FIGUR FIGUR TRAGIK NIKO RICARDI
INVITATION
We are cordially invite you to attend
FIGUR FIGUR TRAGIK NIKO RICARDI
Solo Exhibition by Niko Ricardi
Opening :
Sunday, 2 June 2013, on 19.00 pm
Officiated by :
FREDDY H. ISTANTO
Exhibition Curator :
IMAM MUHTAROM
at
Emmitan Contemporary Art Gallery
Jl. Walikota Mustajab 76, Surabaya 60272, Indonesia
Exhibition will last until 12 June 2013
For more information please contact
T. +62 31 5466611, 5477711
F. +62 31 5457185
Contact : hendrotan +62 81 2311 2311
email : artemmitan@yahoo.com
http : www.emmitancagallery.com
Pengantar Galeri
Niko Ricardi adalah seorang seniman muda kelahiran Padang dan sekarang
menetap di Jogjakarta untuk berkarya, saat ini sebagai seniman eksklusif
Emmitan Contemporary Art Gallery, pertama kali saya mengenal karya dua
dan tiga dimensi Niko Ricardi sangat menarik dan saya terkesan dengan
gagasannya yang berbentuk bebas mendekati atmosfer “aneh” yang mencekam
yang selalu menyertai kreativitas kekaryaannya.
Karena itu, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Niko Ricardi atas
kesiap-sediaannya untuk menghelat pencapaian terbarunya di pameran ini.
Terima kasih juga kepada kurator Imam Muhtarom yang telah merancang by
proses-gelar pameran ini hingga terlaksana dengan lancar.
Selain itu, saya tak lupa mengucapkan terima kasih kepada Bapak Freddy
H. Istanto atas kesediaannya meresmikan pameran ini. Begitu juga kepada
rekan-rekan media massa, kolektor, pecinta seni rupa, dan semua pihak
yang telah berpartisipasi dalam pameran ini. Terima kasih.
Emmitan Contemporary Art Gallery
hendrotan***
The Gallery’s Introducion
Niko Ricardi is a Padang-born young artist currently based in
Yogyakarta. He is at this time an Emmitan Contemporary Art Gallery’s
exclusive artist. When I first saw his two- and three-dimensional works I
was very much impressed by his ideas that have the quality of somewhat
gripping bizarreness unfailingly characterizing the artworks he creates.
I would like to express my thankfulness to Niko Ricardi for his
readiness to show his latest achievements in the current exhibition.
I am also thankful to Imam Muhtarom the curator for his by-process
designing of this exhibition. My thanks also go to Mr. Freddy H.
Istanto for his kind willingness to give this exhibition its official
opening. I also heartily appreciate the attention and participation of
our friends from the media, art collectors, art enthusiasts, and all
parties involved in this exhibition program. Thank you.
Emmitan Contemporary Art Gallery
hendrotan***
FIGUR-FIGUR TRAGIK NIKO RICARDI
Oleh Imam Muhtarom
Karya-karya Niko Ricardi baik untuk karya dua dimensi maupun tiga
dimensi memperoleh perkembangan terus-menerus selama proses kreatifnya.
Pada karya awalnya Nico menggeluti kanvas dengan ide-ide visual yang
optikal. Ia mengolah bidang kanvasnya dengan objek-objek yang
menimbulkan ketakjuban optis. Objek-objek yang hadir mempermainkan
kelemahan mata ketika menjumpai objek yang bertentangan dengan kebiasaan
mata melihat objek. Sifat ilusi yang tertanam dalam mata diubah atau
malah disesatkan sehingga menimbulkan keterkejutan persepsi. Kebiasaan
mata yang menangkap objek yang membentuk sudut, permukaan, bagian yang
seharusnya tersembunyi, justru hadir dalam keserampakan. Akibatnya,
persepsi mata yang terlanjur normatif oleh penglihatan sehari-hari
dikejutkan oleh tangkapan mata ini. Niko demikian asyik dengan permainan
persepsi yang tidak lazim ini. Ia benar-benar membuat karya dengan
alasan yang bertumpu pada ide-de optikal. Tak lebih dari itu. Pada fase
ini Nico tidak mementingkan aspek tematik, apalagi tema besar terkait
dengan situasi kemanusiaan terkini. Pada fase ini figur-figur belum
masuk ke dalam lukisannya.
Pada karya patungnya, kecenderungan menggarap gagasan dengan tema-tema
berat terkait kemanusiaan belum begitu serius. Ia lebih menggeluti
keasyikannya merangkai benda-benda sehingga membentuk figur. Apakah
figur-figur itu nantinya membentuk rangkaian ide terkait makna tertentu
tidak ia pedulikan. Kemahirannya menyusun benda-benda dari berbagai
logam sisa motor atau logam sisa apa pun dengan cara las menjadi
dorongan satu-satunya ia menyelesaikan karya. Maka, karya-karya tiga
dimensinya berupa patung dari bahan-bahan logam sisa lebih pada aspek
craft daripada memiliki maksud yang lebih luas.
Kemampuan menyusun logam bekas onderdil sepeda motor berupa rantai,
tangki bensin, mesin, rangka mesin, mur, kawat, dan sedikit material
tambahan lain dapat dilihat pada pameran dalam rangka tugas akhir
kuliahnya di ISI Yogyakarta pada 2009. Patung-patung yang tersusun atas
beragam material yang ia temukan di berbagai tempat semisal bengkel,
gudang, atau bahkan di tempat sampah berhasil ia susun menjadi
serangkaian patung yang “hidup”. Patung-patung itu yang warnanya dominan
gelap memberi serangkaian bentuk yang unik. Patung berjudul “Aku dan
Anjingku” yang membentuk serupa robot beserta binatang anjingnya.
Terlihat patung itu galak, terlebih dengan anjing dengan mulut menyalak.
Tidak terbatas itu saja, pada pameran tersebut Niko memperlihatkan
bakatnya sebagai pematung dengan teknik yang memiliki masa depan. Dengan
menyesuaikan materi yang sederhana dalam jumlah terbatas, ia berhasil
menyusun patung seorang pendekar ala Jepang lengkap samurainya.
Sekalipun patung tersebut dibuat dengan materi minimal, karya itu dapat
tampil secara maksimal. Sebuah patung ala Jepang dengan samurai siap
ayun di tangannya.
Pada 2009 figur robot-robot mulai masuk dalam kanvas Nico, yaitu lukisan
“Pose” dan “Terikat Tubuh”. Kedua lukisan ini masih dengan keasyikannya
lewat warna monokrom. Lukisan robot pada lukisan “Pose”—kuat
kemungkinan lelaki—sedang duduk dengan santainya. Tak ada penjelas lain
kecuali figur robot itu di dalam bidang kanvas. Hanya saja, lewat karat
pada sendi-sendinya, juga lewat persendian utamanya, tampak susunan
logam-kabel yang bergelibat, menunjukkan figur tersebut robot. Lukisan
robot ini tidak menyarankan kepada pemaknaan tertentu. Kita hanya
disodorkan pada sebuah robot yang bisa berpose ala manusia, tak lebih
dari itu.
