sosial di tengah-tengah bangunan di kota yang mensyaratkan perilaku tertentu, merupakan salah satu cara bagaimana tokoh membebaskan diri dari bentuk pelembagaan secara sosial kota. Tokoh “aku” bersama dengan tokoh Karen menjadikan dirinya eksperimentasi sosial dengan memperlakukan badan mereka sebagaimana tidak dikehendaki oleh pilihan sosial beserta tindak-tanduk badan yang telah ditetapkan oleh ruang-ruang kota. Jikalau pilihan untuk membangkang terhadap otoritas ruang sosial yang disediakan kota dalam cerpen “Menanam Karen di Tengah Hujan” ditekankan sebatas eksperimentasi individual, maka “Sukra” menunjukkan dengan jelas bahwa pembangkangan untuk pembebasan dari kootapsi ruang sosial kota berakhir dengan tragik. Kesadaran dalam tokoh-tokoh cerpen “Menanam Karen di Tengah Hujan” belum diperhadapkan secara konkret apa itu otoritas sosial kota yang secara mekanistis akan menertibkan setiap bentuk perilaku yang menyeleweng dari kelaziman yang ada. Namun, eksperimentasi yang dilakukan tokoh “aku” dalam cerpen ini telah menunjukkan secara mendasar bagaimana badan sebagai situs prosedur sosial kota tertanam sehingga badan selalu dalam kontrol mendapatkan perannya sebagai sarana pembebasan itu sendiri. Badan, dan bukan pikiran, pada tokoh “aku” diletakkan dalam kerangka mempertanyakan keabsahan prosedur sosial dalam supermarket, gedung bioskop, dan dapur di kota.
Aku tertarik dengan sapaannya, dan segera keluar dari antrian itu. Berjalan mengikuti “Karena Asing”, menyusuri rak-rak makanan kering. Ia berjalan makan sosis, ikan mentah, dan kaleng minuman dingin di tangannya. Langkahnya terasa melayang, membuat bangunan supermarket jadi berdenyut, meninggalkan lantai seperti belahan-belahan waktu yang menguap di rongga hitam itu.
“Kenapa kamu berpikir semua itu milik mereka?” ia memulai percakapan lagi, sambil melempar telur-telur mentah ke berbagai sudut bangunan. “Ambil setiap yang kau suka, seperti kita memeras diri sendiri selama ini. Ini bukan soal moral. Ini semata soal ekonomi. Soal kesewenang-wenangan, yang dibuat resmi lewat intitusi-intitusi ekonomi….” (hal. 42)
Apa yang dilakukan Karen asing dan kemudian menjadi bagian dari perilaku si tokoh “aku” untuk mengabaikan prosedur resmi ketika berada di supermarket adalah dengan bertindak apa yang tidak diinginkan oleh ruang sosial di mana mereka berada. Perilaku ini tidak ada kaitannya dengan keanehan individual menurut kategori psikologis, tetapi eksperimentasi dari berbagai kemungkinan yang bisa dilakukan seseorang dari begitu mekanisnya struktur yang diciptakan oleh ruang sosial di supermarket. Individu memiliki pilihan sosial yang beragam dan begitu pula badan memiliki banyak sekali kemungkinan melakukan berbagai gerak sebagai respon terhadap objek-objek di sekelilingnya. Respon yang dilakukan oleh tokoh aku dalam supermarket dengan meletakkan badannya dengan segenap alat inderawinya adalah ketika tokoh “saya” melemparkan tong asbak sampah.
