Judul Novel: Hilangnya Halaman Rumahku
Penulis: G. Budi
Subanar
Penerbit:
Universitas Sanata Dharma, 2013
Halaman: vii, 306
Hubungan
antaretnis di kepulauan Nusantara mengalami silang surut dalam perjalanan
sejarahnya. Ada kalanya hubungan tersebut harmonis dalam ikatan yang manis
dengan semangat saling membutuhkan. Namun ada kalanya hubungan tersebut menemui
prahara dalam bentuk pertikaian yang memakan korban dan melibatkan ribuan
orang. Sementara itu jutaan lainnya terlibat dalam persepsi yang dipenuhi
prasangka.
Novel Hilangnya Halaman Rumahku karya G. Budi
Subanar atau biasa dipanggil Romo Banar mengangkat persoalan tersebut. Novel
ini sebagian besar mengambil latar di kepulauan Maluku, tepatnya Pulai Kei.
Pulau ini gersang, daratannya keras berkarang, sehingga kehidupan masyarakatnya
secara ekonomi tidak makmur. Meskipun dalam sejarahnya pulau ini terkait dengan
perdagangan dunia pada masa abad 16-17. Ini tampak dalam gramatika bahasa yang
pola kerumitannya mendekati bahasa Spanyol. Bahasa orang Kei setiap kalimat
akan berubah kata kerjanya apabila subjeknya berbeda. Dalam hal bahasa dapat
dilacak masyarakat Pulau Kei pernah dalam sejarahnya memiliki cara yang
berpikir yang kompleks sesuai dengan pergaulan dengan orang-orang dari penjuru
Eropa. Namun kini, tepatnya, pada masa tokoh Suryo ke pulau tersebut dalam
rangkat ikatan dinas mengajar, kondisinya menyedihkan.
Peristiwa guru
lajang Suryo ke Pulau Kei kurang lebih tahun 1992-1996. Selama empat tahun
Suryo terlibat dengan masyarakat pulau yang memiliki lapangan terbang yang
dibuat Jepang. Pada Perang Dunia II Jepang menjadikan pulau itu sebagai cara
membangun kekuatan perang di Lautan Pasifik sebagaimana pihak sekutu juga
pernah memiliki pertahanan di wilayah Maluku Utara dan Papua. Hanya saja
lapangan terbang yang dimaksud dibikin oleh penduduk setempat melalui romusha
yang dilakukan Jepang.
Penduduk Pulau
Kei yang mayoritas Katolik tersebut terkucil dengan kehidupan modern yang lazim
di pulau-pulau bagian barat Indonesia. Pertanian di atas tanah yang di bawahnya
terdapat karang-karang keras. Sementara anak-anaknya sulit berfikir secara
verbal. Anak-anak itu selalu harus menggunakan alat bantu dalam menjabarkan
perhitungan matematika. Namun demikian, anak-anak itu memiliki keterampilan
fisik yang baik sesuai dengan fisik daratan yang keras dan lautan yang
mengelilingi pulau itu.
Suryo bersama
rekan-rekan mengajar di SMU. Di pulau itu Suryo tidak hanya bersama guru-guru
tetapi juga berkawan dengan sesama perantauan dari Jawa, Sumatra, Sulawesi yang
menjalani ikatan dinas sebagai dokter. Di tempat itulah kesadaran akan
kebersamaan untuk memajukan masyarakat setempat terpacu. Di tempat ini pula
Suryo harus mengalami kepahitan. Selama ini Suryo belum pernah mengikat
hubungan dengan perempuan mana pun. Di pulau itu Suryo menjalin hubungan dengan
Vita dari Malang yang sedan menjalani ikatan dinas sebagai dokter. Hanya saja usia
hubungan ini tidak lama, sebab dalam sebuah tugas Vita meninggal dunia dalam
kecelakaan laut.
Saat dikabarkan
meninggalnya Vita dalam perjalanan naik speedboat
itulah terlihat solidaritas yang tulus di antara sesama perantau dengan
masyarakat setempat. Seolah tidak terdapat sekat kesukuan di antara mereka.
Nasib telah mengikatkan persaudaraan di antara mereka. Upacara secara Katolik
diadakan kawan sesama perantauan maupun penduduk setempat. Mereka sama-sama
kehilangan Vita sesama perantauan dan Vita selaku dokter yang membantu
menyehatkan masyarakat setempat. Dalam situasi yang terpencil ikatan menjadi
begitu kuat dan saling memberi.
Namun
persaudaraan semacam ini selalu pasang surut seperti kehidupan masyarakat Pulau
Kei yang memperhatikan benar pasang surut bulan sebagai masyarakat yang
berbasis laut. Pada penghujung abad 20, tepatnya 1999, masyarakat Maluku
terbelah oleh isu uang transpor angkutan yang memicu permusuhandengan pendatang,
yakni Buton, Bugis, Makasar (BBM). Sentimen ini mengakibatkan terjadi
pertikaian yang menyulut perusakan, antara lain dibakarnya Universitas
Pattimura.
