BOROBUDUR WRITERS AND CULTURAL FESTIVAL




BOROBUDUR WRITER AND CULTURAL FESTIVAL
Musyawarah Agung Penulis Cerita Silat 2012

Dalam lima tahun terakhir di dunia sastra kita banyak bermunculan prosa berupa novel-novel bertema silat dan sejarah nusantara. Novel-novel itu umumnya diciptakan oleh pengarang-pengarang baru yang selama ini belum dikenal publik. Fenomena ini sungguh amat menggembirakan. Hal itu menandakan  bahwa sejarah Indonesia menjadi sumber yang tak habis-habisnya diolah dalam penulisan prosa.
Dengan menggunakan latar belakang sejarah kerajaan Mataram, Majapahit, Sriwijaya dan Pajajaran, para novelis itu berusaha menghidupkan tokoh utama bahkan tokoh-tokoh baru (ciptaan mereka atau bukan) untuk memperkuat daya pukau karya-karyanya. Bahkan, tak jarang mereka berani memasuki hal hal yang belum terungkap secara gamblang dalam penulisan sejarah nusantara seperti perang Bubat atau kontroversi tentang asal usul dan akhir hidup Gajah Mada. 
Dari segi genre, sesungguhnya fenomena cerita silat nusantara merupakan lanjutan dari tradisi penulisan yang sudah ada. Kita tahu penulis cerita silat seperti SH Mintardja yang melahirkan karya Naga Sasra Sabuk Inten atau Api di Bukit Menoreh dan Herman Pratikto lewat Bende Mataram. Generasi selanjutnya adalah sastrawan Arswendo Atmowiloto dengan Senopati Pamungkas dan Seno Gumira Ajidarma dengan novel Naga Bumi.
Di toko-toko buku kini banyak terpajang buku-buku novel silat dan sejarah nusantara tersebut. Sebagian bahkan telah mengalami cetak ulang. Sayangnya fenomena maraknya novel silat dan berlatar sejarah nusantara ini belum dikaji secara serius oleh para kritikus dan peneliti sastra kita. Juga belum ada suatu forum yang mempertemukan para novelis silat dari berbagai generasi tersebut.
Oleh karena itu, pada kesempatan pertama penyelenggaraan Borobudur Writer and  Cultural Festival tahun 2012 ini, akan diadakan sebuah pertemuan bertajuk:  Musyawarah Agung Penulis Silat 2012. Pertemuan ini akan berlangsung selama tiga hari dengan tema: Memori dan Imajinasi Nusantara. Pertemuan ini dimaksudkan sebagai ajang diskusi dan wahana untuk saling mengenal antarpengarang cerita silat. Juga untuk saling berbagi pengalaman menulis, termasuk berbagi pengalaman dalam melakukan penelitian, napak tilas sejarah-sejarah nusantara yang tersembunyi. 
Di forum ini akan hadir para pembicara novelis-novelis silat dari berbagai generasi, para pengamat, arkeolog dan sejarawan. Para pembicara akan membahas tema-tema dari sudut pandangnya masing-masing. Diharapkan forum ini akan menjadi forum yang kaya sudut pandang. Selain para pembicara juga diundang para peserta aktif yaitu para pengarang cerita silat dan prosa berlatar sejarah nusantara, komunitas sejarah, komunitas cerita silat Cina, komunitas penyuka candi-candi, pesilat, spiritualis nusantara, penerbit buku-buku bergenre sejarah nusantara, padepokan-padepokan penghayat kebatinan dan sebagainya. Mereka diharapkan datang untuk meramaikan menggairahkan sesi diskusi sembari membuka kemungkinan-kemungkinan untuk melakukan aksi-aksi atau atraksi spontan, termasuk pembacaan penggalan cerita silat dan lain sebagainya.

WAKTU dan TEMPAT

Waktu             : 29-31 Oktober 2012.
Tempat           :  Aula Hotel Manohara, Borobudur, Jawa Tengah.

