FIGUR FIGUR TRAGIK NIKO RICARDI
INVITATION 
We are cordially invite you to attend
FIGUR FIGUR TRAGIK NIKO RICARDI 
Solo Exhibition by Niko Ricardi
Opening :
Sunday, 2 June 2013, on 19.00 pm
Officiated by :
FREDDY H. ISTANTO
Exhibition Curator :
IMAM MUHTAROM
at
Emmitan Contemporary Art Gallery
Jl. Walikota Mustajab 76, Surabaya 60272, Indonesia
Exhibition will last until 12 June 2013
For more information please contact
T. +62 31 5466611, 5477711
F. +62 31 5457185
Contact : hendrotan +62 81 2311 2311
email :  artemmitan@yahoo.com
http : www.emmitancagallery.com
Pengantar Galeri
Niko Ricardi adalah seorang seniman muda kelahiran Padang dan sekarang 
menetap di Jogjakarta untuk berkarya, saat ini sebagai seniman eksklusif
 Emmitan Contemporary Art Gallery, pertama kali saya mengenal karya dua 
dan tiga dimensi Niko Ricardi sangat menarik dan saya terkesan dengan 
gagasannya yang berbentuk bebas mendekati atmosfer “aneh” yang mencekam 
yang selalu menyertai kreativitas kekaryaannya.
Karena itu, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Niko Ricardi atas
 kesiap-sediaannya untuk menghelat pencapaian terbarunya di pameran ini.
 Terima kasih juga kepada kurator Imam Muhtarom yang telah merancang by 
proses-gelar pameran ini hingga terlaksana dengan lancar.
Selain itu, saya tak lupa mengucapkan terima kasih kepada Bapak Freddy 
H. Istanto atas kesediaannya meresmikan pameran ini. Begitu juga kepada 
rekan-rekan media massa, kolektor, pecinta seni rupa, dan semua pihak 
yang telah berpartisipasi dalam pameran ini. Terima kasih.
Emmitan Contemporary Art Gallery
hendrotan***
The Gallery’s Introducion 
Niko Ricardi is a Padang-born young artist currently based in 
Yogyakarta. He is at this time an Emmitan Contemporary Art Gallery’s 
exclusive artist. When I first saw his two- and three-dimensional works I
 was very much impressed by his ideas that have the quality of somewhat 
gripping bizarreness unfailingly characterizing the artworks he creates.
I would like to express my thankfulness to Niko Ricardi for his 
readiness to show his latest achievements in the current exhibition.
I am also thankful to Imam Muhtarom the curator for his by-process 
designing of this exhibition.   My thanks also go to Mr. Freddy H. 
Istanto for his kind willingness to give this exhibition its official 
opening. I also heartily appreciate the attention and participation of 
our friends from the media, art collectors, art enthusiasts, and all 
parties involved in this exhibition program. Thank you. 
Emmitan Contemporary Art Gallery
hendrotan***
FIGUR-FIGUR TRAGIK NIKO RICARDI
Oleh Imam Muhtarom
Karya-karya Niko Ricardi baik untuk karya dua dimensi maupun tiga 
dimensi memperoleh perkembangan terus-menerus selama proses kreatifnya. 
Pada karya awalnya Nico menggeluti kanvas dengan ide-ide visual yang 
optikal. Ia mengolah bidang kanvasnya dengan objek-objek yang 
menimbulkan ketakjuban optis. Objek-objek yang hadir mempermainkan 
kelemahan mata ketika menjumpai objek yang bertentangan dengan kebiasaan
 mata melihat objek. Sifat ilusi yang tertanam dalam mata diubah atau 
malah disesatkan sehingga menimbulkan keterkejutan persepsi. Kebiasaan 
mata yang menangkap objek yang membentuk sudut, permukaan, bagian yang 
seharusnya tersembunyi, justru hadir dalam keserampakan. Akibatnya, 
persepsi mata yang terlanjur normatif oleh penglihatan sehari-hari 
dikejutkan oleh tangkapan mata ini. Niko demikian asyik dengan permainan
 persepsi yang tidak lazim ini. Ia benar-benar membuat karya dengan 
alasan yang bertumpu pada ide-de optikal. Tak lebih dari itu. Pada fase 
ini Nico tidak mementingkan aspek tematik, apalagi tema besar terkait 
dengan situasi kemanusiaan terkini. Pada fase ini figur-figur belum 
masuk ke dalam lukisannya.
Pada karya patungnya, kecenderungan menggarap gagasan dengan tema-tema 
berat terkait kemanusiaan belum begitu serius. Ia lebih menggeluti 
keasyikannya merangkai benda-benda sehingga membentuk figur. Apakah 
figur-figur itu nantinya membentuk rangkaian ide terkait makna tertentu 
tidak ia pedulikan. Kemahirannya menyusun benda-benda dari berbagai 
logam sisa motor atau logam sisa apa pun dengan cara las menjadi 
dorongan satu-satunya ia menyelesaikan karya. Maka, karya-karya tiga 
dimensinya berupa patung dari bahan-bahan logam sisa lebih pada aspek 
craft daripada memiliki maksud yang lebih luas. 
Kemampuan menyusun logam bekas onderdil sepeda motor berupa rantai, 
tangki bensin, mesin, rangka mesin, mur, kawat, dan sedikit material 
tambahan lain dapat dilihat pada pameran dalam rangka tugas akhir 
kuliahnya di ISI Yogyakarta pada 2009. Patung-patung yang tersusun atas 
beragam material yang ia temukan di berbagai tempat semisal bengkel, 
gudang, atau bahkan di tempat sampah berhasil ia susun menjadi 
serangkaian patung yang “hidup”. Patung-patung itu yang warnanya dominan
 gelap memberi serangkaian bentuk yang unik. Patung berjudul “Aku dan 
Anjingku” yang membentuk serupa robot beserta binatang anjingnya. 
Terlihat patung itu galak, terlebih dengan anjing dengan mulut menyalak.
 Tidak terbatas itu saja, pada pameran tersebut Niko memperlihatkan 
bakatnya sebagai pematung dengan teknik yang memiliki masa depan. Dengan
 menyesuaikan materi yang sederhana dalam jumlah terbatas, ia berhasil 
menyusun patung seorang pendekar ala Jepang lengkap samurainya. 
Sekalipun patung tersebut dibuat dengan materi minimal, karya itu dapat 
tampil secara maksimal.  Sebuah patung ala Jepang dengan samurai siap 
ayun di tangannya.
Pada 2009 figur robot-robot mulai masuk dalam kanvas Nico, yaitu lukisan
 “Pose” dan “Terikat Tubuh”. Kedua lukisan ini masih dengan keasyikannya
 lewat warna monokrom. Lukisan robot pada lukisan “Pose”—kuat 
kemungkinan lelaki—sedang duduk dengan santainya. Tak ada penjelas lain 
kecuali figur robot itu di dalam bidang kanvas. Hanya saja, lewat karat 
pada sendi-sendinya, juga lewat persendian utamanya, tampak susunan 
logam-kabel yang bergelibat, menunjukkan figur tersebut robot. Lukisan 
robot ini tidak menyarankan kepada pemaknaan tertentu. Kita hanya 
disodorkan pada sebuah robot yang bisa berpose ala manusia, tak lebih 
dari itu. 
