oleh Imam Muhtarom*)
Seringkali yang terabaikan dalam membaca karya-karya Budi Darma adalah kaitan antara tokoh-tokoh yang terkenal dengan karakternya yang aneh dengan latar kota baik dalam arti latar fisik maupun latar sosial. Tokoh-tokoh macam Joshua Karabish, Ny Elberhart, Fanton Drummond, Olenka, Rafilus, dan Ny Talis, hanya dilihat sebatas bagaimana tokoh-tokoh tersebut tampak secara psikologis. Sekalipun cara ini memang dimungkinkan secara tekstual, namun untuk melihat bagaimana tokoh-tokoh dalam karya Budi Darma mewujud tidak bisa dilepaskan dari proses sosial yang memungkinkan tokoh-tokoh memiliki perwatakan yang aneh, pahit, kurang ajar, jauh dari norma sosial yang ideal.
Kebanyakan cara pandang terhadap prosa Budi Darma memang tidak lepas dari teks prosa itu sendiri yang semenjak awal cerita telah menetapkan jenis perwatakan tertentu yang dimiliki masing-masing tokohnya. Cerita berkembang dengan asumsi-asumsi perwatakan yang telah terbayang begitu kalimat dalam paragraf pertama terbaca. Selanjutnya, cerita berkembang dari pijakan awal yang seakan sudah baku tersebut dan semakin menguat dengan pergulatan tokoh dalam berhadapan dengan tokoh lain maupun dengan masalah yang dihadapi. Tokoh utama terhanyut dengan model pikiran dan tipe psikologis tokoh lain dan karena itu pada saat yang sama merefleksikan tipe psikologis tokoh utama sendiri. Ini kenapa nyaris semua karya prosa Budi Darma diangggap tidak atau jauh memberi kemungkinan secara tekstual kepada pembacanya untuk memahami tokoh dalam kaitannya dengan latar kota yang melingkupinya.
Misal tokoh Joshua Karabish dalam cerpen ”Joshua Karabish” dalam kumpulan cerpen Orang- Orang Bloomington (1980). Sosok tokoh Joshua Karabish ini tidak hadir dalam cerita langsung baik orang pertama atau orang kedua. Ia hadir dalam penceritaan tokoh saya. Tentu ini menimbulkan masalah representasi bagaimana tokoh Joshua Karabish hadir di dalam teks dan hadir dalam pikiran pembaca. Tokoh Joshua Karabish tidak memiliki suara sama sekali untuk langsung memberitahukan siapa dirinya secara tekstual kepada pembaca, tetapi melalui tokoh saya. Sekalipun kemudian tokoh ibu, kakak Joshua, pemilik apartemen mengemukakan pendapatnya mengenai tokoh Joshua, pendapat mereka selalu diartikulasikan oleh tokoh saya. Pembaca cerpen ini bukan hanya harus memiliki daya interpretasi yang kuat untuk memahami bagaimana sebenarnya tokoh Joshua Karabish sebenarnya, tetapi terutama harus memahami tokoh saya sendiri. Lapisan-lapisan ini menjadikan kenyataan sesungguhnya dalam teks menjadi kabur atau malah pembaca bisa berprasangka bahwa kenyataan sesungguhnya yang diharapkan tidak ada jika pembaca berprinsip kenyataan ada dalam dirinya (being itself). Kenyataan dalam cerpen ”Joshua Karabish” adalah masalah sudut pandang dan persepsi siapa yang melihat dan siapa yang mengartikulasikan. Nasib buruk yang menimpa Joshua Karabish atau nasib baik yang menimpa Ny Talis dalam novel Ny Talis (1986) bukan disuarakan oleh siapa pun, kecuali orang yang mengartikulasikannya, yaitu tokoh saya.
Lalu, bagaimana melihat latar kota dalam prosa Budi Darma dengan tokoh-tokoh utama yang memiliki jenis aneh, pahit, kurang ajar, jauh dari norma sosial yang ideal? Dari cara bercerita cerpen ”Joshua Karabish” ini sesungguhnya seorang pembaca dapat mengetahui tipe sosial yang menjadi latar cerpen ini. Cara bercerita dengan menggunakan pengakuan tokoh saya ini tidak harus dipahami masalah representasi bahwa realitas tidak ada yang objektif namun subjektif. Pengakuan tokoh ”saya” justru tepat untuk memasuki wilayah tipe sosial dari kota yang memang kehidupan sosialnya selalu mengandaikan keberjarakan antarpenghuninya. Keberjarakan ini sebagai konsekuensi hubungan manusia kota tidak ditentukan oleh nilai-nilai tradisional yang secara melekat diterimanya, melainkan hubungan ini ditentukan oleh berbagai determinasi ekonomi-sosial-politik yang melingkupinya. Tokoh Joshua Karabish adalah sosok khas yang berada dalam lingkungan kota. Mula- mula ia tamat di sebuah kampus dengan gelar diploma kemudian bekerja menjadi penyapu kamar di sebuah rumah sakit. Setelah keuangan kakaknya membaik, ia mendapat bantuan untuk melanjutkan kuliah di Universitas Indiana, Bloomington, dengan harapan ketika ia lulus ia dapat memilih pekerjaan yang lebih disukainya. Di Bloomington inilah kemudian Joshua Karabish bertemu dengan tokoh saya. Pertemuan ini pun bukan terjadi begitu saja tanpa alasan sosial tertentu. Tokoh saya mengisahkan pertemuannya dengan Joshua Karabish lewat acara pembacaan sajak. Joshua Karabish menuturkan bagaimana ia tertarik dengan tokoh saya di acara itu ketika tokoh saya mengatakan bahwa ia bukanlah penyair hebat dan karena itu ia hanya bisa membaca sajak karya Yeats.
