skip to main |
skip to sidebar
Press Release
Diskusi Terbuka
“Pulau Rhun: Pesona Rempah dan
Kolonialisme”
Sebuah diskusi terbuka yang mengangkat
tema: “Era Kolonialisasi Belanda di Pulau Rhun dan Kepulauan Banda”.
Sebagaimana diketahui bahwa pada awal abad ke-17 Pulau Rhun di wilayah Maluku
telah dikenal luas oleh dunia Barat. Pulau ini menjadi primadona bagi para
kolonialis Barat karena satu-satunya pulau di dunia penghasil rempah-rempah
yang melimpah. Demikian terkenal dan pentingnya Pulau Rhun itu sampai-sampai
kemudian terjadi “tukar guling” dengan pulau Manhattan (New York) di Amerika
Serikat yang melibatkan pihak kolonial Belanda dan Inggris.
Perebutan penguasaan pulau Rhun merupakan
bagian dari penguasaan rempah di kepualuan Banda (Maluku) dan sekitarnya yang
dimenangi oleh pihak Belanda. Ini merupakan babak terpenting dari perkembangan
kolinialisme Barat di Nusantara. Tapi, bagaimana sebenarnya kisah pulau ini?
Bagaimana situasi pulai tersebut setelah lepas dari kolonialisme? Bagaimana
kehidupan masyarakatnya saat ini?
Untuk membahas riwayat pesona rempah pulau
Rhun dan sejarah kolonialisme serta kehidupan pulau tersebut saat ini, akan
berbicara tiga orang narasumber, yaitu:
1. Made Wianta, seorang seniman asal Bali
dengan reputasi internasional. Dalam beberapa tahun terakhir seniman ini
melakukan penelitian dan penelusuran sejarah pulau Rhun, tinggal di pulau
tersebut, dan kemudian melakukan perjalanan ke pulau Manhattan untuk
merekonstruksi kaitan sejarah dari kedua pulau. Made Wianta kemudian membuat
karya-karya seni rupa dengan bertitik tolak dari perjalanan dan penelusuran
sejarah, juga setelah menyelami kehidupan masyarakat di pulau Rhun.
2. Dr. Ouda Teda Ena, pengajar di
Universitas Sanata Darma, Yogyakarta. Dalam diskusi ini dia akan membahas
sebuah novel yang berkisah tentang sejarah Pulau Rhun pada abad ke 17, berjudul
Nathaniel’s Nutmeg karya Giles Milton dan sumber-sumber lain.
3. Dr. Didik Pradjoko, seorang sejarawan
maritim dan pengajar di Universitas Indonesia, Jakarta. Penelitiannya mengenai
sejarah maritim Nusantara akan memberi perspektif yang lebih luas berkaitan
dengan sejarah pulau Rhun.
Adapun tempat dan waktu diskusi adalah:
Hari/tanggal : Jumat, 31 Mei 2013.
Pukul : 16.00-19.00
Tempat : President Lounge, Menara Batavia
Ground Floor Jl. K.H. Mas Mansyur Kav.126, Jakarta Pusat 10220
Diskusi ini merupakan bagian kedua dari
diskusi serial yang diadakan dua bulan sekali dengan tajuk: Road to Borobudur
Writers and Cultural Festival 2013. Program diskusi serial ini mengusung topik
“Peradaban Bahari dan Rempah Nusantara”. Rangkaian diskusi ini puncaknya adalah
acara Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2013 yang diadakan di
Borobudur, Magelang dan di Yogyakarta pada 17-20 Oktober 2013. BWCF 2013 akan
mengangkat tema “Arus Balik: Bahari dan Rempah Nusantara, antara Kolonial dan
Poskolonial”.
Borobudur Writers and Cultural Festival
(BWCF) adalah sebuah festival tahunan berupa forum pertemuan para penulis dan
pekerja kreatif serta aktivis budaya yang menekuni dan memiliki perhatian besar
terhadap sejarah Nusantara. Festival ini pertama kali diadalah pada tahu 2012.
Pada BWCF 2012 tersebut mengangkat tema “Memori dan Imajinasi Nusantara:
Musyawaran Agung Penulis Cerita Silat dan Sejarah Nusantara”.
Pada BWCF 2012 itu hadir 350 penulis
cerita silat dan penulis berlatar sejarah Nusantara. Selain sesi seminar juga
diadakan pemutaran film, pesta buku, pementasan seni, lecture tentang sejarah
Nusantara, workshop penulisan cerita anak, dan pemberian penghargaan Sang Hyang
Kamahayanikan Award kepada penulis, sejarawan, peneliti, budayawan, dan
tokoh-tokoh yang berjasa bagi pengembangan budaya dan sejarah Nusantara. Pada
BWCF 2012 award diberikan kepada SH Mintardja, seorang penulis cerita silat
yang sangat produktif dan telah memberi kontribusi besar terhadap permahan
sejarah Nusantara.
Pada tahun 2013 ini, BWCF mengangkat tema
“Peradaban Bahari dan Rempah Nusantara” untuk mendorong masyarakat agar lebih
memahami dan mencintai kekayaan sejarah peradaban bahari Nusantara. Bagaimana
pun Nusantara adalah sebuah Negara bahari, Negara kepulauan sehingga laut
adalah jantung kehidupannya. Terdapat banyak kisah para penjelajah Nusantara
yang mencapai benua-benua jauh berikut perkembangan teknologi pelayaran dan
ilmu navigasi serta berbagai pengalaman bahari yang sangat kaya.
Namun bersamaan dengan datangnya
imperialisme Eropa, perlahan peradaban Bahari Nusantara mulai surut. Penyebab
utama datangnya kaum imperialis Eropa adalah daya tarik kekayaan rempah,
terutama cengkih yang menjadi komoditas utama dunia pada saat itu. Kekayaan
rempah Nusantara kemudian diambil alih oleh para penjelajah Eropa. Dan
faktanya, sejarah imperialisme adalah sejarah perdagangan rempah.
Dan dalam perkembangannya selanjutnya
orientasi Nusantara tidak lagi mengarah pada keluasan laut yang tanpa batas
melainkan ke daratan. Itulah arus balik Nusantara: meninggalkan lautan menuju
daratan yang sempit. Nusantara seolah melupakan kekayaannya yang utama, melupakan
keunggulan rempahnya.
BWCF 2013 hendak merayakan kembali
kekayaan sejarah dan menemukan kembali keunggulan serta kekuatan jiwa manusia
Nusantara yang lahir, tumbuh dan besar di laut dalam rahim peradaban Bahari.
Perayaan untuk mengenali keberadaan Nusantara di masa lalu, memahami masa
sekarang dan merancang masa depan.
Yoke Darmawan
Ketua Pelaksana
Kontak:
Imam Muhtarom: 081553236001
imam_muhtarom@yahoo.com
Yoke Darmawan: 08123868473
0 comments:
Post a Comment