Beda halnya dengan lukisan “Terikat Tubuh”. Lukisan ini berupa figur 
robot tetap dalam warna monokrom memberi kesan dengan makna tertentu. 
Kita tidak tahu keinginan memberontak pada figur robot tersebut 
disebabkan oleh apa. Hanya saja, robot itu menampakkan upaya untuk 
melepaskan diri dari ikatan “tubuh” yang juga terikat oleh belitan 
kawat. Niko memberi arti pada lukisannya bahwa figur robot tidak cuma 
berpose ala manusia yang menjadi tujuan utama patung-patungnya yang ia 
buat sebelumnya. 
Pada lukisan “Terikat Tubuh” karya-karya Niko dalam pameran ini 
memperoleh jejaknya. Robot yang tidak berhenti pada dirinya sendiri, 
tetapi robot beserta jaringan maknanya yang meluas. Robot-robot itu 
tidak berhenti sebagai aspek fisiknya belaka. Robot-robot dalam kanvas 
itu bahkan berupaya keras lepas dari kerobotannya dengan menjelma 
sebagai simbol kondisi manusia terkini.
Selanjutnya, pada 2009 ada perubahan pada Niko, khususnya pada pergaulan
 dan bacaan. Memang ia tetap menjalin diskusi dan kadang pameran bersama
 dengan kelompok Sakato, kelompok seniman asal Padang. Mereka 
berdiskusi, pameran bersama, bergosip bersama di tanah rantau 
Yogyakarta. Lebih dari itu, bertahan bersama dengan hidup sebagai 
seniman di Yogyakarta. Lewat Kelompok Sakato ini, selain lembaga ISI, 
telah membentuk cara berkesenian Niko. Mulai dari sikap seninya sampai 
pilihan-pilihan artistiknya. Kelompok Sakato berkontribusi besar dalam 
menemukan bahasa visual yang khas pada anggota-anggotanya, khususnya 
Niko. Bersama kelompok Sakato Niko mencari bentuk-bentuk visual unik 
tanpa mengacu pada nilai-nilai kultural tertentu. 
Namun Niko merasa selalu ada yang kurang. Pergaulannya ia perluas. Ia 
tidak melulu berurusan dengan kalangan seni rupa. Niko mulai akrab 
dengan diskusi maupun bacaan terkait isu-isu globalisasi dan konsekuensi
 yang ada pada isu ini. Perhatiannya pada isu ini juga mengubah pada 
bahan bacaan, isu-isu global terkini, situasi sosial-politik di tanah 
airnya. Perlahan tetapi jelas, perspektif sosial maupun politik Niko 
mulai terbentuk. Niko memiliki pendapat mengenai perkembangan percaturan
 global maupun tanah air, dan atau terkait dengan keduanya. Satu 
kesimpulan yang ia tarik: ada persoalan serius mengenai sistem global 
yang memengaruhi sistem nasional. Apa yang terjadi dalam sistem politik 
nasional memiliki kaitan dengan sistem politik global.
***
Isu globalisasi ini secara publik telah muncul sejak akhir 1980-an masa 
Orde baru. Hanya saja menjadi serius ketika Orde Baru rontok yang 
terjadi akibat krisis keuangan yang mula-mula mengenai Thailand pada 
1997 yang kemudian menyebar cepat bak virus ke negara-negara Asia 
Tenggara lainnya. Indonesia yang ekonominya dianggap macan Asia rubuh 
dalam waktu singkat. Globalisasi yang didengung-dengungkan sebelumnya 
tidak hanya mengawang-awang dalam pidato presiden, pejabat, kaum 
intelektual, tetapi riil dialami siapa pun hingga kaum melata pinggir 
jalan. Globalisasi yang sebelumnya tak ubah jargon yang tidak berwujud 
menjadi nyata, inderawi. Hanya saja globalisasi yang dialami masyarakat 
bukan globalisasi yang selalu positif. Globalisasi itu adalah air bah 
dalam bentuk inflasi melambung yang menggulung setiap sendi ekonomi, 
harga-harga barang melambung termasuk kebutuhan pokok. Akibat bawaannya,
 negara yang absolut itu renta, diikuti kerusuhan terjadi setiap sudut 
kota besar, penjarahan, pemerkosaan. Globalisasi, sistem keuangan 
global, kapitalisme global momok bagi setiap orang menjelang peralihan 
ke abad 21. 
Hari ini, globalisasi menjadi isu paling gencar. Bila tidak pada 
slogannya sebagaimana yang terjadi masa Orde Baru, globalisasi hari ini 
adalah praktiknya. Tiba-tiba harga-harga bawang putih, daging segar, 
harga cabe tiba-tiba melonjak di pasar tradisional yang banyak rakyatnya
 itu. Perusahaan nasional diakuisisi oleh perusaan asing secara 
bertubi-tubi. Harga jarum jahit dari China lebih murah daripada produksi
 pabrik di Tangerang atau Bangil, Jawa Timur.  Kasus semacam ini sulit 
terjadi pada masa Orde Baru. Pada sisi lain, informasi lewat internet 
sudah sedemikian bebas semenjak awal 2000 lewat akses internet. Kemudian
 komunitas bebas ASEAN 2015 dan disusul perdagangan bebas APEC. 
Globalisasi tidak lagi hadir dalam wicara. Globalisasi sudah hadir 
sebagai aksi. Sementara itu, secara umum pemerintah dan masyarakat 
negeri ini belum siap. Terlebih agenda-agenda gelap dari globalisasi, 
belum dibahas tuntas. Niko, perupa muda itu, masuk ke dalam isu-isu 
tersebut.
Sekalipun pada 1998, Niko—kala itu berusia 16 tahun—belum masuk pusaran 
isu tersebut tentu merasakannya di Padang, Sumatera Barat. Saat itu ia 
masih berada di bangku SMSR Padang. Pun ketika merantau ke Yogyakarta 
untuk menempuh pendidikan di ISI jurusan patung pada 2000, belum muncul 
perhatian mengenai isu-isu globalisasi sebuah sistem dan konsekuensi 
yang menyertainya. Perlahan namun pasti, di tengah kehidupan yang saling
 terkoneksi saat ini, Niko atau siapa pun, disadari atau tidak, terkait 
dengan isu ini baik setuju atau tidak. Hanya masalah pilihan saja untuk 
merespon globalisasi ini. Demikian juga posisi Niko sebagai seorang 
seniman dalam merespon globalisasi sebagai sebuah sistem global dan 
konsekuensi yang dibawanya. 
Kongkret globalisasi adalah peristiwa di bursa Wall Sreet New York 
berdampak di bursa efek Jakarta dan menimbulkan perubahan harga di 
Yogyakarta atau Menado. Keterkaitan satu sama lain dengan intensi yang 
tinggi dalam era komunikasi supercanggih dibanding 15 tahun lampau 
secara sukarela atau terpaksa membuat orang atau kelompok orang untuk 
memikirkan sekaligus terlibat topik koneksi global itu. Apalagi jika 
topik keterkaitan tersebut bukan keterkaitan yang setara, melainkan 
keterkaitan yang menekan bahkan mengeksploitasi pihak lain. 