Beda halnya dengan lukisan “Terikat Tubuh”. Lukisan ini berupa figur
robot tetap dalam warna monokrom memberi kesan dengan makna tertentu.
Kita tidak tahu keinginan memberontak pada figur robot tersebut
disebabkan oleh apa. Hanya saja, robot itu menampakkan upaya untuk
melepaskan diri dari ikatan “tubuh” yang juga terikat oleh belitan
kawat. Niko memberi arti pada lukisannya bahwa figur robot tidak cuma
berpose ala manusia yang menjadi tujuan utama patung-patungnya yang ia
buat sebelumnya.
Pada lukisan “Terikat Tubuh” karya-karya Niko dalam pameran ini
memperoleh jejaknya. Robot yang tidak berhenti pada dirinya sendiri,
tetapi robot beserta jaringan maknanya yang meluas. Robot-robot itu
tidak berhenti sebagai aspek fisiknya belaka. Robot-robot dalam kanvas
itu bahkan berupaya keras lepas dari kerobotannya dengan menjelma
sebagai simbol kondisi manusia terkini.
Selanjutnya, pada 2009 ada perubahan pada Niko, khususnya pada pergaulan
dan bacaan. Memang ia tetap menjalin diskusi dan kadang pameran bersama
dengan kelompok Sakato, kelompok seniman asal Padang. Mereka
berdiskusi, pameran bersama, bergosip bersama di tanah rantau
Yogyakarta. Lebih dari itu, bertahan bersama dengan hidup sebagai
seniman di Yogyakarta. Lewat Kelompok Sakato ini, selain lembaga ISI,
telah membentuk cara berkesenian Niko. Mulai dari sikap seninya sampai
pilihan-pilihan artistiknya. Kelompok Sakato berkontribusi besar dalam
menemukan bahasa visual yang khas pada anggota-anggotanya, khususnya
Niko. Bersama kelompok Sakato Niko mencari bentuk-bentuk visual unik
tanpa mengacu pada nilai-nilai kultural tertentu.
Namun Niko merasa selalu ada yang kurang. Pergaulannya ia perluas. Ia
tidak melulu berurusan dengan kalangan seni rupa. Niko mulai akrab
dengan diskusi maupun bacaan terkait isu-isu globalisasi dan konsekuensi
yang ada pada isu ini. Perhatiannya pada isu ini juga mengubah pada
bahan bacaan, isu-isu global terkini, situasi sosial-politik di tanah
airnya. Perlahan tetapi jelas, perspektif sosial maupun politik Niko
mulai terbentuk. Niko memiliki pendapat mengenai perkembangan percaturan
global maupun tanah air, dan atau terkait dengan keduanya. Satu
kesimpulan yang ia tarik: ada persoalan serius mengenai sistem global
yang memengaruhi sistem nasional. Apa yang terjadi dalam sistem politik
nasional memiliki kaitan dengan sistem politik global.
***
Isu globalisasi ini secara publik telah muncul sejak akhir 1980-an masa
Orde baru. Hanya saja menjadi serius ketika Orde Baru rontok yang
terjadi akibat krisis keuangan yang mula-mula mengenai Thailand pada
1997 yang kemudian menyebar cepat bak virus ke negara-negara Asia
Tenggara lainnya. Indonesia yang ekonominya dianggap macan Asia rubuh
dalam waktu singkat. Globalisasi yang didengung-dengungkan sebelumnya
tidak hanya mengawang-awang dalam pidato presiden, pejabat, kaum
intelektual, tetapi riil dialami siapa pun hingga kaum melata pinggir
jalan. Globalisasi yang sebelumnya tak ubah jargon yang tidak berwujud
menjadi nyata, inderawi. Hanya saja globalisasi yang dialami masyarakat
bukan globalisasi yang selalu positif. Globalisasi itu adalah air bah
dalam bentuk inflasi melambung yang menggulung setiap sendi ekonomi,
harga-harga barang melambung termasuk kebutuhan pokok. Akibat bawaannya,
negara yang absolut itu renta, diikuti kerusuhan terjadi setiap sudut
kota besar, penjarahan, pemerkosaan. Globalisasi, sistem keuangan
global, kapitalisme global momok bagi setiap orang menjelang peralihan
ke abad 21.
Hari ini, globalisasi menjadi isu paling gencar. Bila tidak pada
slogannya sebagaimana yang terjadi masa Orde Baru, globalisasi hari ini
adalah praktiknya. Tiba-tiba harga-harga bawang putih, daging segar,
harga cabe tiba-tiba melonjak di pasar tradisional yang banyak rakyatnya
itu. Perusahaan nasional diakuisisi oleh perusaan asing secara
bertubi-tubi. Harga jarum jahit dari China lebih murah daripada produksi
pabrik di Tangerang atau Bangil, Jawa Timur. Kasus semacam ini sulit
terjadi pada masa Orde Baru. Pada sisi lain, informasi lewat internet
sudah sedemikian bebas semenjak awal 2000 lewat akses internet. Kemudian
komunitas bebas ASEAN 2015 dan disusul perdagangan bebas APEC.
Globalisasi tidak lagi hadir dalam wicara. Globalisasi sudah hadir
sebagai aksi. Sementara itu, secara umum pemerintah dan masyarakat
negeri ini belum siap. Terlebih agenda-agenda gelap dari globalisasi,
belum dibahas tuntas. Niko, perupa muda itu, masuk ke dalam isu-isu
tersebut.
Sekalipun pada 1998, Niko—kala itu berusia 16 tahun—belum masuk pusaran
isu tersebut tentu merasakannya di Padang, Sumatera Barat. Saat itu ia
masih berada di bangku SMSR Padang. Pun ketika merantau ke Yogyakarta
untuk menempuh pendidikan di ISI jurusan patung pada 2000, belum muncul
perhatian mengenai isu-isu globalisasi sebuah sistem dan konsekuensi
yang menyertainya. Perlahan namun pasti, di tengah kehidupan yang saling
terkoneksi saat ini, Niko atau siapa pun, disadari atau tidak, terkait
dengan isu ini baik setuju atau tidak. Hanya masalah pilihan saja untuk
merespon globalisasi ini. Demikian juga posisi Niko sebagai seorang
seniman dalam merespon globalisasi sebagai sebuah sistem global dan
konsekuensi yang dibawanya.
Kongkret globalisasi adalah peristiwa di bursa Wall Sreet New York
berdampak di bursa efek Jakarta dan menimbulkan perubahan harga di
Yogyakarta atau Menado. Keterkaitan satu sama lain dengan intensi yang
tinggi dalam era komunikasi supercanggih dibanding 15 tahun lampau
secara sukarela atau terpaksa membuat orang atau kelompok orang untuk
memikirkan sekaligus terlibat topik koneksi global itu. Apalagi jika
topik keterkaitan tersebut bukan keterkaitan yang setara, melainkan
keterkaitan yang menekan bahkan mengeksploitasi pihak lain.
