oleh Imam Muhtarom
Kelanggengan sebuah kota adalah suplai berbagai barang yang tidak dimilikinya dan tuntutan akan adanya sebuah sistem yang memungkinkan terpenuhinya beragam kebutuhan tersebut. Gagasan mengelola sama pentingnya dengan mendatangkan berbagai barang. Gagasan mengelola ini semakin hari kian canggih bukan saja pada kecukupannya, tetapi juga perluasan yang semakin spesifik di kemudian hari. Kota, terutama kota besar di abad 21, mencakup terpenuhinya makan siang di sebuah depot kecil hingga pasokan informasi secepat kedipan mata.
Kota di abad 21 memiliki kompleksitas yang luar biasa sebab telah berlipat hingga barangkali ribuan kali kebutuhan para penghuni kota, juga kota hari ini terkoneksi secara erat dengan kota-kota lainnya. Hal ini secara langsung memberi kenyamanan sekaligus keyakinan kepada penghuni maupun calon penghuni bahwa sebuah kota lebih memberikan masa depan dibanding dengan kota lainnya.
Sikap hidup mengedepankan efisiensi dalam segala lini kehidupan, adalah sesuatu yang lazim dalam kehidupan kota. Kelaziman ini lantaran adanya kota sendiri terbangun oleh alasan-alasan yang memang ekonomis. Sikap tergesa ketika jalan kaki, jarang bersapa akrab, penuh perhitungan, adalah sikap yang memiliki alasan di baliknya sekalipun orang itu sendiri tidak tahu kenapa mereka memiliki sikap semacam itu. Perhitungan dan tata ekonomi yang pada awalnya menjawab kebutuhan yang sifatnya fisik, pada akhirnya—dan ini tidak bisa ditolak—merasuk menjadi bagian yang melekat dalam alam pikiran para penghuni kota.
Kecenderungan maraknya kehidupan malam pada setiap kota, tidak lain sebuah sikap kompensasi dari kehidupan yang dipenuhi sikap ekonomis tadi. Kehidupan malam yang didasari sikap penuh kesantaian, menghamburkan demi mengejar kesenangan, mabuk duniawi, bertolak belakang dengan kehidupan siang hari di kota. Kecenderungan ini kian hari kian meningkat pada setiap kota. Bentuk dan sikap kompensasi atas semangat efisiensi ini tidak melulu kehidupan malam tetapi juga sikap konsumerisme dengan padatnya pengunjung mall maupun supermarket.
Intinya, seefisien apa pun semangat yang menjalari sebuah kota, akan selalu muncul perilaku yang cenderung berlawanan. Ironisnya, segala bentuk perlawanan dari semangat efisiensi ini telah diakomodasi dengan jitu oleh kalangan bisnis. Orang bisa meluapkan segela kejenuhan akan kekakuan sistem yang dianggap membatasi dalam bentuk belanja sebanyak-banyaknya, membeli karya seni yang harganya menjulang hingga tidak masuk diakal, atau ikut perkumpulan sekte, perilaku seks bebas, dan lain sebagainya.
Karena itu, letupan “primitif” yang tersembunyi dalam diri manusia ini, seharusnya dipahami oleh mereka yang langsung menjadi bagian penentu perencanaan sebuah kota. Jika pelepasan hanya diserahkan pada konsumerisme, hal itu akan mengukuhkan hasrat materialisme yang sebenarnya secara tidak sadar hendak ditolak lewat serangkaian perilaku “menyimpang”. Pada titik inilah seni dan festival di kota relevan untuk dibicarakan.
***
Perhelatan seni, katakanlah festival seni, hendaknya ingin menjawab kebutuhan non-materiil para penghuni kotanya. Namun kebutuhan yang dimaksud selalu mempertimbangkan kota itu sendiri sebagai masalah yang hendak direfleksikan. Non-materiil yang dimaksud bukan sebuah pengalaman spiritual dunia antah berantah, tetapi pengalaman yang nyata dari kota itu sendiri.
Jika setiap harinya para penghuni kota selalu dijejali gambar-gambar iklan di sepanjang jalan-jalan kota, di layar ponselnya, di layar TV di kamar tidurnya, dan disisipkan di halaman e-mailnya, hendaknya pameran seni visual dalam sebuah festival di kota mempertimbangkan semua itu. Tidak lantas mengangkat gambar tarian klasik yang tidak pernah dilihatnya kecuali pada acara resmi kantor pemerintahan. Mempertimbangkan bagaimana para penghuni kota menggunakan perangkat teknologi dalam menyelesaikan tugas-tugas kesehariannya. Perihal teknologi semacam ini bisa menjadi materi dalam menggali ide dan menunjang kreativitas dalam berseni. Atau, bagaimana kota telah menjadi sistem yang tertutup dan ada segelintir orang seperti kalangan seni untuk menerobosnya.
Barangkali gerak tubuh masyarakat kota yang begitu seragam dalam caranya melangkahkan kaki yang tergesa, tatapan curiga, acuh tak acuh di jalanan ataupun di plasa sebuah mall bisa menjadi bagian kreativitas tari. Tubuh-tubuh para pedagang kaki lima yang kalah di sepanjang trotoar oleh pasukan satpol PP. Begitu juga teater. Sebuah pertunjukan teater dalam konteks festival seni di kota tidak lain menjawab kegelisahan para penghuni kota berhadapan dengan ruangnya publik yang semakin tidak terurus dan ditindih oleh ruang-ruang yang hanya didasarkan pada perhitungan-perhitungan ekonomis. Atau, mengangkat kondisi interaksi antaretnis di kota tersebut. Atau, menggarap mengenai hal-hal imajiner dari para penghuni kota yang belum tercapai dikota terebut. Katakanlah masa depan apa yang hendak dicapai hidup mereka di masa anak dan cucu mereka. Dan seterusnya.