Di teras supermarket aku ambil tong asbak sampah, lalu aku lempar ke dalam ruang supermarket. Suara berkelontongan dari tong yang menggelinding itu, merangsang pikiranku untuk mengerti dunia yang lain. Dunia yang tidak pernah ditawarkan oleh kebaikan dan kebenaran. (hal. 44)
Badan dengan segala kemampuannya untuk mengalami ruang dengan berbagai kemungkinannya adalah strategi keluar dari bekapan ruang sosial di dalam supermarket. Sifat mekanistis dalam ruang semacam supermarket tidak memberi kemungkinan para pengunjungnya melakukan berbagai pilihan perilaku kecuali satu pilihan dalam hubungannya dengan kegiatan transaksi uang dengan barang. Pengunjung memang diberi keleluasaan untuk memilih barang yang disukainya lewat berbagai strategi pengemasan dan promosi baik di dalam ruang supermarket itu maupun di luar supermarket. Namun, kebebasan memilih itu sendiri sehingga ada jeda kebebasan dalam diri pengunjung untuk memilih apa yang disukainya, lagi-lagi tak lain strategi bagaimana pengunjung dengan keleluasaannya justru diarahkan agar ia berbelanja sebanyak-banyaknya. Ia bebas memilih tetapi ia sesungguhnya sama sekali tidak bebas. Ia berada dalam genggaman ruang spasial yang sesungguhnya bentuk lanjut dari sifat kapital yang ingin terus memperbarui diri. Jika dalam perdagangan tradisional terjadi hubungan sosial antara pembeli dan penjual sekalipun tidak tersirat kebebasan sebagaimana dalam supermarket, tetapi si pembeli mampu melakukan penawaran. Sementara di dalam supermarket ilusi yang ditawarkan dengan cara bebas memilih sesungguhnya pembeli berada dalam ruang sosial yang telah sedemikian dikontrol. Terlebih badan dengan segenap kemampuannya dikendalikan sedemikian di antara jajaran rak, pintu pengaman untuk masuk dan keluar, kasir, di bawah udara berpendingin, dan penitipan tas. Dan utamanya dalam kegiatan transaksi di supermarket itu adanya seleksi dengan sendirinya bahwa yang masuk ke supermarket mensyaratkan adanya kepemilikan uang tunai atau kartu kredit.
Supermarket dalam cerpen karya Arizal Malna ini sesungguhnya tidak sebatas berlaku pada ruang sosial di supermarket atau mall, tetapi prosedur operasionalnya berlaku juga di luar supermarket. Supermarket memberikan imajinasi yang kongkret ketika sebuah ruang sosial mengalami strukturasi oleh kapital, maka risiko yang akan terjadi tidak lebih jauh sebagaimana yang ada di dalam supermarket tersebut. Tidak adanya pilihan bebas jika segala sesuatunya telah mengalami strukturasi oleh kapital. Dan apa yang ditawarkan oleh badan sebagaimana dilakukan tokoh “saya” dalam cerpen karya Afrizal, sebatas pembebasan instingtif. Cara semacam ini menarik karena ia bagaikan jendela-jendela kecil untuk merasakan hawa segar yang berhembus dari luar yang sebentar mengurangi kelembaban di dalam. Persoalan utamanya sesungguhnya ada pada struktur ruang itu sendiri sehingga individu di dalamnya tidak mengalami kenyamanan sebagai tujuan utama didirikannya. Justru, ruang itu menjadi masalah utama dari individu yang tinggal di sana.
Jika pada cerpen “Sukra” langkah pembangkangan diringkus oleh aparatus kota sebagai satu penyelewengan yang tidak diinginkan otoritas dalam kota, cerpen karya Afrizal Malna ini sebatas pembebasan instingtif dari kemungkinan yang bisa diciptakan oleh badan dengan segenap potensi inderawinya.
Sementara itu cerpen “The Autobiography of J.B.G” karya J.G. Ballard (2009) berkaitan dengan Kota London mengisahkan tokoh B mendapati wilayah tempat tinggalnya kosong melompong. Cerpen ini dibuka dengan tokoh B bangun pada suatu pagi dan mendapati tempat tinggalnya tidak ada siapa-siap dia seorang diri. Ia kemudian pergi ke pusat kota dan menjumpai Kota London hari itu dialami tokoh B benar-benar tak berpenghuni seorang pun kecuali ia hanya bertemu burung-burung beterbangan. Ia tidak mendapati pesawat terbang yang biasanya berlintasan di langit menuju Kota London. Ia tidak menjumpai satu tetangga pun ketika hendak menyampaikan keluhannya kepada tetangganya perihal tidak berfungsinya kulkas miliknya, lisrik mati, begitu pun dengan telepon. Kota yang luar biasa sibuk tersebut, semenjak tokoh B bangun pagi, lenyap keseluruhannya.
Ia pun kemudian mengendarai mobilnya dan menjumpai jalanan kosong, tak ada petugas stasiun pengisian bahan bakar. Ketika ia hendak mencari tahu apa yang menyebabkan lenyapnya penduduk pagi itu dengan mengandalkan koran dan DPR, lagi-lagi tidak ada yang bisa dia temukan. Tokoh B lalu menggunakan perahu motor di daerah Dover. Di wilayah laut ia tidak menemukan kesibukan feri lalu-lalang maupun aktivitas tangker pengangkut minyak. Tidak ada yang bisa ia temukan sebagaimana tak ada yang bisa dilakukan berkaitan dengan lenyapnya para penguhuni kota. Justru kemudian beberapa bulan kemudian wilayah tempat tinggalnya di Shepperton banyak dihuni oleh berbagai jenis burung menyerupai kandang burung raksasa. Namun tokoh B justru merasa tenang pada akhirnya dan bisa menjalani kegiatannya dengan baik.