Simpati Joshua Karabish tercurah kepada tokoh saya dan justru bukan kepada teman-teman seapartemen Joshua sendiri yang menyukai musik cadas, bermain bola dalam apartemen, dan berteriak-teriak setiap kali mengikuti pertandingan olahraga melalui televisi, cukup menjelaskan bagaimana pilihan sosial tokoh Joshua. Demikian juga sebaliknya simpati tokoh saya terhadap Joshua. Keterbatasan ekonomi di satu sisi telah memberi sejenis dorongan sosial tertentu untuk memilih siapa saja yang tepat untuk menjadi anggota kelompok sosialnya. Jika dilihat dari sudut kelompok sosial ini, maka terang kenapa tokoh saya bersahabat dengan tokoh Joshua dan bukan dengan yang lain. Bahwa timbul balas dendam pada diri tokoh saya dengan mengklaim bahwa sajak karya Joshua Karabish sebagai karyanya dalam lomba penulisan sajak, ini menjelaskan bagaimana konflik dalam kelompok sosialnya bukan antarkelompok sosial. Alih-alih dilihat sejenis individu yang independen, yang terwujud justru ambivalensi yang terus-menerus merundung manusia kota. Manusia yang menginginkan privasi yang sempurna, tetapi sebagai makhluk sosial mau tak mau tokoh saya membutuhkan tokoh Joshua. Pun saat tokoh saya tidak sampai hati mengusirnya ketika tokoh Joshua menginap di apartemennya, mempersilakan tokoh Joshua bersamanya menyewa satu kamar, sampai tokoh saya mengetahui Joshua mengidap penyakit aneh, dapat dilihat sebagai ambivalensi pada tokoh saya antara kebutuhannya akan privasi di satu sisi dengan kebutuhannya akan sosialisasi.
Kegagalan dalam berkomunikasi yang dengan jelas diakui Budi Darma sebagai tema yang terus-menerus mengobsesi dirinya sepanjang masa kepengarangannya (1980) dapat kita baca bukan saja dalam cerpen ”Joshua Karabish”, tetapi hampir seluruh karyanya hingga saat ini. Tema kegagalan dalam berkomunikasi ini tak lain dari masalah sosial khususnya masyarakat kota. Masyarakat kota dengan strukturnya yang ketat dari kaitan ekonomi-sosial-politik memosisikan individu sebagai objek-objek yang dependen. Objek-objek yang berusaha keluar dari kungkungan materialisasi struktur, tetapi selalu gagal menjadi subjek yang mandiri dan bebas. Alih-alih mengendalikan infrastruktur, individu-individu di dalam kota tidak lebih pelengkap dari infrastruktur. Dalam keterengah-engahan menghadapi struktur yang mematerialisasi inilah salah satunya berakibat munculnya kegagalan dalam berkomunikasi masyarakat kota.
Kegagalan komunikasi berikut implikasinya berupa tipe psikologis tertentu dari manusia kota bukan masalah yang tepat jika dilihat sekadar masalah psikologi perseorangan, melainkan masalah struktur di mana seseorang berada. Terlebih struktur tersebut adalah kota, maka pemahaman yang telah menjadi baku mengenai unit analisis individu dalam psikologi arus utama mestilah dipertanyakan ulang. Dalam psikologi arus utama, perilaku menyimpang dari norma sosial masyarakatnya didefinisikan sebagai sebuah kekeliruan dalam diri si individu itu sendiri dan untuk mengubahnya diperlukan terapi dari si individu tersebut belaka. Sementara itu, tidak dipertanyakan bagaimana norma sosial yang dijadikan acuan untuk menilai perilaku individu tersebut menyimpang atau tidak mengalami tahap objektivikasi dan selanjutnya internalisasi dalam kesadaran individu-individu penghuni komunitas sosial tertentu.
Dalam pandangan psikologi kritis individu tidak relevan lagi dijadikan variabel bebas sebab ia berada dalam ranah sosial-ekonomi-politik yang sarat politis dan sifatnya memaksa individu-individu di dalamnya. Individu berada dalam determinasi struktur yang melingkunginya. Memang individu dapat dipandang sebagai agen yang mampu membuat tawar-menawar terhadap struktur yang determinis, tetapi seringkali masih bersifat spekulasi teoritis. Karena itu, dalam membaca karya-karya Budi Darma berkenaan dengan ”perilaku menyimpang” tokoh saya dalam cerpen ”Orez”, tokoh tiga perempuan tua dalam cerpen ”Lelaki Tua Tanpa Nama”, tokoh Olenka dalam novel Olenka (1983), kemudian tokoh Rafilus dalam novel Rafilus (1988), bukan masalah tokoh itu seorang diri tetapi masalah kompleksitas struktur di mana tokoh-tokoh tersebut berada, yaitu kota.
*) Penulis cerita pendek dan anggota Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP), Surabaya.
Kompas, 19 Maret 2010
Labels:
Bahasa Indonesia,
Esai,
Sastra
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment