Ruang dalam kota adalah sebuah panggung bagi para penghuni kota. Panggung itu, antara lain, berupa mal, jalan, tempat hunian, kantor, alat transportasi, terminal, toilet di gedung DPR, dan sebagainya. Dalam panggung, para penghuni kota tak ubahnya para aktor yang tengah memainkan peran masing-masing. Peran yang dibawakan oleh para aktor itu tidak saja bergantung pada kelas sosial, tetapi juga negosiasi terus-menerus para aktor dengan ruang di kota tersebut. Ruang kota merupakan bagian yang tidak terpisahkan untuk melihat ekspresi sosial yang dibawakan para aktor. Bedanya, dalam teater, peran aktor bergantung pada naskah dan arahan sutradara, sedangkan dalam kota para penghuninya tidak sepenuhnya tahu naskah apa dan siapa sutradaranya dalam sandiwara kehidupan kota tersebut.
Kelengkapan ruang kota sebagai panggung itu diisi oleh berbagai aksesori benda berupa ponsel, komputer, mobil, pakaian, perhiasan, yang membuat para aktor kian menghayati perannya. Bahkan, peran tersebut dalam realitas kota tidak lain menunjuk pada identitas yang paling orisinal. Para penghuni kota tidak menyadari realitas ruang yang justru berperan dalam membentuk berbagai perilaku yang tampak di kota. Ruang yang tampak fisik tersebut sebenarnya manifestasi dari pengetahuan dan kekuasaan yang hanya muncul dalam realitas mental. Ruang fisik mengalami konkretisasi dalam bentuk kesadaran.
Persoalan ruang kota tersebut diangkat dalam pameran seni rupa di Galeri Nasional Jakarta pada 21-28 Februari 2010 yang diselenggarakan Jakarta Art Movement (JAM). Tajuk pameran itu adalah The Second God. Pameran tersebut diikuti 15 kelompok perupa dengan 15 karya seni rupa dari Jakarta dan sekitarnya yang menempati gedung utama Galeri Nasional. Tidak kurang 100 orang yang ikut dalam pameran itu dengan berbagai latar belakang profesi: wartawan, pengamen, pelukis, pematung, pembuat film, desain grafis, perancang busana, arsitek, mahasiwa elektro, pengajar, animator, dan pengusaha. Ada empat kurator yang menangani pameran tersebut: Bambang Asrini Widjanarko, Ilham Khoiri, Seno Joko Suyono, dan saya sendiri.
Sebanyak 15 karya seni rupa dari 15 kelompok itu menyoal dan menanggapi berbagai fenomena kota dengan masing-masing karya berada menyatu dalam ruang yang spesifik untuk menyatakan ada masalah dengan ruang di kota; ruang adalah bagian yang penting dalam pembentukan sebuah kota.
Ruang diformulasikan dalam bentuk yang abstrak lewat pemanfaatan cahaya dalam karya Blind Side dari kelompok Dream Icon. Ruang dalam karya itu ditunjukkan lewat permainan cahaya yang diolah lewat komputer yang dipancarkan proyektor. Efek permainan cahaya tersebut membentuk ruang yang seolah nyata dalam ruang terbalut kain putih. Ada lima kotak bercat putih di ruang putih sehingga ketika cahaya ditembakkan, tampak objek-objek ganjil dari ruang artifisial cahaya itu. Karya tersebut seolah ingin berbicara, sekalipun ruang itu abstrak. Ia hadir secara mental dan sungguh sulit mengendalikannya. Tidak hadirnya manusia dalam karya tersebut semakin meyakinkan bahwasanya ruanglah yang berperan dalam realitas kota.
Sementara ruang pada karya Cyborg Worship karya kelompok Ario & Universitas Tarumanagara terbangun atas kehadiran perempuan robot dengan kepala berwujud monitor. Separo badannya berupa maneken, separo lainnya berupa robot. Dalam karya itu, ruang terefleksikan pada situasi magis yang terbangun oleh badan perempuan berkepala monitor yang isinya citra otak yang berputar serta monitor kecil yang tertanam di dada berupa citra jantung yang berdetak. Kemudian, suara yang menyatakan instruksi ''sembahlah aku, sembahlah aku'' bikinan musisi Fahmi Alatas terdengar dari headphone yang mesti dipakai pengunjung untuk mendengarkannya.
