Witjak/Komunitas Salihara |
Pertunjukan
naskah Endgame karya Samuel Beckett
oleh Teater Garasi memang dinanti-nantikan—paling tidak oleh saya. Ada beberapa
alasan untuk menunggu lakon tersebut setelah Teater Garasi dipentaskan pada
1999. Pertama, pentas tahun 1999
Teater Garasi dinilai berhasil membawakan situasi absurd ke atas panggung
dengan cara setaat mungkin pada naskah Endgame.
Pementasan menghadirkan apa-apa ke panggung sebagaimana yang muncul di dalam
naskah. Pada waktu itu jarang sekali teater yang membawakan naskah asing tanpa
ada proses adaptasi. Menikmati pertunjukan dengan cara taat naskah ini, terasa
mewah saat itu—juga saat ini. Pentas naskah Endgame
kala itu membawa penonton pada panggung yang Eropa sekali dan itu memberi
pengalaman menonton yang lain sebab sejenak terpisah dari situasi sosial dan
kultural yang melekat di benak penonton. Panggung memberi tawaran lain kepada
penonton untuk berjarak dengan pengalaman verbal yang mengendap lewat hidup
keseharian maupun panggung-panggung teater saat itu.
Kedua, pada 1999 situasi sosial-politik benar-benar chaos setelah lepas dari
cengkeraman Orde Baru dan masuk pada era reformasi yang belum menentu arahnya.
Panggung sosial dan politik sehari-hari saat itu berupa kegamangan antara apa
yang yang terjadi di tataran elit politik dan kehidupan sehari-hari dengan
melambungnya harga pangan serta konflik yang merajalela. Lakon Endgame sekalipun bukan berupa kisah
situasi di Indonesia, dengan situasi absurdnya tidak lain refleksi dari situasi
yang ada kala itu. Situasi di luar panggung memberi latar belakang yang
merefleksikan dengan apa yang di dalam panggung.
Ketiga, hendak melihat bagaimana Teater Garasi kali ini menggarap naskah yang
sama oleh sutradara yang sama, yaitu Landung Simatupang, pada situasi politik
dan sosial saat ini yang berbeda dengan situasi 1999.
***
Pada 1999 saya menonton di gedung pertunjukan di
Universitas Petra Surabaya dalam satu kali pentas. Sementara pertunjukan kali
ini di Teater Salihara, Jakarta, pada 28-29 Juni 2013 dalam 4 pementasan,
dengan catatan 1 pementasan dimaksudkan untuk penonton pelajar dan mahasiswa.
Pertunjukan yang dimaksudkan untuk pelajar-mahasiswa tersebut berbeda
pelakonnya dengan 3 pertunjukan lainnya. Pada 3 pertunjukan aktornya sama
dengan aktor yang main pada 1999. Mereka adalah Yudi Ahmad Taudin sebagai Hamm,
Whanny Dharmawan sebagai Clov, Kusworo Bayu Aji sebagai Nagg, dan Erythrina
Baskoro sebagai Nell. Kemudian untuk 1 pementasan untuk pelajar-mahasiswa pada
30 Juni 2013 yang mulai pukul 16.12 dan berakhir pukul 18.21, Hamm diperankan
Gunawan Maryanto, Clov oleh Theodorus Christanto, Nagg oleh MN. Qomaruddin, dan
Nell oleh Arsita Iswardhani. Pada kesempatan ini saya menonton 2 kali pentas
dalam versi pentas untuk pelajar-mahasiswa dan versi pentas untuk kalangan
teater.