Pemikir-pemikir seperti Joseph Stigliz dan Noam Chomsky merupakan
pengkritik terdepan model tatanan global saat ini. Globalisasi tidak
lain bentuk kolonialisme tahap lanjut dengan polarisasi antara pusat dan
pinggiran. Pusat bersifat memaksa, sementara pinggiran sifatnya
menerima dengan terpaksa. Hubungan tidak adil ini yang menjadi latar
belakang bagi negara-negara penentang Amerika Serikat seperti Iran,
Venezuela, dan Korea Utara. Apa yang mereka perjuangkan atas dominasi
Amerika tidak lain menolak segala tuntutan bahwa kebenaran selalu berada
di tangan pusat. Kebenaran ini tidak berhenti di tingkat konsep, tetapi
meresap dalam kebijakan-kebijakan yang sifatnya teknis dalam bidang
ekonomi, politik, pertahanan, dan budaya.
Polarisasi pusat-pinggiran dalam tatanan global ini memiliki riwayat
yang bisa ditemukan dalam proses terbentuknya modernisme. Modernisme
yang merupakan produk Barat abad 16 bersamaan dengan apa yang disebut
sebagai era pencerahan. Era pencerahan merupakan sebuah masa di mana
pemikiran memfokuskan pada manusia. Manusia dianggap menjadi titik
berangkat sekaligus titik akhir dari serangkaian peristiwa di muka bumi
ini. Alam dan simbol-simbol kehidupan yang menyertainya dalam periode
modern ini tidak dianggap lagi. Pengetahuan yang berkait dengan alam dan
simbol-simbol dikerangkeng dalam pengetahuan mengenai hal yang
primitif.
Dampak keyakinan ini tentu saja sangat dasyat. Manusia harus berdiri
sendiri sebagai manusia merdeka di muka bumi ini sebagai konsekuensi
dari gagasan kemandirian itu. Manusia mesti menanggung segala sesuatunya
atas dasar segala benar-salah dan baik-buruk berada di tangannya. Jika
sejarah manusia dianggap takdir, maka dengan pandangan modernisme,
sejarah adalah ciptaan dan torehan dari manusia sendiri. Sejarah menjadi
sekadar jejak sekaligus catatan yang dibuat manusia sendiri dengan
segala penilaian yang diberikan oleh manusia itu sendiri. Dalam sejarah
manusia tidak ada lagi peran tangan-tangan gaib yang mengarahkan
perjalanan manusia. Manusia adalah riwayat yang ia bangun sendiri.
Apa yang kemudian menjadi dekat dengan manusia oleh keyakinannya untuk
berdiri pada kemampuan akalnya: tragedi. Tragedi, sebab manusia dengan
suka-dukanya adalah ia dengan dirinya sendiri. Tidak ada siapa pun yang
berada di sekeliling manusia. Manusia berada sendirian di tengah-tengah
alam, di tengah riwayat kehidupan yang gelap, dan masa depan yang tidak
jelas. Dari sini manusia merumuskan, memetakan, dan menjelaskan siapa
dirinya, bagaimana lingkungannya, dan apa yang harus ia lakukan di
tengah-tengah alam raya ini.
Jika sebelumnya manusia menggunakan tanda-tanda alam atau cara berpikir
tertentu lainnya untuk membaca dan mengatur kehidupannya, dalam era
modernisme tidak lagi. Sebagai manifestasi atas keyakinannya, rasio
menjadi perangkat satu-satunya untuk menjawab segala persoalan yang ada
di muka bumi ini. Akibatnya, alam bukan dipahami sebagai serangkaian
simbol-simbol yang bermakna bagi manusia, melainkan alam adalah
serangkaian materi yang bisa diurai dalam sekian rumus dan dieksploitasi
sebesar-besarnya demi kepentingan manusia. Intinya, alam ditaklukkan.
Caranya, pengembangan ilmu pengetahuan dan penggalakan penemuan
teknologi. Kemampuan manusia dalam menyusun ilmu pengetahuan dan
memproduksi perangkat teknologi itu serta merta memosisikan relasi
manusia dengan alam sebagai subjek-objek. Manusia tidak lagi bersama,
sebaliknya, manusia berhadapan dengan alam. Alam diterima sebagai
entitas material yang harus ditundukkan.
Tahap modernisme yang dicirikan oleh keyakinan atas kemampuan rasionya
sekaligus penaklukan alam, tidak selamanya diterima. Apa yang
disebut-sebut sebagai era pencerahan telah menimbulkan berbagai dampak
merugikan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Masa pencerahan
yang ditandai tanggalnya keyakinan-keyakinan tradisional dengan
keyakinan pada rasio. Pada rasio-lah peradaban manusia dipercayakan.
Namun demikian, seperti tampak pada abad 20 modernisme menimbulkan
perang yang melibatkan puluhan negara yang berakibat pembantaian atas
nama ideologi, adu senjata nuklir hingga hari ini, kolonialisme,
kapitalisme yang mencengkeram dunia, dan universalitas Barat yang
menjadi model kehidupan global. Modernisme tidak luput dari kritik yang
muncul dari dalam dirinya berupa kritik pada rasio yang terbayangi alam
bawah sadar, bahasa bukannya tetap dalam mengemban makna melainkan
goyah, ketertiban yang dibayangkan oleh pemikiran strukturalisme tidak
bersumber dari dalam dirinya tetapi dari sesuatu yang justru berada di
luarnya.
Dalam pengertian ini, manusia modern menjadi tragis oleh apa yang sampai
saat ini ia capai. Manusia modern menyimpan di dalam keyakinannya
berbagai hal yang justru disangkalnya. Manusia modern selalu diliputi
keraguan yang berusaha ditepis atas keyakinannya untuk menggapai
kebenaran, keteraturan, dan objektivitas. Kesemuanya itu dicapai lewat
sebuah prosedur standar di mana pun dan kapan pun yang menjauhkan
sesuatu yang subjektif, ketidakberaturan, kesalahan.
Obsesi akan keseragaman muncul pada paruh kedua abad 20 yang sebelumnya
ditandai tenggelamnya Soviet setelah Perang Dingin. Tergusurnya Soviet
ini mengantarkan budaya Barat mendapat posisi kukuh di muka bumi.
Struktur kekuasaan yang dilatari oleh kapitalisme global menjadikan
segala hal bisa dipertukarkan tanpa memandang asal muasal entitas
kultural masing-masing. Semua kultural dianggap sama dan harus bisa
dipertukarkan di ranah sistem kapitalisme global. Siapa pun yang tidak
sejalan dalam pola permainan ini dan menolak modus universalisme global
serta merta dianggap menyimpang, aneh, dan lain. Dalam konteks global
hari ini, mereka yang islam, komunis, sosialis merupakan perintang dari
kesatuan dan kerataan universal (Jean Baudrillard, 2003). Demokrasi
sebagai tatanan baku politik nasional, liberalisme sistem pasar sebagai
pilihan satu-satunya, dan kebebasan sebagai semangat dari hidup yang
benar hari ini.