Ruang yang terbangun dalam karya itu sungguh sesuatu yang seram. Objek-objek teknologi tidak digunakan secara fungsional, tetapi dimanfaatkan untuk berbicara perihal sebenarnya perangkat teknologi tersebut sebagai sarana menguasai manusia, secara khusus manusia kota.
Tidak ada ruang yang netral dalam kota. Setiap ruang adalah medan konstatasi yang berkaitan erat dengan kekuasaan, entah itu modal maupun negara. Dalam Applause karya E(X), seru tepuk tangan secara serempak pada satu bidang. Karya tersebut hendak menunjukkan hasrat manusia untuk mendapatkan tepuk tangan dari orang lain dalam jumlah yang banyak. Secara lebih verbal, sambutan yang dimaksud tergambar pada dokumentasi video di depan Kantor KPK, Bank Century, MK, dan kejaksaan. Tepuk tangan bagian dari hasrat yang hadir dalam ruang publik.
Dengan agak metaforis, ruang juga mendapat representasi dalam Man and the Racing karya Tato dan Agus. Karya itu terdiri atas lukisan sepanjang 12 meter berobjek orang yang sedang berlari dalam warna hijau. Sementara itu, sejumlah patung warna metalik tengah berlari di samping lukisan. Di ujung sosok-sosok berlarian tersebut, muncul sosok sedang berlari yang dipancarkan dari proyektor. Sosok itu terlihat hanya berlari tanpa ujung pemberhentian. Kita tidak tahu sampai kapan ia mengarungi sekaligus menciptakan ruang untuk larinya tersebut.
Kehadiran ruang kota yang penuh berbagai produk industri itu mendapat problematisasi yang cukup kuat pada karya God Beli's You dari kelompok Atap Alis. Dengan mengecat dinding seluas 8 x 4 meter bergambar barcode dengan diselingi berbagai produk makanan-minuman, pakaian, benda elektronik, karya tersebut memasang benang-benang ke objek-objek hitam peralatan militer yang terbuat dari limbah industri. Karya itu melawan dominasi produk-produk industri di kota sehingga ruang kota tak lain adalah etalase dagang dengan cara membenturkannya lewat limbah-limbah industri.
Dalam karya kelompk Atap Alis itu, ruang tidak didiamkan dalam intervensi produk-produk industri, tetapi dikonstatasikan dengan limbahnya. Apa yang menarik di ruang kota tidak dibiarkan dalam laju pengaruh modal, tetapi dikritisi lewat perilaku para penghuni kota untuk menyeimbangkan ruang kotanya.
Jika konstatasi itu tidak dilakukan, sebagaimana terungkap dalam karya Shadow dari kelompok Begoendal, para penghuni kota tak lebih hanyalah objek dari perangkat CCTV yang dipasang di mal, kantor pemerintah, dan jalan-jalan sebagai alat pengawasan. CCTV sesungguhnya sarana penakluk agar para penghuni kota menuruti kehendak pemilik mal dan penguasa. Sementara para penghuni kota itu tidak diberi layanan memadai oleh pemerintah dan para pemodal. Justru keduanya berkolaborasi mengeksploitasi para penghuni kota. Dalam karya Shadow, para pengunjung diberi tahu fungsi CCTV yang tersembunyi dengan menampilkan kembali citraan yang ditangkap kamera ke dalam monitor yang tersusun seluas 6 x 6 meter.
Pameran seni rupa The Second God mengajak berbagai pihak untuk menyadari kembali bahwa ruang kota harus bersifat publik. Dalam arti, segala kebijakan kota harus berkiblat pada kepentingan publik. Sebab, publiklah yang sesungguhnya berwenang mengatur kota lewat institusi kota yang diberi mandat. Jika itu tidak berjalan, sudah selayaknya publik mengambil peran yang telah diberikan tersebut.