 Pemikir-pemikir seperti Joseph Stigliz dan Noam Chomsky merupakan 
pengkritik terdepan model tatanan global saat ini. Globalisasi tidak 
lain bentuk kolonialisme tahap lanjut dengan polarisasi antara pusat dan
 pinggiran. Pusat bersifat memaksa, sementara pinggiran sifatnya 
menerima dengan terpaksa. Hubungan tidak adil ini yang menjadi latar 
belakang bagi negara-negara penentang Amerika Serikat seperti Iran, 
Venezuela, dan Korea Utara. Apa yang mereka perjuangkan atas dominasi 
Amerika tidak lain menolak segala tuntutan bahwa kebenaran selalu berada
 di tangan pusat. Kebenaran ini tidak berhenti di tingkat konsep, tetapi
 meresap dalam kebijakan-kebijakan yang sifatnya teknis dalam bidang 
ekonomi, politik, pertahanan, dan budaya. 
Polarisasi pusat-pinggiran dalam tatanan global ini memiliki riwayat 
yang bisa ditemukan dalam proses terbentuknya modernisme. Modernisme 
yang merupakan produk Barat abad 16 bersamaan dengan apa yang disebut 
sebagai era pencerahan. Era pencerahan merupakan sebuah masa di mana 
pemikiran memfokuskan pada manusia. Manusia dianggap menjadi titik 
berangkat sekaligus titik akhir dari serangkaian peristiwa di muka bumi 
ini. Alam dan simbol-simbol kehidupan yang menyertainya dalam periode 
modern ini tidak dianggap lagi. Pengetahuan yang berkait dengan alam dan
 simbol-simbol dikerangkeng dalam pengetahuan mengenai hal yang 
primitif.
Dampak keyakinan ini tentu saja sangat dasyat. Manusia harus berdiri 
sendiri sebagai manusia merdeka di muka bumi ini sebagai konsekuensi 
dari gagasan kemandirian itu. Manusia mesti menanggung segala sesuatunya
 atas dasar segala benar-salah dan baik-buruk berada di tangannya. Jika 
sejarah manusia dianggap takdir, maka dengan pandangan modernisme, 
sejarah adalah ciptaan dan torehan dari manusia sendiri. Sejarah menjadi
 sekadar jejak sekaligus catatan yang dibuat manusia  sendiri dengan 
segala penilaian yang diberikan oleh manusia itu sendiri. Dalam sejarah 
manusia tidak ada lagi peran tangan-tangan gaib yang mengarahkan 
perjalanan manusia. Manusia adalah riwayat yang ia bangun sendiri.
Apa yang kemudian menjadi dekat dengan manusia oleh keyakinannya untuk 
berdiri pada kemampuan akalnya: tragedi. Tragedi, sebab manusia dengan 
suka-dukanya adalah ia dengan dirinya sendiri. Tidak ada siapa pun yang 
berada di sekeliling manusia. Manusia berada sendirian di tengah-tengah 
alam, di tengah riwayat kehidupan yang gelap, dan masa depan yang tidak 
jelas. Dari sini manusia merumuskan, memetakan, dan menjelaskan siapa 
dirinya, bagaimana lingkungannya, dan apa yang harus ia lakukan di 
tengah-tengah alam raya ini.
Jika sebelumnya manusia menggunakan tanda-tanda alam atau cara berpikir 
tertentu  lainnya untuk membaca dan mengatur kehidupannya, dalam era 
modernisme tidak lagi. Sebagai manifestasi atas keyakinannya, rasio 
menjadi perangkat satu-satunya untuk menjawab segala persoalan yang ada 
di muka bumi ini. Akibatnya, alam bukan dipahami sebagai serangkaian 
simbol-simbol yang bermakna bagi manusia, melainkan alam adalah 
serangkaian materi yang bisa diurai dalam sekian rumus dan dieksploitasi
 sebesar-besarnya demi kepentingan manusia. Intinya, alam ditaklukkan. 
Caranya, pengembangan ilmu pengetahuan dan penggalakan penemuan 
teknologi. Kemampuan manusia dalam menyusun ilmu pengetahuan dan 
memproduksi perangkat teknologi itu serta merta memosisikan relasi 
manusia dengan alam sebagai subjek-objek. Manusia tidak lagi bersama, 
sebaliknya, manusia berhadapan dengan alam. Alam diterima sebagai 
entitas material yang harus ditundukkan.
Tahap modernisme yang dicirikan oleh keyakinan atas kemampuan rasionya 
sekaligus penaklukan alam, tidak selamanya diterima. Apa yang 
disebut-sebut sebagai era pencerahan telah menimbulkan berbagai dampak 
merugikan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Masa pencerahan 
yang ditandai tanggalnya keyakinan-keyakinan tradisional dengan 
keyakinan pada rasio. Pada rasio-lah peradaban manusia dipercayakan. 
Namun demikian, seperti tampak pada abad 20 modernisme menimbulkan 
perang yang melibatkan puluhan negara yang berakibat pembantaian atas 
nama ideologi, adu senjata nuklir hingga hari ini, kolonialisme, 
kapitalisme yang mencengkeram dunia, dan universalitas Barat yang 
menjadi model kehidupan global. Modernisme tidak luput dari kritik yang 
muncul dari dalam dirinya berupa kritik pada rasio yang terbayangi alam 
bawah sadar, bahasa bukannya tetap dalam mengemban makna melainkan 
goyah, ketertiban yang dibayangkan oleh pemikiran strukturalisme tidak 
bersumber dari dalam dirinya tetapi dari sesuatu yang justru berada di 
luarnya.
Dalam pengertian ini, manusia modern menjadi tragis oleh apa yang sampai
 saat ini ia capai. Manusia modern menyimpan di dalam keyakinannya 
berbagai hal yang justru disangkalnya. Manusia modern selalu diliputi 
keraguan yang berusaha ditepis atas keyakinannya untuk menggapai 
kebenaran, keteraturan, dan objektivitas. Kesemuanya itu dicapai lewat 
sebuah prosedur standar di mana pun dan kapan pun yang menjauhkan 
sesuatu yang subjektif, ketidakberaturan, kesalahan. 
Obsesi akan keseragaman muncul pada paruh kedua abad 20 yang sebelumnya 
ditandai tenggelamnya Soviet setelah Perang Dingin. Tergusurnya Soviet 
ini mengantarkan budaya Barat mendapat posisi kukuh di muka bumi. 
Struktur kekuasaan yang dilatari oleh kapitalisme global menjadikan 
segala hal bisa dipertukarkan tanpa memandang asal muasal entitas 
kultural masing-masing. Semua kultural dianggap sama dan harus bisa 
dipertukarkan di ranah sistem kapitalisme global. Siapa pun yang tidak 
sejalan dalam pola permainan ini dan menolak modus universalisme global 
serta merta dianggap menyimpang, aneh, dan lain. Dalam konteks global 
hari ini, mereka yang islam, komunis, sosialis merupakan perintang dari 
kesatuan dan kerataan universal (Jean Baudrillard, 2003). Demokrasi 
sebagai tatanan baku politik nasional, liberalisme sistem pasar sebagai 
pilihan satu-satunya, dan kebebasan sebagai semangat dari hidup yang 
benar hari ini.