Konsekuensinya, justru bukan kebebasan-demokratis-liberal yang muncul di
wilayah-wilayah di luar Barat, melainkan kekacauan-oligarkhis-monopoli.
Nation yang dibayangkan sebagai bentuk ideal modern atas bentuk
tradisional yang berbasis pada puak dan adikodrati, justru jalan
sistematis untuk memporak-porandakan bentuk ideal itu. Kita melihat
individu menjadi massa pasif dalam jeratan sistem yang dibuat atas nama
modernisme. Individu yang tercerahkan oleh rasionya hanya impian belaka.
Individu lenyap dalam keriuhan lautan massa. Individu takluk dalam
prosedur-prosedur kekuasaan yang abstrak sekaligus nyata, hadir secara
fisik maupun dalam alam pikiran.
***
Di sinilah gagasan-gagasan dalam karya-karya Nico Rikardi bisa
diletakkan. Karya-karya Niko baik karya dua dimensi maupun tiga dimensi
dalam pameran ini merupakan sebuah proses antara perenungan gagasan dan
bahasa visual yang telah dipilihnya. Dalam pameran ini karya-karya Niko
menghadirkan figur-figur robot tidak sempurna, cacat. Ia mengeksporasi
figur robot dengan idiom tengkorak, serpihan daging, ceceran darah,
burung hitam dan putih, buku, pepohonan, dan tentu plat-plat besi. Plat
besi menjadi idiom penting dalam proses kreatif Niko. Ini terlihat plat
besi yang hadir pada robot pada ketiga karya dua dimensi maupun satu
pada karya tiga dimensi dalam pameran ini. Bagi Niko, “Plat besi cukup
mampu menggambarkan kesan artistik mengenai segala hal yang secara tidak
langsung mengungkapkan sisi lemah manusia sebagai mahkluk ciptaan
Tuhan, terutama pada bagian karatnya. Namun pada sisi lain, plat besi
memiliki efek-efek lain seperti tekukan, lipatan, dan sebagainya yang
merupakan kekayaan lain dari material besi yang cukup menantang untuk
dieksplorasi, baik pada karya dua dimensi maupun tiga dimensi.”
Tentu saja tidak mudah mempraktikkan pernyataan itu sebab plat besi
selain rumit pengerjaannya untuk karya-karya tiga dimensi, watak
material ini lebih sulit diasosiasikan dalam rasa artistik tertentu
dibandingkan material lain, semisal kayu atau batu yang secara alamiah
sudah memiliki barik tertentu di permukaannya. Sementara plat besi tidak
punya dan lebih bersifat fungsional dalam dunia sehari-hari. Namun di
tangan yang sudah terbiasa dengan medium ini, tidak terlalu sulit dan
bisa memberi stimulasi berkarya. Niko semenjak menggunakan plat besi
dalam berkaryanya telah memilih plat besi yang memiliki barik tertentu.
Ia tidak menggunakan plat besi selain plat besi berbarik yang muncul
dalam karya-karya pameran ini. Adaptasi yang sudah lama ia lakukan ini
memudah Niko ketika membuat karya yang beranjak dari karya-karya optikal
semata kepada karya-karya yang bertendensi pada gagasan tertentu. Ia
mengeksplorasi idiom-idiom yang mewakili gagasan tertentu sebagai
upayanya berdialog dengan audiensnya. Kali ini pilihan itu tepat dengan
kecintaannya pada medium plat besi: robot.
Robot-robot itu, sebagaimana hakikat robot sebagai produk teknologi,
anonim. Sebagai sebuah produk robot ada sejauh fungsinya. Robot tidak
lain simbol kemampuan fantastis manusia dalam menciptakan perangkat yang
dilengkapi intelegensi artifisial yang mengambil model otak manusia
untuk meniru pikiran. Namun demikian, robot tidak memiliki kemampuan
mencipta sekaligus menghayati makna seperti halnya manusia.
Robot-robot anonim tidak lain wujud kemampuan manusia dalam menciptakan
perangkat canggih sepanjang sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dalam karya Niko robot menjadi simbol manusia sebagai
penguasa bumi sekaligus simbol sistem atau tatanan masyarakat saat ini
yang terorganisir sedemikian canggih yang justru memperdaya manusia itu
sendiri. Alih-alih berperan dalam membantu manusia, sistem itu mengambil
alih peran manusia secara tidak terkendali.
Robot-robot dalam warna monokrom yang anonim dan aneh karya Niko tampak
mandiri dalam aktivitasnya yang ganjil. Figur-figur robot yang tidak
memiliki ekspresi, mekanis namun sadis, bisu. Robot-robot yang kepalanya
berwujud tengkorak, tangan sedang menggoreskan kuas pada tengkorak,
kepala robot berupa baling-baling berputar, robot tanpa kepala, kepala
dan punggung robot terlihat rangkanya. Robot-robot dalam situasi tragis
tak tertanggungkan.
Robot-robot anonim karya Niko tidak menunjuk pada identitas tertentu
sebagaimana robot-robot dalam seni rupa Indonesia, khususnya menjelang
rubuhnya rezim Orde Baru. Robot-robot dalam karya instalasi atau pada
karya tiga dimensi pada seni rupa waktu itu umumnya mengacu identitas
kultural tertentu atau pada situasi khusus yang menautkannya dengan
situasi politik. Karya-karya tersebut dibuat sebagai respon terhadap
kekuasaan Orde Baru yang nyaris absolut. Karya-karya itu beragam caranya
dalam merespon sistem kekuasaan. Ada yang mengejek sembari menertawakan
sebagaimana pada instalasi patung beserta kemampuan elektronya, atau
merespon dalam bentuk ratusan patung bisu di pantai atau di tebing
sebagai saksi yang diam.
Hal ini berbeda dengan karya-karya Niko yang dibuat setelah era pasca
Orde Baru. Situasi pasca Orde baru persoalan tidak memusat pada satu
sistem kuasa tunggal bersama aparatusnya. Sistem kuasa sekarang ini
lebih bersifat abstrak, negosiatif, dan mondial tatkala negara
menjalankan sistem demokrasi liberal bersama konsekuensinya. Ini seperti
keyakinan Niko sendiri yang tidak percaya pada segala hal kecuali
sistem yang telah mengambil alih segala sesuatu di muka bumi ini.
Maka, karya-karya Niko dominan idiom-idiom robot anonim, mekanis, tak
menyisakan rasa empati. Simak karya “Memutar Kepala” yang ganjil itu.
