Memasuki wilayah yang sebelumnya hanya bisa dibayangkan secara antusias lewat penceritaan, tulisan maupun gambar, tentu sebuah pengalaman mendebarkan. Apalagi, kepergian ke tempat tersebut untuk mempelajari apa yang sangat digemari sekaligus keahliannya: melukis.
Raden Saleh, pemuda 23 tahun itu, berangkat ke Benua Eropa, tepatnya negeri Belanda. Negeri yang menjadi penjajah bagi masyarakatnya. Apalagi keberangkatannya pada 1829 saat terjadi perang hebat Pangeran Diponegoro. Raden Saleh tentu mengetahui peristiwa tersebut. Kita tidak tahu pasti kenapa ia tetap berangkat ke Den Haag dalam situasi demikian. Namun yang pasti bukannya ia mengabaikan peristiwa besar dalam sejarah kolonial Belanda. Paling tidak di kemudian hari ia melukis peristiwa itu dan menunjukkan kepada siapa ia sebenarnya berpihak.
Keberangkatan Raden Saleh bukan dihargai lantaran kemampuan artistik yang memang diterimanya sebagai bakat saja, tetapi pencariannya ke sumber asal mengenai seni lukis. Pencarian ke tempat seni rupa modern berasal secara serentak mengubah seluruh konsepsi mengenai berkeseniannya. Kesenian yang saat itu ada tidak lebih dari kesenian sebagai bagian dari ritual untuk kepentingan kaum elit tradisional maupun untuk penyelenggaraan ritual. Yang mana lingkungan Raden Saleh hidup kesenian merupakan bagian dari prosesi pemuasan selera kaum elit lokal. Tidak ada makna yang hendak dihembuskan lewat sebuah karya apabila karya itu sebagai pesanan raja atau elit lokal. Karya seni yang secara rupa menarik untuk dipandang mata entah itu berupa perabotan rumah, pakaian, bangunan, hiasan perlengkapan tempat tinggal kaum elit. Tidak ada penghargaan secara perseorangan sebagai penciptanya dalam membuat karya-karya tersebut. Si pembuat terlepas atas apa yang dibuatnya.
Lepasnya si pencipta yang membuat di belakangnya bukan saja karena karya itu sifatnya bagian dari pengabdian kepada golongan elit, tetapi juga tidak ada gagasan secara personal yang hendak disampaikannya selaku seorang individual lewat karyanya. Dalam konteks masyarakat saat itu yang ada masih sebatas kelompok sosial berupa kelompok elit dan kelompok orang biasa. Yang ada adalah komunalitas dan tidak ada individualitas, apalagi suara individu yang bergemuruh di benua yang masih penuh kabut feodalisme.
Dengan latar belakang geografi maupun kultural yang sungguh berbeda inilah Raden Saleh masuk pendidikan dan pergaulan elit Eropa. Mulanya ia mendapat beasiswa belajar dari kerajaan Belanda selama 2 tahun, tetapi yang terjadi ia belajar seni lukis di Belanda selama 10 tahun. Sewaktu ia diminta pulang ke Hindia Belanda pada 1839, ia diberi kesempatan selama 6 bulan untuk berkeliling Eropa. Toh bukan 6 bulan tetapi menjadi 13 tahun pengembaraan untuk menghirup jiwa Eropa. Ia berkeliling Jerman, Perancis, Italia, bahkan ia sempat ke Aljazair. Total ia tinggal di Eropa 23 tahun. Kemudian pada masa tuanya ia tinggal di Eropa 5 tahun bersama istri Jawanya. Jadi, ia menghabiskan hidupnya 28 tahun di benua Barat, hampir separuh dari usianya.
Kurator Dr Werner Krauss dalam pameran “Raden Saleh dan Awal Seni Lukis Modern Indonesia” di Galeri Nasional Indonesia pada 3-17 Juni 2012 melakukan retrospeksi terhadap karya seni rupa Raden Saleh. Di sayap kiri setelah melewati pintu masuk, pengunjung dihadapkan pada catatan kuratorial mengenai kemenduaan antara badannya di Eropa sementara jiwanya tetap menetak di Hindia Belanda.