Konsekuensinya, justru bukan kebebasan-demokratis-liberal yang muncul di
 wilayah-wilayah di luar Barat, melainkan kekacauan-oligarkhis-monopoli.
 Nation yang dibayangkan sebagai bentuk ideal modern atas bentuk 
tradisional yang berbasis pada puak dan adikodrati, justru jalan 
sistematis untuk memporak-porandakan bentuk ideal itu. Kita melihat 
individu menjadi massa pasif dalam jeratan sistem yang dibuat atas nama 
modernisme. Individu yang tercerahkan oleh rasionya hanya impian belaka.
 Individu lenyap dalam keriuhan lautan massa. Individu takluk dalam 
prosedur-prosedur kekuasaan yang abstrak sekaligus nyata, hadir secara 
fisik maupun dalam alam pikiran.
***
Di sinilah gagasan-gagasan dalam karya-karya Nico Rikardi bisa 
diletakkan. Karya-karya Niko baik karya dua dimensi maupun tiga dimensi 
dalam pameran ini merupakan sebuah proses antara perenungan gagasan dan 
bahasa visual yang telah dipilihnya. Dalam pameran ini karya-karya Niko 
menghadirkan figur-figur robot tidak sempurna, cacat. Ia mengeksporasi 
figur robot dengan idiom tengkorak, serpihan daging, ceceran darah, 
burung hitam dan putih, buku, pepohonan, dan tentu plat-plat besi. Plat 
besi menjadi idiom penting dalam proses kreatif Niko. Ini terlihat plat 
besi yang hadir pada robot pada ketiga karya dua dimensi maupun satu 
pada karya tiga dimensi dalam pameran ini. Bagi Niko, “Plat besi cukup 
mampu menggambarkan kesan artistik mengenai segala hal yang secara tidak
 langsung mengungkapkan sisi lemah manusia sebagai mahkluk ciptaan 
Tuhan, terutama pada bagian karatnya. Namun pada sisi lain, plat besi 
memiliki efek-efek lain seperti tekukan, lipatan, dan sebagainya yang 
merupakan kekayaan lain dari material besi yang cukup menantang untuk 
dieksplorasi, baik pada karya dua dimensi maupun tiga dimensi.” 
Tentu saja tidak mudah mempraktikkan pernyataan itu sebab plat besi 
selain rumit pengerjaannya untuk karya-karya tiga dimensi, watak 
material ini lebih sulit diasosiasikan dalam rasa artistik tertentu 
dibandingkan material lain, semisal kayu atau batu yang secara alamiah 
sudah memiliki barik tertentu di permukaannya. Sementara plat besi tidak
 punya dan lebih bersifat fungsional dalam dunia sehari-hari. Namun di 
tangan yang sudah terbiasa dengan medium ini, tidak terlalu sulit dan 
bisa memberi stimulasi berkarya. Niko semenjak menggunakan plat besi 
dalam berkaryanya telah memilih plat besi yang memiliki barik tertentu. 
Ia tidak menggunakan plat besi selain plat besi berbarik yang muncul 
dalam karya-karya pameran ini. Adaptasi yang sudah lama ia lakukan ini 
memudah Niko ketika membuat karya yang beranjak dari karya-karya optikal
 semata kepada karya-karya yang bertendensi pada gagasan tertentu. Ia 
mengeksplorasi idiom-idiom yang mewakili gagasan tertentu sebagai 
upayanya berdialog dengan audiensnya. Kali ini pilihan itu tepat dengan 
kecintaannya pada medium plat besi: robot. 
Robot-robot itu, sebagaimana hakikat robot sebagai produk teknologi, 
anonim. Sebagai sebuah produk robot ada sejauh fungsinya. Robot tidak 
lain simbol kemampuan fantastis manusia dalam menciptakan perangkat yang
 dilengkapi intelegensi artifisial yang mengambil model otak manusia 
untuk meniru pikiran. Namun demikian, robot tidak memiliki kemampuan 
mencipta sekaligus menghayati makna seperti halnya manusia. 
Robot-robot anonim tidak lain wujud kemampuan manusia dalam menciptakan 
perangkat canggih sepanjang sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dan 
teknologi. Dalam karya Niko robot menjadi simbol manusia sebagai 
penguasa bumi sekaligus simbol sistem atau tatanan masyarakat saat ini 
yang terorganisir sedemikian canggih yang justru memperdaya manusia itu 
sendiri. Alih-alih berperan dalam membantu manusia, sistem itu mengambil
 alih peran manusia secara tidak terkendali.
Robot-robot dalam warna monokrom yang anonim dan aneh karya Niko tampak 
mandiri dalam aktivitasnya yang ganjil. Figur-figur robot yang tidak 
memiliki ekspresi, mekanis namun sadis, bisu. Robot-robot yang kepalanya
 berwujud tengkorak, tangan sedang menggoreskan kuas pada tengkorak, 
kepala robot berupa baling-baling berputar, robot tanpa kepala, kepala 
dan punggung robot terlihat rangkanya. Robot-robot dalam situasi tragis 
tak tertanggungkan.
Robot-robot anonim karya Niko tidak menunjuk pada identitas tertentu 
sebagaimana robot-robot dalam seni rupa Indonesia, khususnya menjelang 
rubuhnya rezim Orde Baru. Robot-robot dalam karya instalasi atau pada 
karya tiga dimensi pada seni rupa waktu itu umumnya mengacu identitas 
kultural tertentu atau pada situasi khusus yang menautkannya dengan 
situasi politik. Karya-karya tersebut dibuat sebagai respon terhadap 
kekuasaan Orde Baru yang nyaris absolut. Karya-karya itu beragam caranya
 dalam merespon sistem kekuasaan. Ada yang mengejek sembari menertawakan
 sebagaimana pada instalasi patung beserta kemampuan elektronya, atau 
merespon dalam bentuk ratusan patung bisu di pantai atau di tebing 
sebagai saksi yang diam. 
Hal ini berbeda dengan karya-karya Niko yang dibuat setelah era pasca 
Orde Baru. Situasi pasca Orde baru persoalan tidak memusat pada satu 
sistem kuasa tunggal bersama aparatusnya. Sistem kuasa sekarang ini 
lebih bersifat abstrak, negosiatif, dan mondial tatkala negara 
menjalankan sistem demokrasi liberal bersama konsekuensinya. Ini seperti
 keyakinan Niko sendiri yang tidak percaya pada segala hal kecuali 
sistem yang telah mengambil alih segala sesuatu di muka bumi ini.   
Maka, karya-karya Niko dominan idiom-idiom robot anonim, mekanis, tak 
menyisakan rasa empati. Simak karya “Memutar Kepala” yang ganjil itu. 
Sebuah robot tengah memutar kepala berupa baling-baling besi yang 
disambung tangan. Robot itu duduk di atas tengkorak di antara 
puing-puing sebuah kecelakaan. Ada dua burung hitam bertengger dan di 
sisi robot terdapat tulang yang masih beserpih daging dan darah segar. 