JADWAL MUSYAWARAH
Hari Pertama
(Senin, 29 Oktober 2012)
SESI  1 (Pukul 09.00 - 12.00 WIB)
“Imajinasi dalam Ruang Kosong Sejarah Nusantara”
Pembicara: Arswendo Atmowiloto, Romo G Budi Subanar SJ, Sutrisno Murtiyoso
Moderator: Taufik Rahzen
Masih banyak ruang-ruang yang belum diungkap dan digali dalam sejarah nusantara. Selama ini telah muncul berbagai buku mengenai sejarah nusantara yang ditulis baik oleh  sejarawan dan arkeolog lokal serta internasional. Namun dari tahun ke tahun  tetap saja ada  temuan-temuan baru yang mengejutkan tentang masa lalu nusantara. Ternyata masih banyak hal-hal tidak terduga dari sejarah nusantara yang selama ini belum kita ketahui. Masih terdapat kawasan-kawasan terra incognita dalam sejarah  nusantara kita. Dengan kata lain, sejarah nusantara masih terbuka untuk berbagai penafsiran baru.
Pada sesi ini akan dibahas bagaimana ruang-ruang kosong dalam sejarah nusantara bisa dimanfaatkan oleh para novelis untuk materi novelnya. Sesi ini secara kritis ingin membicarakan seberapa jauh imajinasi, tafsir dan akurasi sejarah berkelindan. Bisakah seorang novelis mendahului data-data dari para sejarawan atau arkeolog? Pada berbagai novel silat yang telah terbit data-data yang dipaparkan pengarangnya harus diakui bahkan lebih merangsang imajinasi kita ketimbang data-data yang disajikan para sejarawan. Bahkan beberapa di antarannya lebih berani menyajikan interpretasi yang berbeda dengan penelitian para sejarawan. Seberapa jauh para novelis bisa menulis berdasarkan temuan-temuan, pelacakan, dan interpretasinya sendiri? 
Dalam sesi ini diharapkan Arswendo menceritakan pengalamannya mengarang Senopati Pamungkas. Bagaimana cara dia melakukan riset untuk membangun ilmu-ilmu silat yang dimiliki tokoh-tokohnya dan bagaimana ia membangun latar konflik. Seberapa jauh imajinasinya bertolak dari data-data sejarah yang sudah dibukukan dibanding dengan sumber-sumber dan tradisi lisan? Selanjutnya, Romo Banar akan membahas bagaimana dialektika  antara sejarah dan  fiksi. Bagaiman perbandingan antara prosa berlatar sejarah di Indonesia dengan novel-novel sejarah di Barat? Apakah betul sejarah nusantara masih belum banyak digarap?  Diharapkan Romo Banar juga akan menyinggung seputar kritik teks pada kebanyakan novel-novel silat yang baru terbit.
Sebagai pembanding akan bicara Sutrisno Murtiyoso yang dikenal sebagai pemerhati cerita silat Tiongkok. Ia akan membandingkan persoalan fakta dan fiksi novel-novel silat kita dengan  soal fakta dan fiksi dalam novel-novel silat Cina. Bagaimana metode dan akurasi sejarah yang dilakukan Kho Ping Hoo misalnya. Bagaimana permainan fakta dan fiksi novel-novel silat Cina yang diterjemahkan Gan KL dan lain-lain.
Sesi ini akan dipandu oleh Taufik Rahzen, budayawan yang dikenal banyak melakukuan pelacakan terhadap sejarah nusantara yang tersembunyi dan setiap tahun memberikan penghargaan  Dharmawangsa Award bagi para penulis sejarah nusantara yang tekun.  


SESI  2 (Pukul 13.00- 17.00 wib)
Kontroversi Gajah Mada dalam Perspektif Fiksi dan Sejarah
Pembicara: Agus Aris Munandar, Langit Kresna Hariadi, Yakob Sumardjo
Moderator:   Viddy AD Daery