Sebuah robot tengah memutar kepala berupa baling-baling besi yang
disambung tangan. Robot itu duduk di atas tengkorak di antara
puing-puing sebuah kecelakaan. Ada dua burung hitam bertengger dan di
sisi robot terdapat tulang yang masih beserpih daging dan darah segar.
Tengkorak dan tulang dalam balutan daging dan darah segar justru
tersingkir. Justru yang eksis robot yang memutar kepalanya berupa
baling-baling. Karya ini hendak mengatakan kemampuan manusia telah kalah
dengan wujud tengkorak yang dibuat duduk robot. Manusia koyak dalam
wujud daging tercabik dan darah tercecer.
Lihat lukisan “Di dalam di Luar Kepala”. Lukisan ini tidak mengesankan
situasi mengerikan sekalipun dalam bidang kanvas itu muncul robot
berkepala tangan sedang menggores kuas tengkorak dengan tinta darah yang
terpajang di depannya. Darah dan daging berlepotan di sekitar robot
yang sedang berdiri. Dalam lukisan tersebut sosok manusia tidak saja
disingkirkan, malah dimutilasi sedemikian rupa menjadi benda tak
berarti. Manusia tiada artinya daripada robot tanpa kepala yang
menguasai ruang dan mengendalikan segala sesuatu di luar dirinya.
Manusia hilang arti lantaran manusia tinggal cerita menjadi seonggok
tengkorak, daging teserpih, darah terciprat, tulang terpotong-potong.
Robot itu memang tidak memiliki empati. Ia dingin memperlakukan manusia
secara mekanis yang justru menimbulkan kesan jijik teramat sangat.
Dalam lukisan “Bersarang” tidak kalah anehnya. Situasi tragis menjadi
kesan utama dalam karya ini. Figur robot, lagi-lagi tak berkepala, kini
muncul batangan besi-besi yang tumbuh dari leher maupun dari ujung
tangannya. Pada besi-besi itu tertancap tengkorak-tengkorak dan otak
yang masih segar. Sementara daging segar tercecer di puing-puing
reruntuhan besi. Dua burung hitam datang menuju arah otak segar
tertancap. Tengkorak-tengkorak itu telah terpisah dari organ tubuh
lainnya bahkan tertancap cukup dalam ke batang besi robot. Otak segar
telah keluar dari tengkoraknya. Dengan latar belakang reruntuhan
bangunan yang dominan besi, karya ini memberi dorongan yang kuat pada
situasi tragis tak berpengharapan. Manusia telah kalah.
Pada karya instalasi patung berjudul “Ritual” eksekusi gagasan yang Niko
inginkan diwujudkan secara maksimal dalam karya ini. Dalam ukuran yang
besar untuk karya dalam ruang, karya ini secara utuh mewakili gagasan
Niko mengenai sistem global sekarang tepat mengenai jantung
persoalannya. Sebuah lengan eksavator keluar dari balik tembok yang
ambrol. Ujung dari lengan eksavator itu bukan alat keruk dari baja
tetapi tengkorak manusia yang berfungsi alat keruk pada rongga mulutnya
yang menganga. Ukuran antara tengkorak dengan lengan eksavator tampak
sepadan. Hanya saja, badan tengkorak itu jauh lebih kecil dibanding
ukuran tengkorak. Tragisnya, selain tidak proporsional dalam hal ukuran,
posisi kepala mendongak sementara posisi badan membungkuk, tepatnya
bersujud.
Apa yang muncul pertama kali saat mengamati karya ini: tragik. Karya ini
secara otomatis menyodorkan pesannya. Tengkorak sebagai pusat organ
kehidupan manusia yang biasanya diperlakukan secara terhormat karena
penting justru diletakkan dalam posisi yang amat direndahkan. Tengkorak
itu tidak ubahnya alat keruk tanah, sampah, atau material keras lain
yang sulit dikerjakan manusia karena kotor atau sulit. Bukan hanya pada
apanya yang dikeruk, tetapi fungsinya sekadar alat keruk yang menyodok
penglihatan pada karya “Ritual”. Sedemikian manusia telah diperdaya dan
diperbudak oleh sesuatu yang tidak terlihat ujung pangkalnya kecuali
lengan-lengan perkasa nan tak tertandingi yang muncul mendadak dari
balik tembok dengan cara menjebolnya. Karya ini menjadi simbolisasi yang
tepat mengenai hilangnya kemerdekaan manusia hari ini di tengah
semangat kebebasan gegap-gembita yang dikobarkan sekaligus diperjuangkan
manusia sepanjang abad 20. Kebebasan itu lenyap justru oleh sistem yang
dicita-citakan akan membawa tiap manusia kepada kebebasan itu sendiri.
Tragik!
Jakarta, April 2013***
NICO RICARDI’S TRAGIC FIGURES
By Imam Muhtarom
Both the two and three-dimensional works of Nico Ricardi show continual
developments. Nico began his painting career with visual ideas that are
optical in nature. His canvases used to show objects that generate
optical amazement in the viewers. The depicted objects play games with
the weak points of human sight whenever facing things contrary to its
habitual actions in perceiving. Illusion, which is intrinsic to our
eyes, is modified or even led astray so that perceptional bewilderment
takes place from there. The habit of the eyes of catching objects that
have corners, surfaces and hidden parts is challenged by the
simultaneous presence of them. In effect, our perception that is already
made normative by what we see daily is bewildered by the experience of
unusual sighting. Nico immersed himself so deeply in this uncommon
perceptional game. He used to make works based on just optical ideas. In
this early phase of his career Nico didn’t give importance to thematic
aspect let alone any big theme regarding the most current situation of
humanity. In this phase figures hadn’t entered his canvases yet.
In sculpture the inclination toward weighty ideas and themes around
humanity was not very serious yet. He busied himself with bringing
together objects to form figures out of them. He didn’t care if those
figures would make a series of ideas around some particular sense or
not. His skill to weld together objects of used metal parts of
motorbikes and other things used to be his only motivation to accomplish
a sculptural work. So his three-dimensional works of sculptures made
from various kinds of discarded metal objects have the strong sense of
being craft pieces rather than imparting signification.
In his final assignment exhibition at the Indonesian Institute of the
Arts in Yogyakarta, in 2009, he showed his impressive ability to put
together discarded parts of motorbikes such as the chain, fuel tank,
machinery, framework, nut, wire and few additional materials for making
artworks. The exhibition presented a series of vivid sculptures made
from various objects that he found in such different places as
workshops, storerooms, and even bins. These sculptures, mostly dark
colored, feature unique forms. One of them, called “Aku dan
Anjingku”/”Me and My Dog”) presents a robot-like figure with a dog. The
sculpture looks pugnacious with the dog barking. With the exhibition
Nico also demonstrated his talent as a sculptor with promising
technique. Using simple and limited amount of materials he was able to
create a sculpture of a Japanese warrior equipped with his typical
sword. Although being made from minimal materials, the sculpture manages
to attain its maximal appearance. It is a sculpture showing a typical
Japanese warrior with a sword in his hand ready to sway.