Pengunjung secara penataan ruang diarahkan ke kiri dengan dihadapkan pada karya-karya Raden saleh semasa belajar di Belanda, periode 1829-1839. Karya-karya saat itu berupa lukisan lanskap dan potret. Di antaranya yang mengesankan adalah “Pemandangan Musim Dingin Belanda” (1934). Lukisan berukuran tidak lebih dari 50 cm persegi ini kental oleh warna putih serta abu-abu di sana sini. Bentangan alam begitu kuat sehingga orang-orang yang sedang beraktivitas di antara salju digambarkan dalam ukuran kecil. Selain itu, tampak asap seolah bergerak di tengah kesunyian bentang alam diliputi salju. Alam, tepatnya meditasi alam, menjadi ciri utama romantisisme dalam seni.
Kepiawaian Raden Saleh dalam melukis pertama-tama berkenaan dengan gambar potret dan lanskap. Pada karya-karyanya semasa di awal pendidikan di Belanda, ia melukis berbagai lanskap dalam kanvas ukuran kecil dengan menggunakan cat minyak. Ia melukis lanskap bersalju putih mendominasi kanvasnya, kincir air di sungai kecil, lanskap pepohonan yang khas Eropa. Periode awal ini selama masa belajarnya di Di Den Haag dia belajar melukis potret pada Cornelis Krusmen (1797-1857) dan melukis lanskap pada Andreas Schelfout (1787-1870).
Demikian keahliannya dalam melukis potret Raden Saleh terlihat pada lukisan “Saint Jerome”. Lukisan dengan proporsi sempurna ini dilukis pada 1839. Lukisan mengenai seorang santo dengan kitabnya. Terdapat tengkorak manusia di sisi kitab. Sementara lanskap langit beserta lautan di belakangnya bersama simbol patung Yesus tertancap di atas tiang kayu. Lukisan ini tidak saja menyarankan kemampuan teknis melukis Raden Saleh yang kian matang, tetapi juga pemahamannya yang baik dan terbuka terhadap keyakinan lain walaupun ia adalah Islam dan masih punya darah Arab.
Kemampuan melukis lanskap dan potret ini akan berguna kelak ketika ia memadukan keduanya dalam melukis adegan perburuan, peristiwa sejarah maupun peristiwa sehari-hari masyarakat. Kepiawaian teknik ini semakin memperlihatkan kematangannya tatkala ia melakukan perjalanan ke luar Belanda seperti Perancis, Italia, dan terutama Jerman. Setelah meninggalkan Belanda, Raden Saleh banyak bertemu dengan kolega burjouis dan seniman-seniman berbakat zamannya di Eropa. Aliran romantisisme yang menguat masa itu, demikian kuat pengaruhnya dalam karya Raden Saleh. Misal dalam karya “Memburu Singa” yang ia selesaikan pada 1840. Secara pencapaian artistik karya berukuran kurang dari 100 cm terunggul dibandingkan karya Raden Saleh lainnya.
Kraus sebagai ahli yang meneliti Raden Saleh lebih dari 20 tahun mengatakan pencapaian Raden Saleh dalam lukisan “Memburu Singa” ia nilai sebagai yang terbaik. Hal ini terlihat dari pencapaian komposisi, detail, gerak, warna yang sangat baik. Hasilnya: dua singa yang dikeroyok tak kurang oleh sembilan pemburu berusaha sekuat tenaga melakukan serangan terakhir, sementara 7 pemburu yang berada di atas kuda bahu-membahu menaklukkan kedua singa tersebut. Salah satu singa terkena tombak, sementara satunya lagi dalam posisi menyerang namun sebuah pistol kuno dari arah belakang sudah meletus mengarah ke singa yang tengah menyerang seorang pemburu. Saat-saat terakhir hidup dan mati antara singa dan pemburu dilukis dengan sempurna sehingga berhasil menghamparkan suasana ketegangan. Kebuasan antara pemburu dan singa dalam mengarungi kehidupan dan kematiannya tergambar jelas sebagai gagasan romantisisme yang utama. Alam, spirit yang terkandung dalam alam, hadir dan terasa menyergap dalam lukisan tersebut sekaligus menyelubungi mata yang menatap lukisan ini.