Asal-usul Gajah Mada masih menjadi misteri bagi semua orang. Bahkan para ahli sejarah pun belum mencapai kata sepakat mengenai riwayat hidup tokoh ini. Siapa sesungguhnya tokoh ini? Di mana ia menjalani masa mudanya? Di mana masa tuanya? Apakah benar ia pemersatu nusantara? Negarakertagama yang banyak mengisahkan cerita seputar Majapahit pun mulai memasukkan tokoh ini ketika terjadi pemberontakan Kuti. Padahal Mpu Prapanca, penulis Negarakertagama, hidup sezaman dengan Gajah Mada.
Apakah Gajah Mada  dari Jawa? Dari Sumatra? Atau Bali?  Babad Gajah Mada dari Bali menyebut Gajah Mada adalah putra pasangan pendeta Mpu Curadharmayogi dan Patni Nariratih yang melakukan perjalanan jauh, dan saat mereka berada di dekat Gunung Semeru sampai di sebuah desa yang bernama Desa Madha, Patni Nariratih melahirkan seorang putra yang kemudian diberi nama Gajah Mada.
Sementara mereka yang berpendapat Gajah Mada berasal dari Sumatra berdasar pada anggapan bahwa nama Gajah bertolak dari nama gajah, hewan yang berkembang biak di Sumatra. Gajah Mada adalah perwira dari kerajaan Darmasraya, Sumatra. Saat Dara Jingga dan Dara Petak, putri kerajaan Sumatra dibawa ke Jawa oleh pasukan Kertanegara, ikut dalam rombongan itu Gajah Mada. Ia bertugas  untuk mengawal keselamatan putri raja sekaligus sebagai duta dari Kerajaan Darmasraya. Gajah Mada ditugaskan secara khusus untuk menjadi pengawal pribadi Dara Petak. Ia akhirnya tinggal dan menetap di Majapahit mengikuti tuannya yang menjadi permaisuri raja Majapahit.
Tentu masih banyak lagi spekulasi tentang asal usul dan riwayat Gajah Mada. Dan dalam sesi ini akan dibahas kemungkinan-kemungkinan asal usul dan riwayat Gajah Mada. Sesi ini akan menghadirkan arkeolog Prof. Dr. Agus Aris Munandar. Ia adalah penulis buku Gajah Mada: Biografi Politik. Dalam buku itu  ia menyajikan interpretasi baru: Gajah Mada lahir di Pandaan, Jawa Timur anak dari Gajah Pagon, cucu Macan Kuping, penghulu tua Desa Pandakan. Walau secara geografis Agus Aris Munandar tidak secara tepat menyebut Pandaan sebagai dataran tinggi di Kabupaten Pasuruan di kaki gunung Welirang – Arjuna, pendapat tersebut sangat menarik untuk didiskusikan. Apalagi interpretasi ini sangat dekat dengan perkiraan Muhammad Yamin bahwa Gajah Mada lahir di kaki gunung Kawi dan Arjuna, Jawa Timur.
Pembicara kedua adalah novelis Langit Kresna Hariadi. Ia dikenal sebagai penulis novel laris tentang Gajah Mada. Sekurang-kurangnya sudah 5 novelnya tentang Gajah Mada yang terbit: Gajah Mada, Gajah Mada bergelut dalam Kemelut Tahta dan Angkara,  Gajah Mada Hamukti Palapa, Gajah Mada: Perang Bubat, Gajah Mada: Madakaripura Hamukti Moksa. Langit Kresna akan menceritakan pengalamannya menulis seri novel Gajah Mada itu dan diharap menyumbang perspektifnya sendiri tentang Gajah Mada.
Pembicara ketiga adalah budayawan Jakob Sumardjo yang akan membahas sosok Gajah Mada dari perspektif sejarah Sunda. Apakah betul Gajah Mada adalah penyebab Perang Bubat? Sumber-sumber mana dari khazanah Sunda yang menyatakan hal itu. Bagaimanakah pendapatnya tentang Kidung Sunda? Kidung Sunda adalah sumber tertua berupa syair yang menceritakan adanya perang Bubat Dalam kidung ini diceritakan raja Hayam wuruk yang ingin mencari permaisuri Sunda. Tapi Gajah Mada menganggap Sunda harus tunduk kepada Jawa. Permaisuri itu jadi semacam upeti dari negara bawahan. Kidung Sunda ini naskahnya ditemukan oleh ahli Jawa kuno dari Belanda Prof Dr. CC Berg.
Banyak pihak beranggapan bahwa syair Kidung Sunda ini merupakan rekayasa dari pihak penjajah untuk tujuan memecah belah antarsuku di pulau Jawa. Banyak yang curiga  syair tersebut diciptakan sendiri oleh ilmuwan Prof. Dr. C.C.Berg atas perintah penguasa kolonial. Akibat rekayasa tersebut (kalau memang benar) adalah munculnya sikap etnosentrisme orang Sunda terhadap orang Jawa, dan juga pandangan yang sangat negatif orang Sunda terhadap figur Gajah Mada (di Jawa Barat hingga saat ini tidak ditemukan nama jalan Gajah Mada). Apakah betul demikian? Sumber-sumber mana lagi dari khazanah Sunda yang menguatkan adanya perang Bubat itu?
Pemandu sesi ini adalah penulis Viddi A.D. Daery. Viddi sendiri memiliki tafsir yang unik tentang asal usul Gajah Mada. Ia memperkirakan Gajah Mada berasal dari Lamongan. Ia meneliti sejumlah cerita rakyat di Lamongan yang mengisahkan bahwa Gajah Mada adalah anak kelahiran Desa Mada (sekarang Kecamatan Modo, Lamongan). Ia bernama Joko Modo. Di zaman Majapahit (1293-1527), wilayah Lamongan bernama Pamotan.


Salah satu bukti fisik bahwa Gajah Mada lahir di Lamongan menurut Viddi ialah situs kuburan Ibunda Gajah Mada di Desa Ngimbang. Digambarkan, Joko Modo ketika itu berbadan tegap, jago kanuragan didikan Empu Mada. Di kemudian hari, dia diterima menjadi anggota Pasukan Bhayangkara (pasukan elite pengawal raja) di era Raja Jayanegara. Ia menyelamatkan Jayanegara yang hendak dibunuh Ra Kuti, patih Majapahit. Gajah Mada melarikan Jayanegara ke Desa Bedander (sekarang masuk wilayah Bojonegoro) di wilayah Pamotan. Benarkah demikian? Semua akan dibahas dalam sesi ini.

Hari Kedua
(Selasa, 30 Oktober 2012)
SESI 1 (Pukul 09.00 - 12.00 WIB)
Sriwijaya dalam Prosa dan Arkeologi
Pembicara: Seno Gumira Ajidarma, Bambang Budi Utomo, Yudhi Herwibowo
Moderator: Agus Widiatmoko (Arkeolog)

Sriwijaya adalah kemaharajaan bahari  yang pengaruhnya sangat besar di Asia Tenggara. Imperium ini menguasai jalur bandar-bandar di Selat Malaka dan selat Sunda. Setiap kapal yang lewat jalur itu dipungut biaya oleh Sriwijaya. Sriwijaya adalah pengendali jalur perdagangan India-Tiongkok  di kedua selat itu. Bangsa Cina menyebut Sriwijaya Shih-li-fo-shih. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj. Bangsa Khmer menyebutnya Malayu.
Meskipun memiliki kekuatan ekonomi luar biasa, tapi anehnya peninggalan purbakala Sriwijaya tak terlalu banyak (yang telah ditemukan). Sampai sekarang pun masih menjadi perdebatan  di manakah persisnya lokasi ibukota Sriwijaya. Apakah berada di Sungai Musi antara Bukit Siguntang dan Sabokingking (Provinsi Sumatra Selatan sekarang)? Atau terletak pada kawasan sungai Batanghari, antara Muara Sabak sampai Muara Tembesi (provinsi Jambi)? Atau, bahkan  di  Kedah—karena saat ditaklukkan kerajaan Chola dalam sebuah prasasti (Prasasti Tanjore) dikatakan bahwa Sriwijaya beribukota di Kedah.
Juga masih belum jelas benar  hubungan Sriwijaya dengan Borobudur. Wangsa-wangsa Syailendra yang membangun Borobudur dikatakan bagian dari raja-raja Sriwijaya yang bermigrasi ke Jawa. Samaratungga, yang menyelesaikan pembangunan candi Borobudur, sesungguhnya adalah bagian dari dinasti yang memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Kapal-kapal yang dipahat dalam relief Borobudur juga menggambarkan kejayaan kapal-kapal Sriwijaya. Bila memang benar Borobudur dibuat oleh keluarga Sriwijaya, maka monumen terbesar Sriwijaya tidak usah dicari di Sumatra, melainkan di Jawa, yaitu Borobudur.  Apakah betul demikian?                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                           
Simpang siurnya versi tentang Sriwijaya itu justru menjadi materi yang menantang untuk penulisan prosa. Beberapa novel yang bertema Sumatra dalam batas-batas tertentu telah dapat menggambarkan dinamika masyarakat Sriwijaya dengan hidup. Tapi bagaimana novelis-novelis kita mengembangkan imajinasinya tentang Sriwijaya?
Pada sesi ini beberapa pertanyaan akan dibahas oleh novelis dan arkeolog yang menggeluti sejarah Sriwijaya. Pembicara pertama adalah Seno Gumira Ajidarma penulis novel Naga Bumi. Dalam noveln tersebut itu ia banyak menampilkan tokoh-tokoh yang memiliki latar belakang  Sriwijaya. Bagian paling menarik dari novelnya adalah kisah penyerangan-penyerangan yang dilakukan kerajaan Sriwijaya ke seantero Asia Tenggara saat kerajaan itu masih di Sumatra maupun berada di Jawa.
Dalam sejarah kita ketahui ekspansi Sriwijaya memang sampai semenanjung Malaya, Kamboja dan Thailand. Seno Gumira akan menceritakan pengalamannya menulis novel tersebut. Bagaimana dia melakukan riset sejarah Sriwijaya dan  bagaimana penelitiannya tentang Sumatra seperti wilayah Barus sampai bagian Asia Tenggara lainnya untuk memupuk imajinasinya tentang kejayaan Sriwijaya.
Selain Seno Gumira juga akan berbicara Yudhi Heriwibowo, penulis novel Pandaya Sriwijaya, Dendam dan Prahara di Bhumi Sriwijaya. Ia akan menceritakan pengalamannya menulis novel berlatar sejarah Sriwijaya termasuk riset yang dilakukan berikut perjalanan menelusuri sisa-sisa purbakala Sriwijaya dan lain-lain.
Di samping kedua novelis tersebut,  sesi ini akan menghadirkan arkeolog Bambang Budi Utomo. Boleh dikatakan Bambang adalah arkeolog senior yang paling intens melakukan penelitian mengenai Sriwijaya di Sumatra. Bertahun-tahun ia melakukan ekskavasi situs-situs arkeologi yang diperkirakan sebagai peninggalan Sriwijaya. Data-datanya tentang peninggalan arkeologis Sriwijaya di Sumatra dianggap paling lengkap. Bambang akan membagi pengalamannya melakukan penelitian situs arkeologis tersebut, terutama informasi mengenai penemuan-penemuan arkeologis terbaru yang berkaitan dengan Sriwijaya.
Diskusi ini dipandu oleh arkeolog Agus Widiatmoko. Agus dikenal ahli Muaro Jambi, sebuah situs atau kompleks situs yang kawasannya lebih luas ketimbang Borobudur. Muaro Jambi adalah bagian dari kerajaan Melayu yang ditaklukkan Sriwijaya dan dahulunya diperkiran sebagai kompleks pendidikan agama Budha. Kompleks situs Muaro Jambi akhir-akhir ini menjadi perbincangan kalangan arkeologi karena sebagian peneliti ada yang mengatakan bahwa dahulu ada pendeta asal India bernama Atisha Dipankara  (982-1054) yang belajar selama 12-13 tahun di Muaro Jambi kepada seorang bangsawan Sriwijaya Serlingpa Dharmakitri. Atisha lalu dikenal sebagi peletak dasar reformator agama Budha Tibet.
Dalai lama ke 14 sendiri sampai kini masih menganggap Atisha adalah guru spiritualnya. Tiap hari ia masih melakukan teknik meditasi Tonglen yang dahulu diajarkan Atisha ke pendeta-pendeta Tibet, yaitu meditasi menerima dan memberi.
Bagaimana hubungan antara Muaro Jambi dan Sriwijaya? Bagaimana hubungan pelabuhan kuno di Jambi bernama Muara Zabak dengan Sriwijaya. (Agus Widiatmoko juga meneliti Muara Zabak). Agus diharap akan berbagi informasi dalam masalah ini. 

