Bulan itu bergerak di dinding panggung pelan-pelan dari kiri ke kanan. Awalnya bulan itu tampak merah namun perlahan berubah biru. Bulan menandai berawal dan berakhirnya malam. Namun dalam pentas teater ini bulan juga menandai berawal dan berakhirnya peristiwa di panggung. Peristiwa mengenai sekelumit kehidupan pelacuran Kremil, Surabaya, Jawa Timur.
Tiga aktris berdiri di tengah panggung. Masing-masing berdiri di sisi sebuah kasur yang di tata tegak dan kursi di depannya. Sementara di sayap kanan seorang tua tengah menjahit kasur dengan kapasnya terburai ke luar. Di sayap kiri, seorang perempuan muda duduk diam, sendiri, memandang hampa ke penonton.
Ketiga aktris di tengah berdiri tegak menatap ke penonton seolah sebuah upacara. Dara yang berdiri di sisi paling kanan berjalan ke tengah panggung, dengan lantang menyampaikan pengakuan. Dara berasal dari sebuah daerah yang berjarak 100 km dari Surabaya. Hidupnya diliputi kemiskinan yang membuatnya hanya tamat SMP. Bekerja di pabrik. Pacarnya melibatkan dirinya ke dalam hidup kriminal, alkohol, dan dipaksa melayani nafsu seks pacar dan teman pacarnya. Ia lari. Ketemu seseorang yang dalam janjinya mencarikan pekerjaan, ternyata justru menjerumuskannya ke pelacuran di kawasan Kremil, Surabaya.
Selanjutnya, ketiga aktris yang berdiri di tengah lenyap di balik kasur berdiri, lalu muncul seorang anak berseragam SD berlari mendekati kasur-kasur seraya memanggil-manggil “mama”. Tak ada jawaban. Berusaha mencari di balik kasur. Tidak ada tanggapan. Berteriak lagi mengenai dirinya yang naik kelas dan meraih rangking 3 di kelasnya. Tak ada jawaban sampai ia berlari ke sayap panggung kanan dan hilang. Sunyi.
Kemudian muncul 2 gadis berseragam SMP berlarian dari sayap kanan dan kiri panggung. Bertemu di tengah dan menyatakan bahwa mereka baru dikeluarkan dari sekolah dan berencana ke diskotik.
Adegan yang seakan berdiri sendiri tersebut berikutnya cair oleh dialog Dara, Erick, Krishna, dan ibu tua yang terus-menerus menjahit kasur jebol, Bu Sri. Keempatnya bercakap lewat sahut-sahutan sepinya tamu malam itu di Kremil. Sesekali Bu Sri menyauti percakapan dengan pernyataan kasar tapi menimbulkan respon tawa dari penonton. Kelucuan yang kasar tapi akrab tersebut hanyalah pernik kecil di tengah persoalan besar yang melingkupi kehidupan pelacuran Kremil Surabaya.
Pementasan lakon “Rembulan di Atas Kremil” oleh Teater Berdaya dan Bengkel Muda Surabaya pada Rabu pekan lalu di Kompleks Balai Pemuda Surabaya didasari kisah nyata para pekerja seks di kawasan Kremil. Kedelapan aktris yang ada di panggung bersentuhan langsung dalam kehidupan pelacuran Kremil. Keempat aktris merupakan pekerja seks yang masih aktif, sementara lainnya terkait langsung dengan kehidupan Kremil.
Persoalan yang diangkat di pentas tersebut tidak lain pengalaman nyata dan diperankan langsung oleh yang mengalaminya. Para aktris sama sekali tidak berjarak dengan apa yang dialaminya. Ini kenapa para aktris tersebut pemeranannya dikomentari tampak kaku dan tidak lentur dalam membawakan perwatakannya sekalipun itu masalah yang mereka alami sendiri. Boleh jadi lantaran mereka memang tidak terlatih secara profesional sebagai pemain teater.
Lebih dari itu, sebetulnya beban psikologis yang menyelubungi para aktris sehingga tubuh mereka tampak kaku dan berat. Jika dalam sehari-harinya para perempuan ini menganggap badan mereka adalah “barang” yang mereka jual pada tamu dengan bahasa yang tentu saja penuh keakraban. Tapi, di panggung badan para perempuan itu berada dalam situasi yang sama sekali berbeda. Di panggung mereka dihadapkan pada sorot mata penonton yang seakan menelanjangi. “Aku shock. Aku melihat kehidupanku yang hina di depan penonton,” kata seorang pemain kepada Yayuk WL dari Hotline Surabaya yang terlibat dalam penggarapan ini.
Dramatik yang ditimbulkan dalam lakon teater yang disutradarai Zaenuri lebih disebabkan oleh kesaksian yang dinyatakan langsung oleh para pelakunya sendiri. Demikian dramatisnya si Erick harus dijual oleh suaminya sendiri kepada teman-temannya sementara si suami bersenang-senang dengan perempuan lain diluar. Si Erick dipukul, disekap, dan menyebabkan lari dan menjadi penghuni Kremil. Dua di antara mereka positif HIV. Persoalan berbeda dari masing-masing pekerja seks ini memiliki muara yang sama: Kremil.
Strategi kesaksian yang digunakan dalam pementasan ini menimbulkan empati kepada para penonton. Pada penonton dibentangkan serangkaian kenyataan yang dalam kehidupan sehari-hari lewat begitu saja dan dibatasi oleh asumsi-asumsi moral yang beredar di masyarakat. Sebaliknya, pada para pemain sendiri dibentangkan ruang terbuka sehingga apa yang terbungkam selama ini bisa dirasakan secara bersama. Anggapan bahwa diri mereka hina, menjijikkan di mata masyarakat, di panggung mendapat persaksian yang utuh. Batasan-batasan moral dalam kehidupan sehari-hari diterobos.
Panggung menjadi ruang pembebasan bagi pekerja seks dan penonton. Masa lampau pekerja seks yang kelam dibongkar, sementara sekat moral pada penonton dilepaskan. Panggung menjadi medium refleksi bagi pengalaman kedua belah pihak. Di sini panggung tidak hanya medium artistik sebuah pementasan, tetapi panggung sebagai medium penyembuhan bagi pekerja seks atas traumatik masa lampau, kini, dan depan. Adapun penonton mendapat kesempatan untuk melihat sisi manusiawi pada diri pekerja seks dan persepsi merendahkan yang selama ini tertanam kuat secara sosial. Panggung merupakan proses pembacaan ulang atas pengalaman dan persepsi yang sudah baku dalam kehidupan sehari-hari.
”Aku menjadi lebih percaya diri setelah mengeluarkan semua uneg-uneg,” kata si Dara usai pementasan.”Aku berharap berkeliling Indonesia dengan pentas teater ini.”
Zaenuri sendiri selaku sutradara mengaku bentuk penggarapan teater ini memberi kemungkinan lain dibandingkan jika semenjak awal ia menggarap naskah yang sudah jadi dan diperankan dari kalangan teater sendiri. “Kenyataan di Kremil merupakan teater tersendiri dan kenapa tidak mengangkatnya sebagaimana adanya?” katanya.
Penulis: Imam Muhtarom, pengamat teater.
Terbit di Koran Tempo, Jum'at, 19 November 2010
0 comments:
Post a Comment