Demikian juga pencapaian artistik dalam lukisan “Berburu Banteng di Jawa” yang ia selesaikan pada 1851. Seekor banteng dikeroyok oleh 7 pemburu berpakain jawa dan seekor anjing. Si banteng berhasil menyeruduk 1 pemburu sehingga kuda dan penunggangya ambruk ke tanah. Pencahayaan yang tidak terlalu cerah di tengah padang rumput dengan latar belakang pegunungan dan langit di daerah Jawa mendukung bahwa peristiwa perebutan antara hidup dan mati terjadi di bawah alam tersebut. Adegan ini demikian memusat dalam pertarungan perebutan hidup-mati. Seakan lanskap gunung di belakangnya serta langit dan mendung tidak penting dalam peristiwa demikian. Hidup dan mati menjadi tema utama dan meniadakan yang lain, dan demikian gagasan romantisisme.
Pada periode pengembaraan setelah dari pendidikan di Den Haag ini Raden Saleh fokusnya melukis tema-tema perburuan. Ini tidak lepas dari semangat romantisisme yang pesat di Eropa yang mana ramai-ramai para seniman merasa wajib untuk melihat langsung kehidupan alam di luar Eropa semacam Aljazair. Seniman-seniman Eropa tidak hanya para perupa, tetapi sastrawan keluar dari Eropa mengembara mencari dunia di mana belum terlalu dicampuri oleh pikiran-pikiran manusia. Dalam romantisisme pikiran manusia terlalu merasuk dalam dunia Eropa sehingga alam dianggap hilang dari peradapan mereka. Demikian Raden Saleh kurang lebih melakukan 6 bulan perjalanan ke alam liar Aljazair bersama bangsawan Jerman untuk melukis. Kita lihat periode ini terbilang banyak melukis orang-orang Arab tengah berburu dan puncak artistik ada di periode ini, ketika Raden Saleh memasuki usia 30-an. Di Jerman ini pengaruh pelukis romantisisme Peter Paul Rubens pada karya-karya lukisannya menjadi lebih kuat. Sebelum kepulangannya ke Hindia Belanda Raden Saleh diangkat sebagai pelukis raja di negeri Belanda.
Setelah kepulangannya ke Hindia Belanda pada 1853 Jawa ia diangkat sebagai restorator untuk lukisan-lukisan kolonial. Pada masa ini muncul ambivalensi dalam diri Raden Saleh. Di satu pihak secara struktural ia di bawah kolonial Belanda, di pihak lain ia melihat realitas masyarakatnya yang dijajah oleh Belanda. Satu sisi ia tetap mengerjakan restorasi untuk lukisan-lukisan kolonial dan diminta melukis para pembesar kolonial, satu sisi ia tahu betul apa yang terjadi atas masyarakatnya yang dijajah oleh kolonial Belanda.
Ada perubahan dari melukis dengan semangat romantisisme dengan tema keliaran alam kepada masalah yang terkait dengan masyarakatnya. Dilema ini memang telah dialami dalam bentuk perlakuan pihak kolonial yang selalu berusaha mengisolasi dari pergaulan elit kolonial sebab ia telah mendapatkan kebebasan. Yang mana jutaan masyarakat Hindia Belanda masih terus terbelenggu kebebasannya. Raden saleh dalam lukisan “Jalan di Megamendung” yang diselesaikan pada 1879. Pada lukisan ini terbentang alam di daerah Puncak, Bogor. Rerimbunan pepohonan yang memenuhi kanvas, serta langit pagi yang membentang di belakangnya. Di tengahnya terdapat jalanan tanah menyeruak di tengah-tengah rerimbunan tersebut. Di jalan tanah tersebut terdapat rombongan jenderal Hindia Belanda dengan pasukan pengiringnya. Hanya saja mereka tak lebih dari noktah kecil di tengah bentangan alam yang luas tersebut. Rombongan itu sama juga dengan noktah alam lainnya berupa pedagang di pinggir jalan, dedaunan, rumah di pinggir jalan, serta awan pagi hari di Megamendung. Lukisan ini tidak menempatkan jenderal Hindia Belanda beserta rombongannya sebagai subjek lukisan. Mereka adalah bagian yang kecil dari bentangan alam yang kuat tersebut. Tidak menjadikan subjek lukisannya berarti Raden Saleh tidak menganggap kolonialis Belanda segala-galanya di tanah kelahirannya tersebut. Mereka juga sama kecilnya dengan orang-orang pribumi.