SESI  2 (Pukul 13.00- 17.00 wib)
Kontroversi Syekh Siti Djenar dalam Sastra dan Agama
Pembicara: Abdul Munir Mulkhan, Agus Sunyoto, K.H. Moh. Sholikhin
Moderator: Ahmad Chodjim
Syekh Siti Jenar dalam jagad spiritual Jawa adalah nama yang tidak bisa diabaikan. Keberadaannya selalu coba disingkirkan dari wacana keagamaan formal Islam karena berbagai sikap dan pernyataannya yang dianggap kontroversial. Tapi tokoh ini tidak dapat dilenyapkan dan justru menjadi legenda sekaligus salah satu tokoh terbesar dalam dunia mistik Islam di Jawa.
Dapat dikatakan tokoh Syekh Siti Jenar merupakan manifestasi paling nyata dari persengketaan tiada akhir antara Sufisme dan Syariah dalam Islam di Indomesia. Kendati telah muncul berbagai penelitian mengenai tokoh ini, toh orang tetap saja bertanya: siapakah sebenarnya sosok ini? Apakah Syekh Siti Jenar merupakan sosok berdaging dan berdarah dalam sejarah ataukah sekadar simbol yang ditiupkan oleh kalangan yang kontra-Islam dalam khazanah penyebaran Islam di Jawa? Bagaimana ia dipahami oleh pemeluk Islam di Jawa? Bagaimana sesungguhnya ajaran-ajarannya? Apakah laku spiritualnya murni mengambil ajaran Islam ataukah terjadi percampuran dengan spiritualitas Jawa yang tumbuh di sekitarnya? Apakah laku spiritualnya sama dengan yang dijalankan oleh Al-Halajj atau semacam varian lain dari laku mistisisme Islam?
Untuk menjawab beberapa pertanyaan tersebut, dalam sesi ini dihadirkan Abdul Munir Mulkhan dan KH. Moh. Solikhin. Abdul Munir Mulkhan dikenal dengan buku-bukunya, antara lain Syeh Siti Jenar dan Ajaran Wahdatul Wujud; Syekh Siti Jenar, Ajaran dan Jalan Kematian; Syekh Siti Jenar; Pergumulan Islam-Jawa; Makrifat Siti Jenar; Teologi Pinggiran dalam Kehidupan Wong Cilik. Sementara KH. Moh. Sholikhin adalah penulis tiga jilid buku: Sufisme Syekh Siti Jenar; Ajaran Ma’rifat Syehk Siti Jenar; dan Manunggaling Kawula Gusti.
Selain dua pembicara tersebut, juga akan berbicara novelis Agus Sunyoto yang telah bertahun-tahun menelusuri berbagai khazanah sejarah Islam (tradisional) di Indonesia.  Ia juga telah menulis beberapa buku tentang Syekh Siti Jenar dan buku-buku mengenai wali di tanah Jawa. Dari Agus Sunyoto barangkali akan muncul pandangan lain di luar telaah yang lazim terhadap sosok Syekh Siti Jenar. Bagaimana ia menafsirkan sosok ini yang hampir menjadi sosok mitologis dalam tradisi Islam-Jawa dalam bentuk sebuah novel? Bagaimana ia meramu ide dan kekayaan khazanah mistik Jawa ke dalam novelnya?  Bagaimana strategi penulisan teks novel yang dilatari bukan hanya informasi tetapi juga mungkin laku penulisnya? Apakah sebagai novelis ia menggali riwayat Syekh Siti Jenar lewat perburuan naskah ataukah ia memiliki cara tersendiri di luar sumber naskah-naskah yang ada?
Sesi ini akan dipandu oleh Ahmad Chodjim, seorang penulis yang mendalami berbagai penafsiran teks Alquran. Khusus mengenai Syekh Siti Jenar, Ahmad Chodjim telah menerbitkan buku Syekh Siti Jenar; Syekh siti Jenar 2; Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga.



HARI KETIGA 
(Rabu, 31 Oktober 2012)
SESI 1 (Pukul 09.00-12.00 WIB)
“SH Mintardja dan Mataram”
Pembicara: Otto Sukatno CR, Supratikno Rahardjo, Teguh Supriyanto
Moderator: Romo Mudji Sutrisno SJ