Tengkorak dan tulang dalam balutan daging dan darah segar justru 
tersingkir. Justru yang eksis robot yang memutar kepalanya berupa 
baling-baling. Karya ini hendak mengatakan kemampuan manusia telah kalah
 dengan wujud tengkorak yang dibuat duduk robot. Manusia koyak dalam 
wujud daging tercabik dan darah tercecer.
Lihat lukisan “Di dalam di Luar Kepala”. Lukisan ini tidak mengesankan 
situasi mengerikan sekalipun dalam bidang kanvas itu muncul robot 
berkepala tangan sedang menggores kuas tengkorak dengan tinta darah yang
 terpajang di depannya. Darah dan daging berlepotan di sekitar robot 
yang sedang berdiri. Dalam lukisan tersebut sosok manusia tidak saja 
disingkirkan, malah dimutilasi sedemikian rupa menjadi benda tak 
berarti. Manusia tiada artinya daripada robot tanpa kepala yang 
menguasai ruang dan mengendalikan segala sesuatu di luar dirinya. 
Manusia hilang arti lantaran manusia tinggal cerita menjadi seonggok 
tengkorak, daging teserpih, darah terciprat, tulang terpotong-potong. 
Robot itu memang tidak memiliki empati. Ia dingin memperlakukan manusia 
secara mekanis yang justru menimbulkan kesan jijik teramat sangat. 
Dalam lukisan “Bersarang” tidak kalah anehnya. Situasi tragis menjadi 
kesan utama dalam karya ini. Figur robot, lagi-lagi tak berkepala, kini 
muncul batangan besi-besi yang tumbuh dari leher maupun dari ujung 
tangannya. Pada besi-besi itu tertancap tengkorak-tengkorak dan otak 
yang masih segar. Sementara daging segar tercecer di puing-puing 
reruntuhan besi. Dua burung hitam datang menuju arah otak segar 
tertancap. Tengkorak-tengkorak itu telah terpisah dari organ tubuh 
lainnya bahkan tertancap cukup dalam ke batang besi robot. Otak segar 
telah keluar dari tengkoraknya. Dengan latar belakang reruntuhan 
bangunan yang dominan besi, karya ini memberi dorongan yang kuat pada 
situasi tragis tak berpengharapan. Manusia telah kalah.
Pada karya instalasi patung berjudul “Ritual” eksekusi gagasan yang Niko
 inginkan diwujudkan secara maksimal dalam karya ini. Dalam ukuran yang 
besar untuk karya dalam ruang, karya ini secara utuh mewakili gagasan 
Niko mengenai sistem global sekarang tepat mengenai jantung 
persoalannya. Sebuah lengan eksavator keluar dari balik tembok yang 
ambrol. Ujung dari lengan eksavator itu bukan alat keruk dari baja 
tetapi tengkorak manusia yang berfungsi alat keruk pada rongga mulutnya 
yang menganga. Ukuran antara tengkorak dengan lengan eksavator tampak 
sepadan. Hanya saja, badan tengkorak itu jauh lebih kecil dibanding 
ukuran tengkorak. Tragisnya, selain tidak proporsional dalam hal ukuran,
 posisi kepala mendongak sementara posisi badan membungkuk, tepatnya 
bersujud. 
Apa yang muncul pertama kali saat mengamati karya ini: tragik. Karya ini
 secara otomatis menyodorkan pesannya. Tengkorak sebagai pusat organ 
kehidupan manusia yang biasanya diperlakukan secara terhormat karena 
penting justru diletakkan dalam posisi yang amat direndahkan. Tengkorak 
itu tidak ubahnya alat keruk tanah, sampah, atau material  keras lain 
yang sulit dikerjakan manusia karena kotor atau sulit. Bukan hanya pada 
apanya yang dikeruk, tetapi fungsinya sekadar alat keruk yang menyodok 
penglihatan pada karya “Ritual”. Sedemikian manusia telah diperdaya dan 
diperbudak oleh sesuatu yang tidak terlihat ujung pangkalnya kecuali 
lengan-lengan perkasa nan tak tertandingi yang muncul mendadak dari 
balik tembok dengan cara menjebolnya. Karya ini menjadi simbolisasi yang
 tepat mengenai hilangnya kemerdekaan manusia hari ini di tengah 
semangat kebebasan gegap-gembita yang dikobarkan sekaligus diperjuangkan
 manusia sepanjang abad 20. Kebebasan itu lenyap justru oleh sistem yang
 dicita-citakan akan membawa tiap manusia kepada kebebasan itu sendiri. 
Tragik! 
Jakarta, April 2013***
NICO RICARDI’S TRAGIC FIGURES
By Imam Muhtarom
Both the two and three-dimensional works of Nico Ricardi show continual 
developments. Nico began his painting career with visual ideas that are 
optical in nature. His canvases used to show objects that generate 
optical amazement in the viewers. The depicted objects play games with 
the weak points of human sight whenever facing things contrary to its 
habitual actions in perceiving. Illusion, which is intrinsic to our 
eyes, is modified or even led astray so that perceptional bewilderment 
takes place from there. The habit of the eyes of catching objects that 
have corners, surfaces and hidden parts is challenged by the 
simultaneous presence of them. In effect, our perception that is already
 made normative by what we see daily is bewildered by the experience of 
unusual sighting. Nico immersed himself so deeply in this uncommon 
perceptional game. He used to make works based on just optical ideas. In
 this early phase of his career Nico didn’t give importance to thematic 
aspect let alone any big theme regarding the most current situation of 
humanity. In this phase figures hadn’t entered his canvases yet. 
In sculpture the inclination toward weighty ideas and themes around 
humanity was not very serious yet. He busied himself with bringing 
together objects to form figures out of them. He didn’t care if those 
figures would make a series of ideas around some particular sense or 
not. His skill to weld together objects of used metal parts of 
motorbikes and other things used to be his only motivation to accomplish
 a sculptural work. So his three-dimensional works of sculptures made 
from various kinds of discarded metal objects have the strong sense of 
being craft pieces rather than imparting signification. 
In his final assignment exhibition at the Indonesian Institute of the 
Arts in Yogyakarta, in 2009, he showed his impressive ability to put 
together discarded parts of motorbikes such as the chain, fuel tank, 
machinery, framework, nut, wire and few additional materials for making 
artworks. The exhibition presented a series of vivid sculptures made 
from various objects that he found in such different places as 
workshops, storerooms, and even bins. These sculptures, mostly dark 
colored, feature unique forms. One of them, called “Aku dan 
Anjingku”/”Me and My Dog”) presents a robot-like figure with a dog. The 
sculpture looks pugnacious with the dog barking. With the exhibition 
Nico also demonstrated his talent as a sculptor with promising 
technique. Using simple and limited amount of materials he was able to 
create a sculpture of a Japanese warrior equipped with his typical 
sword. Although being made from minimal materials, the sculpture manages
 to attain its maximal appearance. It is a sculpture showing a typical 
Japanese warrior with a sword in his hand ready to sway. 
In 2009 robotic figures began entering Nico’s paintings “Pose” and 
“Terikat Tubuh”. The two paintings are monochromatic. The robot in 
“Pose” – very possibly a male – is seated comfortably. Aside from the 
robotic figure there is not any other thing explainable in the canvas. 