Pesan itu disampaikan lewat karya Kalathida oleh kelompok Agus Budiyanto and Friends. Yakni, berupa mobil bekas yang dipajang di atas karpet merah. Dari dalam mobil rongsokan tersebut, muncul bunga putih yang terbuka ke atas. Perupa ingin mengatakan bahwa di sebuah kota lebih baik muncul harapan dan semangat yang baik dari sesuatu yang buruk daripada muncul harapan dan semangat destruktif dari sesuatu yang bagus. (*)
*) Imam Muhtarom, peminat seni rupa, tinggal di Jakarta
Jawa Pos, Minggu, 28 Februari 2010
Kelengkapan ruang kota sebagai panggung itu diisi oleh berbagai aksesori benda berupa ponsel, komputer, mobil, pakaian, perhiasan, yang membuat para aktor kian menghayati perannya. Bahkan, peran tersebut dalam realitas kota tidak lain menunjuk pada identitas yang paling orisinal. Para penghuni kota tidak menyadari realitas ruang yang justru berperan dalam membentuk berbagai perilaku yang tampak di kota. Ruang yang tampak fisik tersebut sebenarnya manifestasi dari pengetahuan dan kekuasaan yang hanya muncul dalam realitas mental. Ruang fisik mengalami konkretisasi dalam bentuk kesadaran.
Persoalan ruang kota tersebut diangkat dalam pameran seni rupa di Galeri Nasional Jakarta pada 21-28 Februari 2010 yang diselenggarakan Jakarta Art Movement (JAM). Tajuk pameran itu adalah The Second God. Pameran tersebut diikuti 15 kelompok perupa dengan 15 karya seni rupa dari Jakarta dan sekitarnya yang menempati gedung utama Galeri Nasional. Tidak kurang 100 orang yang ikut dalam pameran itu dengan berbagai latar belakang profesi: wartawan, pengamen, pelukis, pematung, pembuat film, desain grafis, perancang busana, arsitek, mahasiwa elektro, pengajar, animator, dan pengusaha. Ada empat kurator yang menangani pameran tersebut: Bambang Asrini Widjanarko, Ilham Khoiri, Seno Joko Suyono, dan saya sendiri.
Sebanyak 15 karya seni rupa dari 15 kelompok itu menyoal dan menanggapi berbagai fenomena kota dengan masing-masing karya berada menyatu dalam ruang yang spesifik untuk menyatakan ada masalah dengan ruang di kota; ruang adalah bagian yang penting dalam pembentukan sebuah kota.
Ruang diformulasikan dalam bentuk yang abstrak lewat pemanfaatan cahaya dalam karya Blind Side dari kelompok Dream Icon. Ruang dalam karya itu ditunjukkan lewat permainan cahaya yang diolah lewat komputer yang dipancarkan proyektor. Efek permainan cahaya tersebut membentuk ruang yang seolah nyata dalam ruang terbalut kain putih. Ada lima kotak bercat putih di ruang putih sehingga ketika cahaya ditembakkan, tampak objek-objek ganjil dari ruang artifisial cahaya itu. Karya tersebut seolah ingin berbicara, sekalipun ruang itu abstrak. Ia hadir secara mental dan sungguh sulit mengendalikannya. Tidak hadirnya manusia dalam karya tersebut semakin meyakinkan bahwasanya ruanglah yang berperan dalam realitas kota.
Sementara ruang pada karya Cyborg Worship karya kelompok Ario & Universitas Tarumanagara terbangun atas kehadiran perempuan robot dengan kepala berwujud monitor. Separo badannya berupa maneken, separo lainnya berupa robot. Dalam karya itu, ruang terefleksikan pada situasi magis yang terbangun oleh badan perempuan berkepala monitor yang isinya citra otak yang berputar serta monitor kecil yang tertanam di dada berupa citra jantung yang berdetak. Kemudian, suara yang menyatakan instruksi ''sembahlah aku, sembahlah aku'' bikinan musisi Fahmi Alatas terdengar dari headphone yang mesti dipakai pengunjung untuk mendengarkannya.
Ruang yang terbangun dalam karya itu sungguh sesuatu yang seram. Objek-objek teknologi tidak digunakan secara fungsional, tetapi dimanfaatkan untuk berbicara perihal sebenarnya perangkat teknologi tersebut sebagai sarana menguasai manusia, secara khusus manusia kota.