Sebagai prosa, karya-karya SH Mintardja adalah permainan antara fakta dan fiksi yang menarik. Dasi segi fiksi, karya-karyanya disusun menjadi sebentuk cerita yang bisa lepas dari apa yang sesungguhnya telah terjadi dalam sejarah. Beberapa tokoh penting dalam karya SH Mintardja benar-benar ciptaan sang penulis. Sementara dari segi fakta, Naga sastra Sabuk Inten dan Api di Bukit Menoreh tak dapat dilepaskan dari riwayat berdirinya Mataram baru dan menjelang runtuhnya kerajaan Demak Bintoro. Artinya, dalam prosa tersebut SH Mintardja berhutang pada berbagai riwayat Mataram, dan sebaliknya Mataram juga berhutang pada teks itu sebab pembaca dapat menghayati Mataram sebagai sebuah sejarah yang hidup.
Dalam sesi ini akan dibahas sejauh mana teks-teks karya SH Mintardja memberi pengayaan pemahaman terhadap riwayat sejarah Mataram. Juga sejauh mana sejarah yang beredar secara lisan dalam masyarakat pendukung sejarah Mataram - masyarakat Jawa Tengah, di mana SH Mintardja tumbuh - masuk dalam kisah novel. Sebaliknya, apa yang telah disumbangkan oleh karya-karya SH Mintardja bagi pemahaman pembaca terhadap sejarah Kerajaan Mataram tersebut? Apakah karya-karya SH Mintardja bisa disebut sebagai semacam acuan lain di luar teks-teks resmi yang secara otoritatif menjelaskan kerajaan Mataram Islam itu?
Untuk menjawa pertanyaan-pertanyaan tersebut, pada sesi ini akan berbicara Prof. Supratikno Rahardjo yang dikenal ahli peradaban Jawa dan telah menulis buku Peradaban Jawa; Peradaban jawa, Dinamika Pranata Politik, Agama, dan Ekonomi Jawa Kuno; dan Kota-kota Prakolonial Indonesia. Supratikno akan berbicara perihal kemungkinan apa saja yang telah disumbangkan SH Mintardja terhadap pemahaman sejarah Jawa, khususnya dalam episode Mataram Islam. Adakah sesuatu yang tidak lazim dari materi-materi yang dimasukkan SH Mintardja dalam novel-novelnya, khususnya Nagasasra Sabuk Inten dan Api di bukit Menoreh? Sebaliknya, sejauh mana novel-novel tersebut memanfaatkan catatan-cataan sejarah yang sudah ada pada masa kerajaan Mataram Islam? Apakah model penulisan novel sejarah seperti yang dilakukan SH Mintardja bisa dikategorikan karya sejarah?
Kemudian akan berbicara Otto Sukatno CR, seorang penulis dan pelaku budaya Jawa. Dari tangannya telah lahir berbagai buku mengenai Jawa, antara lain Seks Para Pangeran: tradisi dan ritualiasi hedonisme Jawa; Ramalan-ramalan Edan Ronggowarsito; Prahara Bumi Jawa: sejarah bencana dan jatuh-bangunnya penguasa Jawa. Dalam kaitannya dengan SH Mintardja, apakah intrik-intrik kekuasaan dalam novel tersebut memang menggambarkan kekuasaan yang terjadi di antara elite Mataram Islam?
Selanjutnya, untuk membedah teks novel karya SH Mintardja secara khusus akan dihadirkan Teguh Supriyanto. Teguh Supriyanto adalah seorang peneliti dan telah menyusun disertasi mengenai karya-karya SH Mintardja, khususnya cerita silat Naga Sasra Sabuk Inten. Pertanyaan utama yang akan dibahas oleh Teguh adalah, apa yang membuat novel-novel SH Mintardja begitu digemari oleh banyak orang, khususnya di Jawa Tengah? Apakah karena materinya berupa sejarah Mataram Islam yang penuh intrik sekaligus penuh mitos itu merupakan faktor utama para pembaca mudah larut dalam sihir kisah-kisah semacam itu? Ataukah karena kepiawaian SH Mintardja dalam menyusun novelnya, sehingga cerita itu begitu hidup dan menjadi bagian yang tak terpisah dari generasi semasa SH Mintardja hidup, bahkan kepada generasi sesudah wafatnya si pengarang? Sejauh mana novel-novel SH Mintardja yang berlatar Mataram Islam menyerap sejarah kekuasaan Mataram dan menyusun kembali dalam bentuk novel?
Sesi ini akan dipandu oleh Romo Mudji Sutrisno SJ. Selain dikenal sebagai seorang pastor, Romo Mudji dikenal sebagai budayawan yang secara terus-menerus mendorong tumbuhnya sikap-sikap humanisme dalam hampir semua kesempatan. Ia menulis puisi, buku, artikel, narasumber berbagai seminar maupun media massa.




SESI 2 (Pukul 13.00-17.00 WIB)
Napak Tilas Nusantara
Pembicara: Aan Merdeka Permana, Hadi Sidomulyo (Nigel Bullough), Fendi Siregar
Moderator: Putu Fajar Arcana