Yet the rust on the joints and main joints betray metal and wires that 
suggest that the figure is a robot. This painting of a robot doesn’t 
suggest any particular signification. Viewers are only presented with a 
depiction of the robot that can pose like a human, just that. 
The painting called “Terikat Tubuh” is different. It features a robotic 
figure, still monochromatic, and it seems suggestive of some intended 
meaning or significance. We don’t know why the robot wants to rebel. 
Anyway the figure seems to try to break free from “the body” that is 
also tied up. Nico introduces the idea that the robot doesn’t only pose 
like a human, while previously such was the main goal of the sculptures 
he’d made. 
Nico’s works shown in the current exhibition are traceable to the 
painting “Terikat Tubuh”. His robotic figures have transcended 
themselves toward broader significance. They did not stop and stand 
still as physicality. There in canvases they are struggling to break 
free from their nature as robots by transforming into symbols of the 
most current human conditions.
In 2009 Nico showed some change particularly regarding his socializing 
and reading. He kept taking part in discussions and sometimes group 
exhibitions with the Sakato group, a group of artists originating from 
Padang, West Sumatra, who live in Yogyakarta. The members often meet to 
discuss things together, gossiping, and, more importantly they support 
each other to live their lives as artists in Yogyakarta. The Sakato 
community, in addition to the Indonesian Institute of the Arts in 
Yogyakarta (ISI Yogyakarta), has shaped Nico’s artistic manner, stance, 
and choices. Sakato group contributes significantly to the members’ 
discoveries of personal visual idioms, and particularly so in Nico’s 
case. With Sakato group Nico searched for unique visual forms without 
referring to any specific ethnic-group cultural values. 
Yet Nico always felt that it hadn’t been enough. He widened his 
socializing scope. He began mixing with people from outside the art 
world too. He began familiarizing himself with discussion and reading 
around globalization issues and their consequences. In turn his interest
 in such issues led him to access writings on current global issues as 
well as social and political conditions of his country. Slowly but 
obviously Nico’s social and political perspective was being shaped. He 
had his opinion regarding global as well as national developments, and 
different issues connected to them. One among the conclusions he drew 
was that there was a serious issue concerning the global system that 
affects the national system. Matters going on in the national politics 
have connection with global political system. 
***
The issue of globalization was already public in the late 1980s of the 
New Order period in Indonesia. Yet it only gained gravity as the 
Indonesian New Order regime collapsed due to the monetary crisis 
initially striking Thailand in 1997 then swiftly spreading like a virus 
to other Southeast Asian countries. Indonesia whose economy had been 
regarded as an “Asian tiger” crumbled in no time. Globalization had been
 thunderously talked about not only in sky-high speeches of the 
president, ministers and intellectuals but also experienced in the daily
 reality of people including those crawling by the roadside. 
Globalization that had once represented an intangible jargon became 
real, concrete. Yet the globalization the people were to undergo was not
 necessarily always positive. It was a flood of soaring inflation rates 
that swept away economic bases and rocketing prices of goods including 
basic commodities. As a result the absolute state was withering and 
concomitantly in big cities riots, looting and rapes were rampant. 
Globalization, global monetary system, and global capitalism haunted 
everyone by the turn of the century to the 21st. 
Today globalization is the most charged issue. While it doesn’t’ come in
 slogans and discourses as it did during the New Order times, 
globalization prevails as practice today. All of a sudden prices of 
garlicky, fresh meat, and chili sold in the people’s traditional market 
could just soar.  A series of national corporations got acquired by 
foreign companies. A sewing needle from China is cheaper than the one 
produced in Tangerang in West Java or Bangil in East Java. Such a case 
wasn’t very likely during the New Order times. Meanwhile information 
flow through the Internet has been so free and convenient since early 
2000 thanks to the Internet access. Then came the ASEAN Free Community 
2015 to be followed by the APEC’s free trade. Globalization is present 
not in speeches any longer. Globalization has been here as action. Yet, 
broadly, the Indonesian government and the people are not quite ready 
yet for it. Moreover, hidden dark agendas of globalization are still 
waiting for some thorough explication. Nico the young artist plunges 
into such issues. 
Although in 1998 Nico – sixteen-years old then – wasn’t yet involved in 
pondering on such issues, he had to be affected by the impacts back then
 in Padang, West Sumatra. At that time he was still a student of the 
Senior Secondary School for Art in his hometown. And even when he 
already went to Yogyakarta in 2000 to further his formal education at 
the Indonesian Institute of he Arts there, majoring Sculpture, he had no
 interest in the globalizing of a system and the concomitants. Slowly 
but surely, amid the interconnection of different sectors of life then, 
Nico, as anyone else, was implicated by such issues whether he was for 
or against them and no matter whether he was aware or not of the 
implications. It’s only a matter of choice whether one gives response or
 not to globalization. So is Nico’s position as an artist vis-Ć -vis 
globalization as a global system with its consequences. 
In concrete terms globalization is an occurrence in Wall Street Stock 
Exchange in New York having impact on Jakarta stock exchange and 
resulting in changing prices in Yogyakarta or Manado. Intensive 
interconnectedness in an age of sophisticated communication in relative 
to the situation in 15 years ago necessarily makes individuals or groups
 think of and get involved in the topic of global connection. The more 
so when it comes to unequal connection but one in which one party 
presses and exploits the other. Thinkers as Joseph Stigliz and stand as 
the foremost critics of the current global order. Globalization is but a
 form of advanced colonialism involving center-periphery polarization. 
The center is imposing while the periphery is characterized by reluctant
 acceptance. Such unfair relationship has become the background for 
countries like Iran, Venezuela and North Korea to oppose USA. When they 
struggle to resist USA’s domination they actually take a stand against 
the claim that the center is always right.  In this regard, what’s right
 doesn’t only concern the conceptual level but also its implied 
technical policies in economy, politics, defense and culture. 
The center-periphery polarization in the global order can be traced back
 to the formation process of modernism. Modernism is a product of the 
sixteenth-century West in simultaneousness with the so-called era of 
enlightenment. The era marks the focusing of thoughts on the human 
being. Human was regarded as the starting point and at once the end of 
series of events on the earth. Nature and symbols of life that go with 
it was no longer attended to in this modern period. Knowledge about 
nature and symbols were caged and labeled as knowledge about the 
primitive. 
The impact of such belief is of course very serious. The human being has
 to be self-sustaining as a free being on earth as the consequence of 
such idea of independence. Humans have to be responsible for everything 
because all right-and-wrongs and good-and-evils are but in their hands. 
In modernism the human history is regarded as human’s own creation 
rather than something predestined. History becomes mere traces and notes
 that humans made according to their own evaluation. The roles of 
invisible hands in directing human’s journey are simply erased. 
Humankind is a self-made story. 
What becomes increasingly nearer to humans with their conviction of the 
all-reliability of their own reason is tragedy. It is so because humans 
with their highs and lows in life only have themselves. Nothing or no 
one else is there around them. They are alone amid nature, amid the dark
 history of life, facing an indistinct future. In such a setting humans 
formulate, chart and explain who they are, the nature of their 
environment, and what they should do in the universe. 