Membandingkan dua
pertunjukan Teater Garasi ada yang berbeda dalam hal menghadirkan situasi
absurd yang menjadi pesan utama dari naskah Endgame
karya Samuel Beckett ini. Situasi absurd yang menjadi pesan utama naskah ini
kadarnya sedikit-banyak telah berkurang. Berkurangnya ini pada hubungan yang
terasa akrab antara Clov dan Hamm. Mereka tidak ubahnya berada dalam hubungan
seorang tuan dan budaknya sebagaimana lazimnya yang ada. Bukan bertumpu pada
wujud kegagalan komunikasi yang terjadi di antara keduanya. Sebab situasi
absurd lakon ini berada pada komunikasi antara Hamm dan Clov. Kedua tokoh ini
menentukan sekali dalam lobang—istilah Hamm—antah berantah sebab penonton hanya
tahu sepotong panggung setengah lingkaran dari papan-papan kayu yang tersusun
rapi. Yang menghubungkan mereka dengan
dunia luar hanyalah dua jendela dan itu pun dari penglihatan Clov. Kita
tahu Clov adalah tokoh bego lantaran mengalami keterbelakangan mental sebagaimana
dalam cara menanggapi dirinya dan situasi panggung. Keterbelakangan mental
terwujud dalam setiap gerak tubuhnya.
Sementara Hamm
hanya bisa mengandalkan Clov untuk mengetahui dunia di luar sana yang dikatakan
lautan dan timbunan sampah dari dua lobang jendala. Sekalipun Hamm memiliki
tingkat analitis laiknya orang ber-IQ tinggi. Dengan demikian, penonton juga
hanya mengandalkan pada Clov tentang apa-apa yang ada di luar panggung.
Situasi absurd
terwujud dari proses komunikasi tidak sambung di antara keempat aktor,
khususnya aktor Hamm dan Clov. Sepanjang 2 jam lebih komunikasi intens di
antara kedua tokoh ini, juga dengan tokoh Nell dan Nagg yang kakinya buntung
dari dalam tong. Keempat tokoh memiliki pikiran dan maksud sendiri-sendiri dan
mengabaikan kegagalan komunikasi satu sama lainnya. Tetapi komunikasi terus
berlangsung sekalipun satu sama lain aktor gagal dalam mewujudkan komunikasi
yang mengacu pada satu topik yang saling dipahami.
Selain maksud
yang tidak sampai pada masing-masing tokoh, situasi absurd makin merasuk
apabila komunikasi tidak sambung tersebut memiliki efek yang kuat. Efek tersebut berupa
kemasgulan, ketololan yang berlangsung terus-menerus, kebodohan yang dipelihara yang diterima penonton terhadap
apa yang terjadi di atas panggung. Situasi ini semakin intensif manakala Hamm
dan Clov benar-benar tidak berhasil mengikatkan satu sama lainnya dalam
komunikasi sekalipun mereka terus bicara satu sama lain.
Tidak sambung
komunikasi dalam percakapan intensif di antara mereka telah diantisipasi dengan
model panggung yang cukup mendukung pada pentas ini dibandingkan dengan pentas
tahun 1999. Bentuk panggung setengah lingkaran tertutup rapat dengan dunia luar
kecuali dua jendela kecil yang tertutup tirai dan daun jendela. Sementara Nell
dan Nagg terjebak dalam tong berpenutup dan tidak bisa ke mana-mana, kakinya
tidak lain bonggol—dalam perkataan Hamm yang tidak lain anaknya sendiri. Dari
sisi panggung, pentas Teater garasi ini telah memberi pengalaman yang istimewa
dan matang.
Sementara itu
dalam konteks waktu yang berbeda, ada situasi lain yang terjadi di luar sana.
Kegamangan yang menyertai pada 1999 tidak terjadi hari ini. Kegamangan
perubahan sistem yang menjadi latar belakang kuat pada waktu itu, membuat cara
mengalami panggung berbeda. Saat ini, 2013, sistem sosial maupun politik telah
bekerja walaupun tidak efektif. Tidak ada ancaman yang sifatnya darurat yang pernah
terjadi pada 1999. Penonton masuk dalam ruang pertunjukan tidak membawa trauma
sosial politik sebagaimana penonton pada 1999. Memang persepsi penonton tidak
mempengaruhi fakta yang muncul di atas panggun, tetapi benak penonton juga
memiliki pengalaman dan harapan yang berbeda. Terutama ketika penonton tersebut
tidak memiliki acuan sebagaimana penonton yang pernah melihat pertunjukan
Teatar Garasi pada 1999 bukan hanya tidak sempat menonton tetapi juga karena
faktor generasi yang lebih muda. (Imam Muhtarom)
Publikasi di Jawa Pos, 7 Juli 2013
0 comments:
Post a Comment