Nusantara memiliki riwayat yang cukup kaya, terbentang dalam banyak buku dari berbagai peneliti sekaligus para pecinta sejarah. Berbagai bahan, baik yang telah ditulis oleh para peneliti maupun bahan-bahan lain yang belum dipelajari seringkali saling bersimpangan. Sebagian penulis menyandarkan diri pada naskah-naskah babad atau hasil-hasil penelitian sebelumnya. Sebagian yang lain juga melakukan riset secara langsung.
Kedekatan pada sebuah subjek penelitian terkadang membuat para peneliti atau pecinta subjek tersebut larut menjadi bagian dari yang ditelitinya. Bahkan tak jarang hampir seluruh hidupnya dihabiskan untuk memahami subjek kajiannya tersebut. Si peneliti terlibat pada subjek yang ditelitinya, mencurahkan emosi, energi intelektual, bahkan nasibnya pada subjek yang ditelitinya. Perjalanan napak tilas banyak dilakukan beberapa peneliti-penulis untuk masuk ke ruang sejarah yang diminatinya.
Maka pada sesi ini akan dibicarakan berbagai pengalaman melakukan napak tilas tersebut. Selain untuk mengisahkan apa yang telah dialaminya, juga berbagi antusiasme di balik ketekunannya menyelami sejarah nusantara. Dalam sesi ini akan berbicara Aan Merdeka Permana, penulis novel mengenai naik-turunnya kerajan Sunda, antara lain Trilogi Senja Jatuh di Pajajaran. Dalam menulis Aan tidak hanya bertumpu pada data yang telah tersaji secara tertulis tapi juga menapaktilasi tempat-tempat yang dianggap pernah menjadi latar peristiwa dalam sejarah Sunda. Daerah mana saja yang ia lalui, dan apa saja yang ia temukan selama perjalanan napak tilas itu? Dalam perjalanan napak tilas itu apa yang sebenarnya diharapkan Aan selaku penulis novel? Apa saja pengaruhnya setelah napak tilas tersebut terhadap pengembangan novel-novelnya? Melalui penelusuran sumber-sumber lisan dari masyarakat Sunda, apa saja hasil yang diperoleh? Bagaimana hasil napak tilasnya itu ketika dihadapkan pada hasil-hasil penelitian yang dilakukan para sarjana ahli budaya Sunda?
Selanjutnya akan berbicara Fendi Siregar, seorang fotografer senior yang telah lama melakukan perjalanan keliling Jawa menapak tilasi lokasi-lokasi yang tercantum dalam serat Centhini. Ia menyusur lokasi-lokasi yang pernah dilalui Syekh Amongraga dan Mas Cebolang, tokoh-tokoh utama dalam prosa esiklopedis Jawa itu. Kegiatan menziarahi lokasi-lokasi yang disebut dalam Serat Centhini ini terus ia lakukan sampai sekarang. Sebagian hasil fotonya tentang Centhini pernah dipamerkan di Galeri Salihara,Jakarta. Fendi juga terlibat dalam pembuatan buku: The Centhini Story: The Javanese Journey dan mengarang buku: Sisi Lain Serat Centhini. Dalam musyawarah ini, Fendi akan menampilkan slide-slide fotonya sembari menceritakan pengalamannya mencari-cari lokasi Centhini.  
Selain Aan dan Fendi juga akan berbicara Nigel Bullough atau Hadi Sidomulyo, seorang penapak tilas perjalanan Prabu Hayam Wuruk di wilayah Majapahit, khususnya Jawa Timur. Berdasarkan naskah Negarakertagama (Desawarnana) yang ditulis oleh Mpu Prapanca ia menelusuri dan mencatat rute-rute mana saja yang menjadi jalur perjalanan Mpu Prapanca mengikuti Prabu Hayam Wuruk.
Nigel Bullough akan berbicara mengenai pengalamannya ketika menulis bukunya Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca, juga pengalamannya membaca Kitab Negarakertagama dan bagaimana mengaitkan tempat-tempat yang secara fisik terhubung dengan peristiwa sejarah Hayam Wuruk. Pun berbagai hal yang berkaitan dengan sejarah Majapahit. Bagaimana Nigel Bullogh membaca Kitab Negarakertagama dan mengaitkannya dengan tempat-tempat yang secara fisik terhubung dengan peristiwa sejarah Hayamwuruk?
Diskusi ini akan dipandu oleh Putu Fajar Arcana. Putu dikenal sebagai redaktur kebudayaan Harian Kompas. Dan seorang novelis. Novel terakhirnya adalah: Gandamayu—yang berkisah tentang durga dalam tradisi Bali. 
***

Perumus:
-          Seno Joko Suyono
-          Wicaksono Adi.
-          Dorothea Rosa Herliany
-          Imam Muhtarom.