Hal-hal semacam ini bisa dikembangkan dan mencakup kondisi sosial riil kota tersebut. Sebuah festival seni yang mengatasnamakan kota sebagai bagian dirinya tentu meletakkan kota itu sebagai bagian kreativitasnya. Alasan semacam ini sesungguhnya ingin menjawab festival bukan arena pertunjukan karya seni berkualitas belaka, tetapi festival bagian dari publik yang dalam hal ini masyarakat kota itu sendiri. Dengan mengetahui masalah-masalah umum dan khusus di kota sebagai materi yang diangkat dalam karya seni di festival sebuah kota, tentu ini bagian strategi komunikasi karya di luar aspek formal karya itu. Karya seni dalam festival mengangkat kembali permasalahan kota lewat karya-karya dalam perhelatan dan pada saat yang sama mengembalikannya ke publik kota itu sendiri.
Selanjutnya, apakah kemudian dikerjakan oleh seniman dari kota itu atau dari kota lain, ini masalah tersendiri. Tentunya seniman yang memiliki kualitas dalam karya dan mampu merepresentasikan kembali gagasan yang disodorkan pada mereka yang terlibat. Atau, mengundang seniman yang memiliki kegelisahan yang secara tematik tak beda dengan kota itu. Seniman bisa siapa saja, tetapi pengikatnya adalah tema dan pengalaman kota itu sendiri baik masa yang lalu, sekarang, dan masa depannya. Dengan demikian, pengunjung dari kota itu akan mengalami situasi berkarya yang latar belakangnya sama dengan kehidupan yang mereka alami di kotanya.
Untuk tetap bisa mempertimbangkan konteks kotanya, sebuah festival harus menunjuk kurator pada setiap jenis seni yang ditampilkannya memahami tujuan festival semacam ini. Seorang kurator mengerti konteks di mana festival diadakan dan karya dari seniman mana yang layak untuk tampil dalam perhelatan seperti itu. Memahami konteks tetapi tidak memahami karya dari seniman mana yang layak tampil dalam festival itu, berujung tidak menentunya kualitas karya. Sementara kurator yang hanya tahu karya seniman mana yang layak tampil tapi kedodoran dalam pemahaman konteksnya, adalah sebuah pementasan yang tidak nyambung dan tidak relevan dengan situasi di mana ia pentas.
Adanya pemahaman konteks dan mengetahui karya dari seniman mana yang layak pentas dalam sebuah festival seni di kota, akan menjawab tiga nilai sebuah seni dalam kaitannya dengan kota, yakni adanya nilai immateriil, daya tawar identitas, sekaligus masa depan kota itu sendiri. Karya seni—teater, tari, rupa, musik, sastra—yang bagus dan relevan dengan kota itu berarti menyuguhkan karya yang menjadi pembanding berupa ekspresi seni mengenai suatu hal tentang kota itu. Karya seni itu menampilkan realitas yang telah dialami dalam medium lain dan dalam karya itu terdapat pengalaman yang telah lalu, masih berjalan atau yang berpotensi muncul mendapat subversi lewat karya seni. Pengalaman yang intens dalam pergulatan berhadapan dengan seni diharapkan menjadi pengalaman lain yang immaterial dan memberi sentuhan lain laiknya pengalaman spiritual yang tidak mesti datang sekali dalam setahun kepada penghuni kota.
Selanjutnya, adanya identitas yang akan terus dikukuhkan bila festival seni di kota mempertimbangkan aspek konteks dan karya dari seniman mana yang layak pentas. Kepedulian akan konteks dalam sebuah karya-karya seni bagus, tentunya akan menjadi acuan baik di kalangan pelaku seni maupun masyarakat pecinta seni. Pada akhirnya, festival dan kota sebagai penyelenggaranya akan menjadi ikon yang tak bisa dielakkan. Bukan sekadar seni tetapi kesan (citra) tertentu yang membedakan dengan kota lain. Sebuah kota yang dengan sengaja menentukan sendiri selera seninya, secara tidak langsung menentukan sendiri laju kotanya.
Terakhir masa depan kota itu sendiri. Keseimbangan kebutuhan material dan nonmaterial telah menjadi pertimbangan banyak kota, terutama di Barat. Pementasan seni telah dikemas sedemikian rupa baik out door maupun in door dan masyarakat kota itu sebagai audiennya. Artinya, sebagaimana juga masyarakat tradisional kita dulu, seni diperlakukan sebagai sarana perawat sesuatu yang berjiwa, menghayat, dan menyehatkan mental mereka. Fungsi penyeimbang karya seni ini bagi penghuni kota berarti juga menjaga akal sehat masyarakat dan tidak hilang dalam materialisme. Terjaganya akal sehat secara tidak langsung terjaganya harapan akan masa depan kota itu.***
Imam Muhtarom, anggota Forum Studi Sastra Seni Luar Pagar (FS3LP), Surabaya.
Terbit di Majalah Kidung, Dewan Kesenian Jatim edisi 20, 2011.
0 comments:
Post a Comment