In 2009 robotic figures began entering Nico’s paintings “Pose” and
“Terikat Tubuh”. The two paintings are monochromatic. The robot in
“Pose” – very possibly a male – is seated comfortably. Aside from the
robotic figure there is not any other thing explainable in the canvas.
Yet the rust on the joints and main joints betray metal and wires that
suggest that the figure is a robot. This painting of a robot doesn’t
suggest any particular signification. Viewers are only presented with a
depiction of the robot that can pose like a human, just that.
The painting called “Terikat Tubuh” is different. It features a robotic
figure, still monochromatic, and it seems suggestive of some intended
meaning or significance. We don’t know why the robot wants to rebel.
Anyway the figure seems to try to break free from “the body” that is
also tied up. Nico introduces the idea that the robot doesn’t only pose
like a human, while previously such was the main goal of the sculptures
he’d made.
Nico’s works shown in the current exhibition are traceable to the
painting “Terikat Tubuh”. His robotic figures have transcended
themselves toward broader significance. They did not stop and stand
still as physicality. There in canvases they are struggling to break
free from their nature as robots by transforming into symbols of the
most current human conditions.
In 2009 Nico showed some change particularly regarding his socializing
and reading. He kept taking part in discussions and sometimes group
exhibitions with the Sakato group, a group of artists originating from
Padang, West Sumatra, who live in Yogyakarta. The members often meet to
discuss things together, gossiping, and, more importantly they support
each other to live their lives as artists in Yogyakarta. The Sakato
community, in addition to the Indonesian Institute of the Arts in
Yogyakarta (ISI Yogyakarta), has shaped Nico’s artistic manner, stance,
and choices. Sakato group contributes significantly to the members’
discoveries of personal visual idioms, and particularly so in Nico’s
case. With Sakato group Nico searched for unique visual forms without
referring to any specific ethnic-group cultural values.
Yet Nico always felt that it hadn’t been enough. He widened his
socializing scope. He began mixing with people from outside the art
world too. He began familiarizing himself with discussion and reading
around globalization issues and their consequences. In turn his interest
in such issues led him to access writings on current global issues as
well as social and political conditions of his country. Slowly but
obviously Nico’s social and political perspective was being shaped. He
had his opinion regarding global as well as national developments, and
different issues connected to them. One among the conclusions he drew
was that there was a serious issue concerning the global system that
affects the national system. Matters going on in the national politics
have connection with global political system.
***
The issue of globalization was already public in the late 1980s of the
New Order period in Indonesia. Yet it only gained gravity as the
Indonesian New Order regime collapsed due to the monetary crisis
initially striking Thailand in 1997 then swiftly spreading like a virus
to other Southeast Asian countries. Indonesia whose economy had been
regarded as an “Asian tiger” crumbled in no time. Globalization had been
thunderously talked about not only in sky-high speeches of the
president, ministers and intellectuals but also experienced in the daily
reality of people including those crawling by the roadside.
Globalization that had once represented an intangible jargon became
real, concrete. Yet the globalization the people were to undergo was not
necessarily always positive. It was a flood of soaring inflation rates
that swept away economic bases and rocketing prices of goods including
basic commodities. As a result the absolute state was withering and
concomitantly in big cities riots, looting and rapes were rampant.
Globalization, global monetary system, and global capitalism haunted
everyone by the turn of the century to the 21st.
Today globalization is the most charged issue. While it doesn’t’ come in
slogans and discourses as it did during the New Order times,
globalization prevails as practice today. All of a sudden prices of
garlicky, fresh meat, and chili sold in the people’s traditional market
could just soar. A series of national corporations got acquired by
foreign companies. A sewing needle from China is cheaper than the one
produced in Tangerang in West Java or Bangil in East Java. Such a case
wasn’t very likely during the New Order times. Meanwhile information
flow through the Internet has been so free and convenient since early
2000 thanks to the Internet access. Then came the ASEAN Free Community
2015 to be followed by the APEC’s free trade. Globalization is present
not in speeches any longer. Globalization has been here as action. Yet,
broadly, the Indonesian government and the people are not quite ready
yet for it. Moreover, hidden dark agendas of globalization are still
waiting for some thorough explication. Nico the young artist plunges
into such issues.
Although in 1998 Nico – sixteen-years old then – wasn’t yet involved in
pondering on such issues, he had to be affected by the impacts back then
in Padang, West Sumatra. At that time he was still a student of the
Senior Secondary School for Art in his hometown. And even when he
already went to Yogyakarta in 2000 to further his formal education at
the Indonesian Institute of he Arts there, majoring Sculpture, he had no
interest in the globalizing of a system and the concomitants. Slowly
but surely, amid the interconnection of different sectors of life then,
Nico, as anyone else, was implicated by such issues whether he was for
or against them and no matter whether he was aware or not of the
implications. It’s only a matter of choice whether one gives response or
not to globalization. So is Nico’s position as an artist vis-Ć -vis
globalization as a global system with its consequences.
In concrete terms globalization is an occurrence in Wall Street Stock
Exchange in New York having impact on Jakarta stock exchange and
resulting in changing prices in Yogyakarta or Manado. Intensive
interconnectedness in an age of sophisticated communication in relative
to the situation in 15 years ago necessarily makes individuals or groups
think of and get involved in the topic of global connection. The more
so when it comes to unequal connection but one in which one party
presses and exploits the other. Thinkers as Joseph Stigliz and stand as
the foremost critics of the current global order. Globalization is but a
form of advanced colonialism involving center-periphery polarization.
The center is imposing while the periphery is characterized by reluctant
acceptance. Such unfair relationship has become the background for
countries like Iran, Venezuela and North Korea to oppose USA. When they
struggle to resist USA’s domination they actually take a stand against
the claim that the center is always right. In this regard, what’s right
doesn’t only concern the conceptual level but also its implied
technical policies in economy, politics, defense and culture.
The center-periphery polarization in the global order can be traced back
to the formation process of modernism. Modernism is a product of the
sixteenth-century West in simultaneousness with the so-called era of
enlightenment. The era marks the focusing of thoughts on the human
being. Human was regarded as the starting point and at once the end of
series of events on the earth. Nature and symbols of life that go with
it was no longer attended to in this modern period. Knowledge about
nature and symbols were caged and labeled as knowledge about the
primitive.
The impact of such belief is of course very serious. The human being has
to be self-sustaining as a free being on earth as the consequence of
such idea of independence. Humans have to be responsible for everything
because all right-and-wrongs and good-and-evils are but in their hands.
In modernism the human history is regarded as human’s own creation
rather than something predestined. History becomes mere traces and notes
that humans made according to their own evaluation. The roles of
invisible hands in directing human’s journey are simply erased.
Humankind is a self-made story.
What becomes increasingly nearer to humans with their conviction of the
all-reliability of their own reason is tragedy. It is so because humans
with their highs and lows in life only have themselves. Nothing or no
one else is there around them. They are alone amid nature, amid the dark
history of life, facing an indistinct future. In such a setting humans
formulate, chart and explain who they are, the nature of their
environment, and what they should do in the universe.