While earlier people had used to consider signs given by nature, or use 
some other way of reasoning to ‘read’ and manage their life, in the era 
of modernism they didn’t do it any more. Rationality became the only 
instrument to answer all emerging questions anywhere on earth. It 
follows that nature was not perceived as a series of symbols significant
 to humans but, instead, as materials explainable by formulas and 
exploitable to maximally serve human needs. Nature was conquered. It was
 achieved through the development of scientific knowledge and 
encouragement of technological discoveries. The ability to construct 
scientific knowledge and to produce technological means necessarily 
rendered human-nature relatedness as a subject-object relationship. 
Humans were no longer with nature but against it. Nature was taken as a 
material entity to conquer. 
Modernism marked by the belief in reason and the conquest of nature was 
not acceptable all through the time. The so-called enlightenment era has
 resulted in a lot of harmful impacts previously unthought-of of. The 
era saw the abandonment of traditional faiths to be replaced by the 
belief in reason. It was to reason that human civilization was 
entrusted. 
Yet in the twentieth century modernism was responsible for wars that 
involved dozens of states leading to massacres in the name of 
ideologies, the nuclear weaponry competition going on through today, 
colonialism, capitalism clasping the whole world, and the Western 
universality serving as the model of the global life. Modernism is not 
free from internal criticism of reason that is haunted by the 
subconscious; language is not constant but unstable in its signifying; 
the order as conceived by structuralism originates not from itself but 
from something just external to it. 
In such perspective modern people look tragic jus because of what they 
have achieved so far. Modern people keep in their minds various things 
they deny. Modern people always have doubts that they try to keep off 
for the sake of achieving what they think is right, orderly and 
objective. They pursue it anywhere and any time through some standard 
procedure that fences off anything subjective, disorderly, and not 
right. 
Obsession of uniformity emerged in the second half of the twentieth 
century following the post-Cold-War collapse of the Soviet Union. The 
passing Soviet Union opened the way for Western culture toward a firm 
position on earth. A power structure against the backdrop of global 
capitalism has made everything exchangeable regardless their 
cultural-entity origins. In the realm of global capitalism all cultures 
are regarded the same and they are supposed to be exchangeable. Anyone 
not in accordance with such pattern of the game, and resistant to the 
mode of global universalism, is necessarily taken as perverse, peculiar.
 In today’s global context those who are moslems, communists and 
socialists obstruct universal unity and flatness (Jean Baudrillard, 
2003). Democracy is the standard order of national politics, liberalism 
of the market system the one and only choice, and freedom the right 
spirit of life today. 
In consequence not liberal-democratic-freedom is emerging in off-West 
regions but chaos-oligarchy-monopoly instead. Nation that is conceived 
as the modern ideal form, out of the traditional form based on tribal 
groups supernatural in nature, turns to be just the systematic way to 
dismantle the ideal form. We witness individuals turn to into passive 
masses entrapped in a system built in the name of modernism. Individuals
 enlightened by reason are but a dream. The individual disappears in the
 ocean of masses. The individual surrenders to the procedures of 
abstract and at the same time concrete power present both physically and
 mentally. 
*** 
In such framework of background ideas we can position Nico Ricardi’s 
works. The two- and three-dimensional works shown in this exhibition 
represent a process of his reflection of ideas and decision on visual 
language/idiom to adopt. Here are his works that feature imperfect, 
defective figures of robots. The artist explores robotic figures 
incorporating the idioms of the skull, flesh slivers, spills of blood, 
black and white birds, the book, plants and trees, and of course iron 
plates. The iron plate provides a major idiom in Nico’s process of 
creating. This is apparent in the iron plates as seen in the robots 
depicted in the three of the two-dimensional works and in one of the 
three-dimensional pieces on exhibition. For Nico, “The iron plate is 
quite effective for conveying the artistic sense of everything that 
indirectly expresses the weak points in humans as God’s creations, and 
this is particularly with regard to rustiness. Yet, in addition to that,
 the iron plate has other effects to offer such as bends and folds that 
form some of the versatility of iron as a material challenging to 
explore, for both two- and three-dimensional works”. 
Naturally it is not easy to put those words into practice because the 
iron plate is far from easy to handle for making three-dimensional 
works. Besides, its very nature makes it hard to evoke association in 
some particular artistic sense, in comparison with such other materials 
as wood or stone that by nature already have textures on the surface. 
The iron plate doesn’t have them, and it is more functional in daily 
life. Yet in the hands of one who is familiar with it as a medium it is 
not too difficult to handle and it can even be stimulating. Ever since 
he began adopting the metal plate as a material for his works Nico has 
always picked Iron plates that have some certain textures. He only uses 
iron plates with textures as can be seen in his works on exhibition 
here. Long experience in adapting the material makes it easier for Nico 
to create works that go beyond ‘merely optical’ ones and have the 
tendency toward specific ideas. He explores idioms representing certain 
ideas in his attempt to build dialogues with his audiences. His choice 
goes very well with his love for the iron plate: the robot. 
Robots in his works, just as the nature they have as technological 
products, are anonymous. As a product the robot is there for its 
functions. The robot is but a symbol of human’s fantastic ability to 
produce an instrument equipped with artificial intelligence modeled 
after the human brain to imitate human thinking. Anyway the robot 
doesn’t have the ability to create and to perceive meanings the way 
humans do. 
Anonymous robots are but a manifestation of humans’ ability to invent 
sophisticated instruments throughout the historical development of 
science and technology. In Nico’s works the robot becomes a symbol of 
the human being as the ruler of the earth and at once a symbol of 
today’s social system or order that is so sophisticatedly organized that
 it just deceives the human being. Rather than functioning to help human
 beings, the system takes over human’s role uncontrollably 
Nico’s monochromatic robots, which are anonymous and peculiar, look 
independent in their strange activities. They are expressionless, 
mechanical but sadistic and mute. They are robots with heads of mere 
skulls, hands applying the paintbrush on the skulls, with the head of a 
rotating propeller, the headless robot, and the robot whose head and 
back show their skeletal structures. They are robots in an unbearably 
tragic situation.  
These anonymous robots in Nico’s works do not point at any specific 
identity as do robots in Indonesian art, particularly by the time of the
 New Order regime’s collapse. Back then robots in installations and 
three-dimensional works largely allude to some specific cultural 
identity or to some particular situation that has connection with 
political situation of the times. Such works were made as responses to 
the power of the New Order that was almost absolute. Those works respond
 to the power system in various modes. Some are sneering as seen, for 
example, in a sculptural installation, and there was a work that gives 
response in the form hundreds of silent statues of human figures on the 
waterside or steep bank. 
Nico’s works made in the post-New Order era are different. In the 
post-New Order era issues are not centered on just a despotic power 
system and the apparatuses. Today’s power system tends to be abstract, 
negotiation-based and worldwide as the state implements liberal 
democracy with all its consequences. This is in line with Nico’s 
position of not trusting everything but the system that has taken over 
everything on earth.
So in Nico’s works the robots are anonymous, mechanical, and lacking 
empathy are dominant. Consider for instance the work “Memutar Kepala”. A
 robot is turning its head of an iron propeller with the extensions of 
hands. The robot is seated on skulls amid ruins left by some accident. 