Tidak ada ruang yang netral dalam kota. Setiap ruang adalah medan konstatasi yang berkaitan erat dengan kekuasaan, entah itu modal maupun negara. Dalam Applause karya E(X), seru tepuk tangan secara serempak pada satu bidang. Karya tersebut hendak menunjukkan hasrat manusia untuk mendapatkan tepuk tangan dari orang lain dalam jumlah yang banyak. Secara lebih verbal, sambutan yang dimaksud tergambar pada dokumentasi video di depan Kantor KPK, Bank Century, MK, dan kejaksaan. Tepuk tangan bagian dari hasrat yang hadir dalam ruang publik.
Dengan agak metaforis, ruang juga mendapat representasi dalam Man and the Racing karya Tato dan Agus. Karya itu terdiri atas lukisan sepanjang 12 meter berobjek orang yang sedang berlari dalam warna hijau. Sementara itu, sejumlah patung warna metalik tengah berlari di samping lukisan. Di ujung sosok-sosok berlarian tersebut, muncul sosok sedang berlari yang dipancarkan dari proyektor. Sosok itu terlihat hanya berlari tanpa ujung pemberhentian. Kita tidak tahu sampai kapan ia mengarungi sekaligus menciptakan ruang untuk larinya tersebut.
Kehadiran ruang kota yang penuh berbagai produk industri itu mendapat problematisasi yang cukup kuat pada karya God Beli's You dari kelompok Atap Alis. Dengan mengecat dinding seluas 8 x 4 meter bergambar barcode dengan diselingi berbagai produk makanan-minuman, pakaian, benda elektronik, karya tersebut memasang benang-benang ke objek-objek hitam peralatan militer yang terbuat dari limbah industri. Karya itu melawan dominasi produk-produk industri di kota sehingga ruang kota tak lain adalah etalase dagang dengan cara membenturkannya lewat limbah-limbah industri.
Dalam karya kelompk Atap Alis itu, ruang tidak didiamkan dalam intervensi produk-produk industri, tetapi dikonstatasikan dengan limbahnya. Apa yang menarik di ruang kota tidak dibiarkan dalam laju pengaruh modal, tetapi dikritisi lewat perilaku para penghuni kota untuk menyeimbangkan ruang kotanya.
Jika konstatasi itu tidak dilakukan, sebagaimana terungkap dalam karya Shadow dari kelompok Begoendal, para penghuni kota tak lebih hanyalah objek dari perangkat CCTV yang dipasang di mal, kantor pemerintah, dan jalan-jalan sebagai alat pengawasan. CCTV sesungguhnya sarana penakluk agar para penghuni kota menuruti kehendak pemilik mal dan penguasa. Sementara para penghuni kota itu tidak diberi layanan memadai oleh pemerintah dan para pemodal. Justru keduanya berkolaborasi mengeksploitasi para penghuni kota. Dalam karya Shadow, para pengunjung diberi tahu fungsi CCTV yang tersembunyi dengan menampilkan kembali citraan yang ditangkap kamera ke dalam monitor yang tersusun seluas 6 x 6 meter.
Pameran seni rupa The Second God mengajak berbagai pihak untuk menyadari kembali bahwa ruang kota harus bersifat publik. Dalam arti, segala kebijakan kota harus berkiblat pada kepentingan publik. Sebab, publiklah yang sesungguhnya berwenang mengatur kota lewat institusi kota yang diberi mandat. Jika itu tidak berjalan, sudah selayaknya publik mengambil peran yang telah diberikan tersebut.
Pesan itu disampaikan lewat karya Kalathida oleh kelompok Agus Budiyanto and Friends. Yakni, berupa mobil bekas yang dipajang di atas karpet merah. Dari dalam mobil rongsokan tersebut, muncul bunga putih yang terbuka ke atas. Perupa ingin mengatakan bahwa di sebuah kota lebih baik muncul harapan dan semangat yang baik dari sesuatu yang buruk daripada muncul harapan dan semangat destruktif dari sesuatu yang bagus. (*)
*) Imam Muhtarom, peminat seni rupa, tinggal di Jakarta
Jawa Pos, Minggu, 28 Februari 2010
0 comments:
Post a Comment