While earlier people had used to consider signs given by nature, or use
some other way of reasoning to ‘read’ and manage their life, in the era
of modernism they didn’t do it any more. Rationality became the only
instrument to answer all emerging questions anywhere on earth. It
follows that nature was not perceived as a series of symbols significant
to humans but, instead, as materials explainable by formulas and
exploitable to maximally serve human needs. Nature was conquered. It was
achieved through the development of scientific knowledge and
encouragement of technological discoveries. The ability to construct
scientific knowledge and to produce technological means necessarily
rendered human-nature relatedness as a subject-object relationship.
Humans were no longer with nature but against it. Nature was taken as a
material entity to conquer.
Modernism marked by the belief in reason and the conquest of nature was
not acceptable all through the time. The so-called enlightenment era has
resulted in a lot of harmful impacts previously unthought-of of. The
era saw the abandonment of traditional faiths to be replaced by the
belief in reason. It was to reason that human civilization was
entrusted.
Yet in the twentieth century modernism was responsible for wars that
involved dozens of states leading to massacres in the name of
ideologies, the nuclear weaponry competition going on through today,
colonialism, capitalism clasping the whole world, and the Western
universality serving as the model of the global life. Modernism is not
free from internal criticism of reason that is haunted by the
subconscious; language is not constant but unstable in its signifying;
the order as conceived by structuralism originates not from itself but
from something just external to it.
In such perspective modern people look tragic jus because of what they
have achieved so far. Modern people keep in their minds various things
they deny. Modern people always have doubts that they try to keep off
for the sake of achieving what they think is right, orderly and
objective. They pursue it anywhere and any time through some standard
procedure that fences off anything subjective, disorderly, and not
right.
Obsession of uniformity emerged in the second half of the twentieth
century following the post-Cold-War collapse of the Soviet Union. The
passing Soviet Union opened the way for Western culture toward a firm
position on earth. A power structure against the backdrop of global
capitalism has made everything exchangeable regardless their
cultural-entity origins. In the realm of global capitalism all cultures
are regarded the same and they are supposed to be exchangeable. Anyone
not in accordance with such pattern of the game, and resistant to the
mode of global universalism, is necessarily taken as perverse, peculiar.
In today’s global context those who are moslems, communists and
socialists obstruct universal unity and flatness (Jean Baudrillard,
2003). Democracy is the standard order of national politics, liberalism
of the market system the one and only choice, and freedom the right
spirit of life today.
In consequence not liberal-democratic-freedom is emerging in off-West
regions but chaos-oligarchy-monopoly instead. Nation that is conceived
as the modern ideal form, out of the traditional form based on tribal
groups supernatural in nature, turns to be just the systematic way to
dismantle the ideal form. We witness individuals turn to into passive
masses entrapped in a system built in the name of modernism. Individuals
enlightened by reason are but a dream. The individual disappears in the
ocean of masses. The individual surrenders to the procedures of
abstract and at the same time concrete power present both physically and
mentally.
***
In such framework of background ideas we can position Nico Ricardi’s
works. The two- and three-dimensional works shown in this exhibition
represent a process of his reflection of ideas and decision on visual
language/idiom to adopt. Here are his works that feature imperfect,
defective figures of robots. The artist explores robotic figures
incorporating the idioms of the skull, flesh slivers, spills of blood,
black and white birds, the book, plants and trees, and of course iron
plates. The iron plate provides a major idiom in Nico’s process of
creating. This is apparent in the iron plates as seen in the robots
depicted in the three of the two-dimensional works and in one of the
three-dimensional pieces on exhibition. For Nico, “The iron plate is
quite effective for conveying the artistic sense of everything that
indirectly expresses the weak points in humans as God’s creations, and
this is particularly with regard to rustiness. Yet, in addition to that,
the iron plate has other effects to offer such as bends and folds that
form some of the versatility of iron as a material challenging to
explore, for both two- and three-dimensional works”.
Naturally it is not easy to put those words into practice because the
iron plate is far from easy to handle for making three-dimensional
works. Besides, its very nature makes it hard to evoke association in
some particular artistic sense, in comparison with such other materials
as wood or stone that by nature already have textures on the surface.
The iron plate doesn’t have them, and it is more functional in daily
life. Yet in the hands of one who is familiar with it as a medium it is
not too difficult to handle and it can even be stimulating. Ever since
he began adopting the metal plate as a material for his works Nico has
always picked Iron plates that have some certain textures. He only uses
iron plates with textures as can be seen in his works on exhibition
here. Long experience in adapting the material makes it easier for Nico
to create works that go beyond ‘merely optical’ ones and have the
tendency toward specific ideas. He explores idioms representing certain
ideas in his attempt to build dialogues with his audiences. His choice
goes very well with his love for the iron plate: the robot.
Robots in his works, just as the nature they have as technological
products, are anonymous. As a product the robot is there for its
functions. The robot is but a symbol of human’s fantastic ability to
produce an instrument equipped with artificial intelligence modeled
after the human brain to imitate human thinking. Anyway the robot
doesn’t have the ability to create and to perceive meanings the way
humans do.
Anonymous robots are but a manifestation of humans’ ability to invent
sophisticated instruments throughout the historical development of
science and technology. In Nico’s works the robot becomes a symbol of
the human being as the ruler of the earth and at once a symbol of
today’s social system or order that is so sophisticatedly organized that
it just deceives the human being. Rather than functioning to help human
beings, the system takes over human’s role uncontrollably
Nico’s monochromatic robots, which are anonymous and peculiar, look
independent in their strange activities. They are expressionless,
mechanical but sadistic and mute. They are robots with heads of mere
skulls, hands applying the paintbrush on the skulls, with the head of a
rotating propeller, the headless robot, and the robot whose head and
back show their skeletal structures. They are robots in an unbearably
tragic situation.
These anonymous robots in Nico’s works do not point at any specific
identity as do robots in Indonesian art, particularly by the time of the
New Order regime’s collapse. Back then robots in installations and
three-dimensional works largely allude to some specific cultural
identity or to some particular situation that has connection with
political situation of the times. Such works were made as responses to
the power of the New Order that was almost absolute. Those works respond
to the power system in various modes. Some are sneering as seen, for
example, in a sculptural installation, and there was a work that gives
response in the form hundreds of silent statues of human figures on the
waterside or steep bank.
Nico’s works made in the post-New Order era are different. In the
post-New Order era issues are not centered on just a despotic power
system and the apparatuses. Today’s power system tends to be abstract,
negotiation-based and worldwide as the state implements liberal
democracy with all its consequences. This is in line with Nico’s
position of not trusting everything but the system that has taken over
everything on earth.
So in Nico’s works the robots are anonymous, mechanical, and lacking
empathy are dominant. Consider for instance the work “Memutar Kepala”. A
robot is turning its head of an iron propeller with the extensions of
hands. The robot is seated on skulls amid ruins left by some accident.