Two black birds perch and next to the robot are bones with pieces of 
flesh and fresh blood. The skulls and the bones with pieces of flesh and
 fresh blood are rendered secondary. Primacy is given to the robot 
turning its propeller head. The work seems to suggest ho human’s ability
 and power is supplanted by the skull where he robot is seated. The 
human being is tattered to pieces of flesh and spills of blood. 
And there is the painting called “Di dalam di Luar Kepala”. It doesn’t 
offer any horrible atmosphere although there is the depiction of the 
robot with a head of hand applying the ink of blood with a paintbrush on
 a skull. Blood and flesh is here and there around the standing robot. 
In the painting the human figure is not only cast aside but also 
mutilated to the extent that it becomes insignificant things. The human 
being is nothing in the presence of the headless robot that controls the
 whole space and everything external to it. Humans have lost 
significance because they are but a story of a heap of skulls, pieces of
 flesh, spills of blood and fragmented bones. Indeed the robot doesn’t 
have empathy. It treats humans coldly and mechanically to an extremely 
sickening extent. 
The painting “Bersarang” offers no less weird an atmosphere. A tragic 
situation is what the work mainly conveys. The robotic figure, again 
headless, now shows iron bars sprouting and growing from its neck and 
tips of hands. On the tips of those iron bars are skulls and brains. 
Fresh pieces of flesh are scattered by the ruins of some iron structure.
 Two black birds are approaching the brains on the tips of the iron 
bars. The skulls are already separated from other parts of the body, and
 they are even pierced deeply by the robot’s iron bars. Fresh brains are
 already outside the skulls. Showing the background of the ruins of some
 construction predominantly of iron, the painting forcefully suggests a 
tragic situation that is without hope. Human beings are already 
defeated. 
Nico’s sculptural installation “Ritual” marks a maximal realization of 
what the artist has in mind. For a work designed for the interior, it 
can be considered big-sized. The installation fully represents Nico’s 
idea of the current global system, and it touches the heart of the 
matter. An excavator’s arm is emerging from behind a crumbling wall. On 
the tip of it is not the typical steel scraper but a human skull that 
serves as a scraper with the cavity of its mouth. The size of the skull 
seems to be in the appropriate proportion to the of the excavator’s arm.
 Yet the body is much smaller than the skull. Tragically, in addition to
 the disproportion, the position of the head is looking upward while the
 body is bending low. 
The first impression given by the piece is that of something tragic. 
This work immediately conveys its message. The skull as the center of 
living human’s organs, conventionally treated respectfully, is given a 
debased position. It is as if the skull was not different from a tool to
 scrape soil, wastes, and other hard materials inconvenient to deal with
 manually because they are filthy and trying. The point is not only what
 to scrape by the skull but also the lowly function ascribed to it. 
 Human beings have been deceived and enslaved by something with 
invisible head and feet, save its all-powerful, unequaled arms suddenly 
emerging from behind the wall by shattering it. This work, “Ritual”, 
aptly symbolizes the vanishing of today’s human beings amid the euphoria
 of freedom kindled and fought for throughout the 20th century. The 
freedom vanished just because of a system aspired to lead individuals to
 freedom. How tragic!
Jakarta, April 2013***
ART WORKS
curriculum vitae
Born : Surian (Sumatera Barat), 3 May 1982
  Solo Exhibition :
2013  
  Figur-figur Tragik Niko Ricardi, Emmitan CA Gallery, Surabaya
  Group Exhibitions :
2010  
  Pameran “Green Carnival” Bazaar Art ,The Ritz-Carlton Jakarta Place
  Pameran “Bakaba” Komunitas Seni Sakato Jogja Nasional Museum, Yogyakarta
2009  
  Pameran “UP to HOPE” Gallery D’peak Art space, Jakarta
  Pameran “Indonesia Art Festival” Bazaar Art ,The Ritz-Carlton Jakarta Place
2008  
  Pameran “FANTASIA” at Emmitan CA Gallery, Surabaya
  Pameran “SALON YOGYA” CG Art Space, Plaza Indonesia, Jakarta
  Pameran “A BEAUTIFUL WORD” V- Art Gallery, Yogyakarta
  Pameran “SURVEY” Edwin's Gallery, Jakarta
  Pameran “KOMEDI PUTAR” Jogja Gallery, Yogyakarta
2007 
  Pameran “SHANGHAI ART FAIR” Shanghai, China
  Pameran “HERE WE COME” Sangkring Art Space, Yogyakarta 
  Pameran “PORTOFOLIO” (1st
  Anniversary of Jogja Gallery) Yogyakarta
  Pameran “BOENG AJO BOENG” (tafsir ulang nilai-nilai Affandi) Bentara Budaya, Yogyakarta
  Pameran “EKSISTEN” Jogja Gallery, Yogyakarta
  Pameran “SPACE TEST TRIBUTE TO YOUNG ARTIST” Sangkring Art Space, Yogyakarta
2006  
  Pameran “ART FOR JOGJA” Taman Budaya Yogyakarta 
  Pameran “JALIN BAPILIN“ (Mahasiswa Minang ISI Yogyakarta), Benteng Vredeburg, Yogyakarta 
  Pameran “HOMAGE 2 HOMESITE (Kembali ke Gampingan) Jogja Nasional Museum, Yogyakarta 
  Pameran ”RICARICARI SCULPTURE” Student Centre UNS Surakarta 
2005  
  Pameran “STILL LIFE”, Vanessa Gallery, Jakarta  
  Pameran “ART FOR ACEH,” Taman Budaya, Yogyakarta  
  Pameran “AYO NGGUYU” HUT, Bentara Budaya, Yogyakarta
  Pameran “KOTAKATIKOTAKITA” Fky XVII, Taman Budaya Yogyakarta 
  Pameran “DIESNATALIS” ISI Yogyakarta 
  Pameran “JAGAT GALERI AKADEMI” Museum Ulen Sentalu Kaliurang, Yogyakarta 
2004  
  Pameran “PEKSIMINAS” VII Yogyakarta dan Lampung 
  Pameran “BARCODE” Fky XVI Taman Budaya Yogyakarta 
  Pameran “MEMPERTIMBANGKAN TRADISI” (Perupa Minang Se-Indonesia) Galeri Nasional Jakarta
2003  
  Pameran Sanggar Sakato, Langgeng Gallery, Magelang
  Pameran”BIF” Open Air Gallery, Magelang
  Pameran “REPLAY” FKY XV Taman Budaya Yogyakarta 
  Pameran “INDOFOOD ART AWARD” Galeri Nasional Jakarta 
2002  
  Pameran FKY.XIV. Taman Budaya Yogyakarta 
2001  
  Pameran “GELAR SENI ALAM RAYA” Dies Natalis XXIV Sasenitala ISI Yogyakarta
Awards :
2000  
  Karya Lukis terbaik SMSR Padang 
  Juara III Lomba Poster Kesehatan SMK Se-Sumatera Barat
2003  
  Finalis “INDOFOOD ART AWARD” 
2004  
  Karya terbaik “PEKSIMINAS” VII Yogya/Lampung





 




 
 


0 comments:
Post a Comment