Fase keberpihakan Raden Saleh kepada nasib masyarakatnya terlihat konkret ketika ia melukis “Penangkapan Pangeran Diponegoro” ukuran 112x178 cm pada 1857. Lukisan ini tidak lain empati Raden Saleh terhadap perjuangan Pangeran Diponegoro yang kemudian meninggal di Makassar tak jauh ketika lukisan ini ia buat. Salah satu anggota keluarga besar Raden Saleh adalah kepala pasukan Pangeran Diponegoro. Lukisan ini dibuat dalam rangka mereaksi lukisan “Penaklukan Diponegoro” ukuran 70 x 100 cm karya Nicolaas Pieneman yang dibuat pada 1830 atas pesanan pemerintah kolonial Belanda. Yang mana si Pieneman sendiri tidak tahu menahu bagaimana berlangsungnya perang terbesar dalam sejarah kolonial di Hindia Belanda. Bahkan, ia sendiri tidak pernah menginjakkan kakinya ke tanah Jawa.
Ada perbedaan mendasar lukisan Raden Saleh ini dibandingkan lukisan Pienaman sebagai bukti sesungguhnya di mana Raden Saleh berpihak. Meskipun ia telah mencecap kebesaran dunia kesenian Barat ia tidak sepenuhnya lumat di dalamnya. Justru menjelang akhir hidupnya ia bersiteguh untuk berpihak kepada masyarakatnya, bangsanya.
Pada lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” dengan jelas figur Diponegoro menatap dalam sikap menantang Jenderal De Kock. Posisinya sama berdirinya menghadapi para kolonial tersebut. Ia tatap jenderal tersebut dengan lantang. Sementara yang ditatap pandangannya kosong dan semua pembesar pasukan Belanda di depan bangunan di Magelang tersebut dalam pandangan kosong. Proporsi kepalanya terlalu besar sehingga serupa boneka. Jika bentuk kepala ini dianggap Raden Saleh tidak cakap melukis orang Belanda, tentu salah. Ia seorang pelukis yang sangat ahli menggambar potrait semenjak awal sebagai seorang pelukis. Kenapa ia menggambar dengan proporsi jelek, tentunya ia bermaksud untuk menilai Belanda yang tidak menggunakan akalnya secara benar dalam kaitannya dengan masyarakat Hindia Belanda, khususnya dalam kaitan Pangeran Diponegoro. Belanda menipu dalam acara gencatan bersenjata tersebut.
Dalam lukisan ini ia tidak terdapat bendera Belanda, posisi bangunan ia ambil yang kanan bukan sisi kiri sebagaimana dalam lukisan Pieneman. Lukisan Raden Saleh ini cukup frontal maknanya jika dibandingkan dengan Pieneman dan dari situ cukup jelas kepada siapa Raden Saleh berpihak.
Pada tahap ini Raden Saleh menjadi pelopor dari segala pengertian modern dalam sejarah seni rupa Indonesia modern. Modern dalam hal mempelajari seni lukis dalam kerangka pendidikan modern Barat, modern pada hasil lukisannya yang terbedakan secara jelas dengan karya rupa tradisional, modern dalam arti berkeseniannya yang individual sekaligus merdeka tanpa harus berperan sebagai abdi dalem, modern untuk memperjuangkan hak-hak kaumnya sebagai manusia lewat penuangannya dalam karya lukis.
Benar memang ketika Werner Kraus mengatakan pameran besar Raden Saleh ini bukan sekadar menghadirkan karya-karya sang maestro yang lahir 200 tahun lampau. Pameran ini menyatakan kembalinya karya-karya Raden Saleh kepada masyarakatnya, juga gagasan-gagasannya mengenai kebebasan masyarakatnya dari kolonial dalam jubah lain.***
Imam Muhtarom, pemerhati seni rupa.
Terbit di www.indonesiaseni.com pada 22 Juni 2012
0 comments:
Post a Comment