Two black birds perch and next to the robot are bones with pieces of
flesh and fresh blood. The skulls and the bones with pieces of flesh and
fresh blood are rendered secondary. Primacy is given to the robot
turning its propeller head. The work seems to suggest ho human’s ability
and power is supplanted by the skull where he robot is seated. The
human being is tattered to pieces of flesh and spills of blood.
And there is the painting called “Di dalam di Luar Kepala”. It doesn’t
offer any horrible atmosphere although there is the depiction of the
robot with a head of hand applying the ink of blood with a paintbrush on
a skull. Blood and flesh is here and there around the standing robot.
In the painting the human figure is not only cast aside but also
mutilated to the extent that it becomes insignificant things. The human
being is nothing in the presence of the headless robot that controls the
whole space and everything external to it. Humans have lost
significance because they are but a story of a heap of skulls, pieces of
flesh, spills of blood and fragmented bones. Indeed the robot doesn’t
have empathy. It treats humans coldly and mechanically to an extremely
sickening extent.
The painting “Bersarang” offers no less weird an atmosphere. A tragic
situation is what the work mainly conveys. The robotic figure, again
headless, now shows iron bars sprouting and growing from its neck and
tips of hands. On the tips of those iron bars are skulls and brains.
Fresh pieces of flesh are scattered by the ruins of some iron structure.
Two black birds are approaching the brains on the tips of the iron
bars. The skulls are already separated from other parts of the body, and
they are even pierced deeply by the robot’s iron bars. Fresh brains are
already outside the skulls. Showing the background of the ruins of some
construction predominantly of iron, the painting forcefully suggests a
tragic situation that is without hope. Human beings are already
defeated.
Nico’s sculptural installation “Ritual” marks a maximal realization of
what the artist has in mind. For a work designed for the interior, it
can be considered big-sized. The installation fully represents Nico’s
idea of the current global system, and it touches the heart of the
matter. An excavator’s arm is emerging from behind a crumbling wall. On
the tip of it is not the typical steel scraper but a human skull that
serves as a scraper with the cavity of its mouth. The size of the skull
seems to be in the appropriate proportion to the of the excavator’s arm.
Yet the body is much smaller than the skull. Tragically, in addition to
the disproportion, the position of the head is looking upward while the
body is bending low.
The first impression given by the piece is that of something tragic.
This work immediately conveys its message. The skull as the center of
living human’s organs, conventionally treated respectfully, is given a
debased position. It is as if the skull was not different from a tool to
scrape soil, wastes, and other hard materials inconvenient to deal with
manually because they are filthy and trying. The point is not only what
to scrape by the skull but also the lowly function ascribed to it.
Human beings have been deceived and enslaved by something with
invisible head and feet, save its all-powerful, unequaled arms suddenly
emerging from behind the wall by shattering it. This work, “Ritual”,
aptly symbolizes the vanishing of today’s human beings amid the euphoria
of freedom kindled and fought for throughout the 20th century. The
freedom vanished just because of a system aspired to lead individuals to
freedom. How tragic!
Jakarta, April 2013***
ART WORKS
curriculum vitae
Born : Surian (Sumatera Barat), 3 May 1982
Solo Exhibition :
2013
Figur-figur Tragik Niko Ricardi, Emmitan CA Gallery, Surabaya
Group Exhibitions :
2010
Pameran “Green Carnival” Bazaar Art ,The Ritz-Carlton Jakarta Place
Pameran “Bakaba” Komunitas Seni Sakato Jogja Nasional Museum, Yogyakarta
2009
Pameran “UP to HOPE” Gallery D’peak Art space, Jakarta
Pameran “Indonesia Art Festival” Bazaar Art ,The Ritz-Carlton Jakarta Place
2008
Pameran “FANTASIA” at Emmitan CA Gallery, Surabaya
Pameran “SALON YOGYA” CG Art Space, Plaza Indonesia, Jakarta
Pameran “A BEAUTIFUL WORD” V- Art Gallery, Yogyakarta
Pameran “SURVEY” Edwin's Gallery, Jakarta
Pameran “KOMEDI PUTAR” Jogja Gallery, Yogyakarta
2007
Pameran “SHANGHAI ART FAIR” Shanghai, China
Pameran “HERE WE COME” Sangkring Art Space, Yogyakarta
Pameran “PORTOFOLIO” (1st
Anniversary of Jogja Gallery) Yogyakarta
Pameran “BOENG AJO BOENG” (tafsir ulang nilai-nilai Affandi) Bentara Budaya, Yogyakarta
Pameran “EKSISTEN” Jogja Gallery, Yogyakarta
Pameran “SPACE TEST TRIBUTE TO YOUNG ARTIST” Sangkring Art Space, Yogyakarta
2006
Pameran “ART FOR JOGJA” Taman Budaya Yogyakarta
Pameran “JALIN BAPILIN“ (Mahasiswa Minang ISI Yogyakarta), Benteng Vredeburg, Yogyakarta
Pameran “HOMAGE 2 HOMESITE (Kembali ke Gampingan) Jogja Nasional Museum, Yogyakarta
Pameran ”RICARICARI SCULPTURE” Student Centre UNS Surakarta
2005
Pameran “STILL LIFE”, Vanessa Gallery, Jakarta
Pameran “ART FOR ACEH,” Taman Budaya, Yogyakarta
Pameran “AYO NGGUYU” HUT, Bentara Budaya, Yogyakarta
Pameran “KOTAKATIKOTAKITA” Fky XVII, Taman Budaya Yogyakarta
Pameran “DIESNATALIS” ISI Yogyakarta
Pameran “JAGAT GALERI AKADEMI” Museum Ulen Sentalu Kaliurang, Yogyakarta
2004
Pameran “PEKSIMINAS” VII Yogyakarta dan Lampung
Pameran “BARCODE” Fky XVI Taman Budaya Yogyakarta
Pameran “MEMPERTIMBANGKAN TRADISI” (Perupa Minang Se-Indonesia) Galeri Nasional Jakarta
2003
Pameran Sanggar Sakato, Langgeng Gallery, Magelang
Pameran”BIF” Open Air Gallery, Magelang
Pameran “REPLAY” FKY XV Taman Budaya Yogyakarta
Pameran “INDOFOOD ART AWARD” Galeri Nasional Jakarta
2002
Pameran FKY.XIV. Taman Budaya Yogyakarta
2001
Pameran “GELAR SENI ALAM RAYA” Dies Natalis XXIV Sasenitala ISI Yogyakarta
Awards :
2000
Karya Lukis terbaik SMSR Padang
Juara III Lomba Poster Kesehatan SMK Se-Sumatera Barat
2003
Finalis “INDOFOOD ART AWARD”
2004
Karya terbaik “PEKSIMINAS” VII Yogya/Lampung
0 comments:
Post a Comment