DAFTAR PESERTA AKTIF
BOROBUDUR WRITER AND CULTURAL FESTIVAL 2012
           
Dalam musyawarah atau diskusi akan hadir para peserta aktif, yaitu peserta yang kebanyakan berprofesi penulis. Para peserta ini tidak hanya datang sebagai pendengar yang pasif melainkan juga akan memberi tanggapan sekaligus berbagi pengetahuan, informasi dan pengalamannya. Dari tanggapan para peserta tersebut akan diperoleh suatu perspektif yang lebih kaya mengenai topik yang sedang dibahas.
Peserta aktif yang akan hadir adalah sebagai berikut:
  1. Damar Shashangka (novel: Sabdha Palon 1 dan Sabdha Palon 2)
  2. Fatih Zam  (novel: Jawara, cerita berlatar sejarah Banten)
  3. Sri Margana (buku Ujung Timur Jawa 1763-1818: Perebutan Hegemoni Blambangan)
  4. Abdul Rahman (novel: La Galigo)
  5. Ardian Kresna (novel: Cupu Manik Astagina)
  6. Bandung Mawardi (penulis sastra dan peminat sejarah nusantara)
  7. Hermawan Aksan (4 novel: Dyah Pitaloka, Senja di Langit Majapahit; Niskala, Gajah Mada Musuhku)
  8. Tasaro GK (novel: Pitaloka; Cahaya)
  9. Rahmat Widada (novel: Gadis-gadis Amangkurat, Cinta yang Menikam)
  10. Teuku Azhar Ibrahim (novel: Burung Rantau Pulang ke Sarang, berlatar Kerajaan Pasai Aceh
  11. Zhaenal Fanani (novel: Madamme Kalinyamat)
  12. M. Hilmi As’ad (novel: Putri Shio, berlatar sejarah jatuhnya Majapahit)
  13. Budi Sarjono (novel Sang Nyai dan Api Merapi)
  14. Yanusa Nugroho (novel Manyura dan Boma)
  15. Nassirun Purwokartun (novel: tetralogi Penangsang)
  16. Diana Sasa (penulis sastra dan anggota Semaan Nagabumi)
  17. Mashuri (peneliti dan peminat sejarah nusantara)
  18.  Salahudin GZ (editor Penerbit Dolphin)
  19. Berlian Santosa (Cha-Pi, novel berlatar Candi Muaro Jambi).
  20. Ali Rusmanto (pembaca Kho Ping Hoo dan penulis cersil)
  21. Fakhrudin Nasrulloh (pengamat budaya Majapahit)
  22. Kris budiman (akademisi sastra UGM)
  23. Abdul Aziz Sukarno (Ketua Editor Diva Press)
  24. Imam Risdianto/Dhewiberta (Editor  novel Penerbit Bentang)
  25. Zaenal Arifin (editor novel Penerbit Narasi)
  26. Windri Astuti (Editor Penerbit Tiga Serangkai)
  27. Sudirman Tebba (Buku Syekh Siti Jenar)
  28. Bagus Pursena (penggagas milis cerita silat di yahoo)
  29. Wahyu HR (Buku Pemberontakan Syekh Siti Djenar)
  30. Imam Maarif (pecinta novel sejarah)
  31. ES Ito (novel: Negara Kelima; Rahasia Medee)
  32. Putra Gara (novel: Ksatria Nusantara)
  33. Warih Wisatsana (penyair dan pengamat tradisi)
  34. Harwimuka (novel Menyulut Bara Prahara latar Majapahit)
  35. Aprinus Salam (akademisi Sastra UGM)
  36. Tjahyono Widianto (penyair dan pengamat sejarah)
  37. Tjahyono Widarmanto (penyair dan pengamat sejarah)
  38. Mathori A Elwa (peziarah makam wali).
  39. Acep Zamzam Noor (Pengasuh Ponpes Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat)
  40. Arisworo Utomo (budayawan Borobudur)
  41. Ahda Imran (penyair dan pengamat budaya Sunda)
  42. Tatang Sumarsono (novel Singgasana Terakhir Pajajaran)
  43. Beni Setia (pengamat budaya Sunda)
  44. Made Wijaya (Penulis Architecture of Bali: A Source Book of Traditional and Modern Forms)
  45. Junaedi Setiyono (Glonggong, novel berlatar perang Diponegoro)
  46. Irawan Joko Nugroho (buku Majapahit: Peradaban Maritim)
  47.  Ribut Wijoto (buku Kondisi Postmodernisme Kesusastraan Indonesia).
  48. Lala Pragola (Majalah Sejarah Ujung Galuh).
  49. Ferry Irawan (novel Umang)
  50. Juliastono Harrysiswanto (masyarakat cersil)
  51. Wahjudi Djaja (Penerbit Ombak)
  52. Nasrudin (Penerbit Jalasutra)
  53. Arman AZ (penulis novel berlatar Lampung)
  54. Isbedy Setiawan (penyair dan dokumenter budaya Lampung)
  55. Karsono H. Saputra (Akademisi sastra UI)
  56. Enung Nurhayati (peneliti sastra)
  57. Sihar Ramses Simatupang (novel Bulan Lebam di Tepian Toba)
  58. Mustofa W Hasyim (sastrawan & peneliti ilmu bela diri)
  59. Mahwi Mata Air (sastrawan & Komunitas Rumah Poetika)
  60. Nurul ( Komunitas sejarah dan Budaya, Malang)
  61. Karsono H Saputra (Kaprodi Sastra Jawa FIB Universitas Indonesia)
  62. Raudal Tanjung Banua (Komunitas Rumah Lebah)
  63. Iman Budi Santoso (sastrawan & pemerhati budaya Jawa)
  64. Agus Wahyudi (novel Ki Ageng Pengging dan Joko Tingkir)
  65. Johannas Backhir (pecinta batik & patung kuno)
  66. Satmoko Budi Santoso (penulis sastra & pemerhati budaya lokal)
  67. Ahmad Syubbanuddin Alwy (peneliti budaya Cirebon)
  68. Sri Wintala Ahmad (Sabdapalon dan Ratu Kalinyamat: Tapa Wuda Asinjang Rikma)
  69. Wiwid Prasetiyo (novel Cheng Ho)
  70. Aryo Wisanggeni Genthong (pemerhati budaya Jawa)
  71. Suwito (Roro Jonggrang yang Mempesona dan Dewi Sanggalangit)

Selain peserta aktif, musyawarah juga dihadiri kurang lebih 150 undangan peserta biasa, yaitu para pengamat dan pecinta sastra, para pecinta sejarah, komunitas penyuka candi-candi, pesilat, spiritualis nusantara, penerbit buku-buku bergenre sejarah nusantara, padepokan-padepokan penghayat kebatinan dan sebagainya.

2 comments:

  1. apa sy boleh hadir Bang Imam? Mohon dikirimi undangannya ke ridwan_esto@yahoo.co.od

    matorsakalangkong Bang.

    ReplyDelete
  2. silakan datang mas pada tgl 29 Oktober 2012. acara gratis, terima kasih.

    ReplyDelete

 

Buku Saya


Created with flickr slideshow.

Pemilik Blog

.

.

Translate

PageRank