Adalah Kace
seorang pelajar tingkat master di Yogyakarta yang tercekam oleh berita
memilukan yang terjadi di tanah kelahirannya. Kace ketika kelas 3 SMA di Pulai
Kei diajar oleh Suryo. Waktu merantau di Yogyakarta dia bertemu dengan Suryo
sehingga ikatan mereka tidak ubahnya kala Suryo merantau di Pulau Kei. Dalam
analisis yang diberikan Suryo sejauh pengalaman tinggal di pulau tersebut
pendatang yang berperan dalam perdagangan adalah Arab, Bugis, China (ABC). Ia
heran kenapa yang menjadi isu justru BBM bukannya ABC. Sepanjang pengalamannya
ABC dapat menjalin hubungan harmonis dengan masyarakat setempat. Suryo
memberikan analisis perbandingan seperti halnya peristiwa pertikaian di wilayah
yang sama pada era Sukarno. Suryo dalam hal ini berperan meredakan sentimen di
antara komunitas mahasiswa Maluku di Yogyakarta yang terlanjur disulut oleh
pemberitaan di media.
Novel ini
memiliki dua materi ceita yang berkelindan satu sama lain. Satu cerita mengenai
hubungan etnis yang terjadi antara Suryo dengan masyarakat Maluku di Pulau Kei
dan Kace dengan masyarakat Jawa di Yogyakarta. Hubungan etnis tersebut dapat
terselenggara dengan baik, bahkan menunjukkan kebutuhan satu sama lain.
Penerimaan masyarakat Maluku terhadap Suryo dan kawan-kawan sebanding dengan
penerimaan masyarakat Jawa di Yogyakarta sebagaimana terlihat penerimaan
orangtua Suryo terhadap Kace dan kawan-kawannya di lingkungan mereka. Bahkan,
secara sengaja Suryo ditempatkan di antara kelompok Kace dalam menelaah
peristiwa berdarah pada 1999 di Maluku. Persoalan hubungan etnis dalam novel
ini menjadi persoalan perspektif. Jika perspektif berdasarkan sifat objektif,
sentimen-sentimen yang diopinikan secara publik oleh media massa dapat
diredakan semenjak dini. Tahun 1999 menjadi tahun awal era reformasi bersama
cita-citanya diselenggarakan. Isu utama reformasi adalah persoalan keadilan
yang tidak merata di seluruh wilayah Indonesia yang kemudian ditanggapi dengan
pilihan otonomi daerah. Seperti mencari keseimbangan baru, setiap wilayah
berupaya mendefinisikan dirinya masing-masing setelah era Orde Baru secara
sepihak mendefinisikan wilayah-wilayah tersebut. Semangat otoda inilah yang
menjadikan setiap wilayah baik di kalangan pemerintahan lokal maupun
masyarakatnya ingin menentukan arah kehidupannya sendiri.
Sementara itu,
pada sisi lain novel ini berkisah mengenai persoalan romantika Suryo yang
dibayangi tragik dan kebingungan. Tragik kala Suryo berusaha menjalin hubungan
dengan Vita sebagai kekasih, justru Vita hilang tenggelam di lautan dalam
perjalanan mencapai pasien di lain pulau. Saat itu baik Suryo maupun Vita
sama-sama baru menjalin hubungan dengan lawan jenis untuk pertama kalinya. Suryo
dan Vita yang sama-sama berbunga-bunga dalam hubungan itu harus patah bersama
takdir yang mengiringi mereka. Hanya saja tragik itu berekor 3-4 tahun kemudian
kala Suryo di Yogya. Dalam masa kosongnya itu datang Nunik kawan SMA-nya yang
berjuang menaklukkan Suryo. Dalam masa kosong tersebut Nunik perlahan mampu
menjerat hati Suryo. Mereka berencana menikah. Tepat pada waktu Nunik mengajak
memilih busana pengantin datang kabar dari radio Australia bahwasanya ditemukan
dokter perempuan yang dulu dikabarkan hilang dalam kecelakaan perjalanan di
laut. Suryo yakin bahwa itu pasti Vita. Keyakinan itu semakin pasti kala Suryo
menelepon orangtua Vita di Malang, ibu Vita membenarkan. Saat itu Pak Jatmiko
bersama kakak sulung Vita sedang dalam perjalanan menuju Maluku. Novel berakhir
dalam keadaan Suryo tengah menjalin hubungan serius dengan Nunik. Memang
pengarang kadang bisa kejam terhadap tokoh-tokohnya.
Menurut saya
selaku pembaca yang tak kalah menarik untuk mendapat penceritaan kisah Vita
yang tak tahu rimbanya selama 3-4 tahun yang disangkakan meninggal. Vita
seorang diri bersama masyarakat terpencil. Sub-cerita ini justru akan
memperlihatkan sisi kemanusiaan yang dalam pada Vita di tanah antah berantah
seorang diri. Namun, novel ini telah
memberi perspektif yang menarik pada soal relasi antaretnik, nasib masyarakat
bahari kita, dan soal takdir yang tak diketahui manusia.***
Imam Muhtarom, penulis sastra.
Terbit di Koran Tempo, Minggu, 21 April 2013
0 comments:
Post a Comment