Cerpen ini memiliki kesan surrealis sebab tidak bisa dibayangkan Kota London sebagai kota tersibuk di dunia menjadi kosong melompong. Sebagai kota tersibuk tentunya London bisa dianggap sebagai kota yang paling kongkret dalam hal bagaimana sistem tertutup di kota dialami oleh para penghuninya. Dalam cerpen ini memang tidak ada keterangan sama sekali yang menunjukkan bahwa kota telah mengontrol keberadaan individu sebagaimana dalam cerpen “Sukra” maupun cerpen “Menanam Karen di Tengah Hujan”. Dengan keterangan bahwa “Pada sebuah pagi saat ia tengah terbangun, B terkejut mendapati Shepperton kosong melompong.”, diisyaratkan adanya kesibukan pada pagi lain sebelumnya pada Kota London sebagai salah kota tersibuk di dunia. Namun sebagai kota ia mungkin lebih besar dan lebih canggih dari segi administratif dari kota yang dijadikan latar cerita cerpen “Menanam Karen di Tengah hujan” dan barangkali sejajar dengan latar kota “Sukra”. Dalam cerpen karya Ballard ini ditunjukkan bagaimana kota merupakan pusat dari segala sesuatu. Tokoh B ke kota salah satu tujuan terpentingnya adalah mencari koran dan keterangan dari DPR perihal lenyapnya para penduduk. Di sini kota berperan sebagai pengendali dengan berbagai keputusan administratif dan bersumbernya segala informasi dengan para ahlinya untuk memberikan penjelasan ke semua orang baik yang di dalam maupun di luar kota. Kota tidak menghasilkan apa pun kecuali kata-kata dalam bentuk undang-undang dan informasi yang dipasok ke seluruh penjuru wilayah peredarannya untuk dikonsumsi, terutama orang semacam tokoh B yang bukan siapa-siapa kecuali warga masyarakat biasa.
Dalam cerpen karya Ballard ini muncul sejenis utopia atas sebuah keadaan sangat lain dari kota yang selalu diliputi hiruk pikuk. Sebuah kota yang tanpa sebab yang jelas ditinggal oleh para penghuninya. Pembaca boleh menduga berbagai macam atas peristiwa lenyapnya penduduk kota. Namun yang paling mendasar dari keinginan yang secara tak langsung diutarakan oleh tokoh B adalah keadaan kota yang kosong melompong itu. Tokoh B dapat mengalami apa yang ia sebut dengan rasa nyaman dan dengan itu bisa melakukan kegiatannya dengan baik.
Dalam cerpen ini tidak ada kerumitan sebagaimana ditunjukkan dalam tokoh Sukra maupun tokoh “saya” dan Karen dalam cerpen “Menanam Karen di Tengah Hujan”. Harapan ekstrem tidak langsung tokoh ini tentunya adalah cerminan kebebasan ia melakukan apa saja tanpa harus terbatasi bahkan terkontrol dari kekuatan yang dikehendaki berbagai peralatan, benda-benda, informasi, undang-undang. Tokoh B laksana berada di padang yang ujung dari pikirannya adalah kaki langit yang membentang. Ia tidak lagi berada dalam situasi tertib sekaligus terkendali di bawah struktur kota.
Memang pembaca tidak mendapat alasan yang masuk akal bagaimana keadaan melompongnya kota London tersebut bisa terjadi, kecuali oleh keajaiban. Keajaiban yang sulit dibayangkan terjadi dari latar sosial kota kecuali menempatkan cerpen tersebut sebagai sebuah konsep ideal di mana bukan pada bagaimana keadaan ideal tersebut mewujud, tetapi lebih pada konsepsi keadaan ideal dari sebuah kehidupan kota. Karena itu, dalam hal bagaimana kota dikonsepsikan secara ideal cerpen ini utopis, tetapi dari sisi tujuan cerpen ini memang menawarkan suatu keadaan ideal. Tujuan ideal tersebut ada pada tokoh B tidak mengalami berbagai pembatasan dan kontrol atas pilihan sosial dalam hidupnya.***
Sumber bacaan:
1. Sony Karsono, Insomnia & Hipperalitas (Rumah Biru, 1996).
2. Afrizal Malna, Seperti Sebuah Novel yang Malas Mengisahkan Manusia (Indonesia Tera, 2003).
3. New Yorker, Mei, 2009.
Jurnal Cerpen edisi 11
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment