Perempuan bernama Paulina tidak henti-hentinya berlarian di dalam ruang
tamu dan kamar-kamar ketika suara pintu rumahnya diketuk. Perempuan itu
gemetaran, wajahnya menegang, matanya melotot tak tentu arah, dan pistol siap
meletus tergenggam di tangannya. Perempuan itu tergesa mematikan lilin di tiga
meja begitu pertama suara ketukan terdengar. Ketegangannya mencair begitu yang
masuk adalah Gery, suaminya sendiri.
Pada adegan lain ketakutan berlebihan ini terulang begitu pintu rumahnya
terdengar ketukan. Ia berlarian mencari pistolnya, lari ke persembunyian di
balik pintu kamar, bersiaga terhadap sergapan musuh. Matanya mengincar ke arah
pintu siapa-siapa yang masuk ke rumahnya. Lagi-lagi tidak ada musuh kecuali
Jane seorang perempuan yang tinggal sementara di dalam rumah mereka. Ketegangan
itu mencair seketika dan pistol siap sedia itu tidak jadi menyalak.
Kali ini Teater Satu Lampung mementaskan lakon Maut dan Sang Perawan karya Ariel Dorman yang diambil dari
terjemahan The Death and the Maiden.
Pementasan lakon tragik ini dihela di Teater Salihara Jakarta, 12-13 Juli 2013.
Teater ini menyusun panggungnya berupa ruang tamu yang berisi sofa, meja makan,
meja kerja, rak-rak buku di sisi kiri, deretan botol minuman, lukisan abstrak,
dan tembok dalam cat bercak-bercak. Sebuah rumah, walaupun lebih dekat interior
rumah di negeri ini dan bukan khas rumah di Chile.
Paulina yang diperankan Ruth Marini sepanjang pentas ini berjalan hilir
mudik mengitari panggung berupa ruang tamu menunjukkan ketergesaan, mata
menatap tajam namun cenderung kosong, tak henti-hentinya merokok. Dialog-dialog
yang keluar dari mulutnya meledak-ledak, emosinya tidak stabil, dan urusan
dongkrak suaminya yang dibawa ibu Paulina menjadi serius. Dongkrak sebagai pengantar
saja pada urusan yang berlapis-lapis dalam pasangan itu. Betapa ketakutannya
Paulina pada keadaan ibunya yang sama-sama perempuan sedang melakukan
perjalanan melintasi padang kosong. Ia begitu cemas seorang perempuan tua tanpa
dongkrak. Sementara kaum lelaki macam Gery suaminya tidak terima dongkraknya
lepas dari tangannya. Dan dongkrak itu pulalah menyebabkan seorang dokter hadir
di antara mereka. Robert Miranda, nama dokter itu, tokoh penentu sekaligus
gambaran betapa pahitnya politik di Chile selepas rubuhnya perintahan Allende
dan terbentuknya kekuasan diktator Pinochet pada 1975.
Dokter Miranda masuk dalam alur hidup pasangan Paulina-Gery ketika Gery
dalam perjalanan pulang bannya kempes. Dalam mobilnya tidak ada dongkrak sehingga
ia harus menunggu 45 menit berdiri sepanjang jalan padang kosong di daratan
Chile. Itu tahun 1990. Datang dokter paruh baya itu dan membantu si Gery yang
diperankan Budi Laksana. Dari situ si dokter tahu bahwa Gery merupakan anggota
badan rekonsiliasi korban HAM. Malam naas itu si dokter datang lagi dengan
membawa ban serep yang menurutnya penting ia berikan mengingat vitalnya ban mobil
itu bagi kelancaran anggota komisi HAM yang besok akan menjalankan tugasnya.
Dokter yang diperankan Iswadi Pratama dengan penampilan tenang, penuh
perhitungan ketika mengutarakan kalimat-kalimat dalam perbincangan memberi
sentuhan berbeda dalam rumah Paulina-Gery. Sementara dialog Gery-Paulina
merupakan dialog dalam ritme cepat, penuh emosi, dan menyangkut riwayat kedua individu,
dialog Gery dan dokter adalah dialog datar yang anggun. Gery dan dokter
berbincang-bincang akrab, minum anggur, sembari diskusi peran si Gery dalam komisi
penyelidikan HAM. Namun di situlah awal dari malapetaka dalam lakon Maut dan Sang Perawan yang pernah
difilmkan pada 1994 oleh Roman Polanski dibawah
tajuk Death and the Maiden.
Bukan tidak ada riwayat dari masa lampau Pauline yang membuatnya selalu
berjalan berputar-putar di dalam rumahnya, terus-menerus menghisap rokok,
bicaranya ketus, dan matanya melotot ke lawan bicara. Ia adalah korban
perkosaan pada April 1975 pada masa transisi Allende yang komunis ke Pinochet
yang diktator pseudo-demokrasi yang disokong AS. Paulina anggota komunis yang
masuk daftar pemeriksaan dan penggeledahan.
Bagusnya, dalam lakon itu dan juga naskahnya tidak ada satu kata pun muncul
nama politisi tersebut dan politisi lain, bahkan menyinggung pemikiran kedua
rezim itu. Cara ini menghindarkan lakon terjerumus pada pernyataan-pernyataan
verbal. Yang muncul dalam panggung adalah duka Paulina yang harus merendam
traumanya sepanjang 15 tahun setelah peristiwa perkosaan yang ia amat yakin
dilakukan oleh dokter Miranda. Ia katakan pada Gery suaminya bahwa ia yakin
bahwa pemerkosa itu tidak lain si dokter yang akhirnya menginap di rumahnya. Ia
sekap dokter itu di bawah todongan pistol, ia gampar kakinya dengan palu, ia
pukul hingga berdarah-darah. Paulina yakin sekali bahwa dokter yang belum
sampai 12 jam dikenal suaminya itu adalah pemerkosa sistematis yang dilakukan
pada dirinya dalam keadaan tidak makan selama 3 hari. Paulina menjadi ekperimen
seksual si dokter antara sengatan listrik dan hasrat seksual.
Sulit memang menerima argumentasi Paulina bahwa dokter itu pemerkosanya
hanya karena ia yakin suaranya, warna kulitnya, nama Nietzsche yang
disebut-sebut saat terjadi pemerkosaan, dan musik Schubert. Gery, suaminya yang
pengacara itu, tahu benar menerima alasan subjektif tidak bisa diterima dalam
bahasa hukum. Namun Paulina yang hidup dalam ketakutan dan trauma oleh
pemerkosaan sadis itu juga memiliki bahasa sendiri. Bahasa korban yang tidak
mendapat dukungan legal dan formal untuk menyuarakan kesakitannya. Paulina
mewakili suara-suara pemerkosaan di mana pun, tidak saja terjadi di Chile,
tetapi juga di Indonesia pada 1998, di Bosnia pada 1995, di dataran Afrika, dan
bahkan di Mesir baru-baru ini yang terjadi secara brutal di tengah demonstrasi.
Suara Paulina menggaungkan suara terbungkan dari sekadar ekses-ekses politik
yang sangat ditentukan oleh kaum lelaki.
Pertunjukan lakon Teater Lampung selama 2 jam lebih sedikit oleh sutradara
Iswadi Pratama ini mampu memberikan peristiwa di panggung yang mencekam dalam
bentuk realis. Adegan-adegan berkisar di dalam rumah, tepatnya ruang tamu dan
kamar kecil berisi 1 meja kecil dan 1 kursi. Sementara peristiwa di gudang,
garasi, dan kamar terdengar suara-suara para aktor. Panggung yang berkisar pada
dominan ruang tamu ini dapat memberikan pantulan apa yang terjadi di luar
panggung baik di jalan ketika si Gery dan Miranda berjumpa, waktu si Paulina
keluar rumah dini hari menyembunyikan mobil dokter Miranda, dan kepanikan
keluarga dokter Marlena yang melabrak ke rumah Gery-Paulina. Persoalan antara
Paulina-dokter Miranda-Gery meluas menjadi urusan ibu Paulina, anak dokter Miranda,
Jane, tukang kebun, dan tukang perah susu. Sebelumnya, penyekapan oleh Paulina
mengancam posisi Gery di Komisi Penyelidikan HAM.
Traumatik yang dialami Paulina sebagai korban pemerkosaan oleh dokter
menjadi trauma bagi kehidupan sekelilingnya. Paulina terjaga dalam mempertahankan
ketegangan psikis, kegelisahan yang telah berubah menjadi psikosis sepanjang
permainan. Hanya soal pelafalan kata-kata yang sering tidak jelas lantaran
mungkin mengejar ritme adegan yang terlalu cepat. Soal pelafalan kata yang
tidak jelas ini terjadi juga pada Gery dan anak dokter Miranda.
Hingga pertunjukan berakhir penonton tidak tahu pasti apakah benar dokter
Miranda seorang pemerkosa Paulina 15 tahun lampau. Pasalnya, dokter Miranda
membuat pengakuan tertulis dan rekaman atas pemerkosaan pada Paulina di bawah
todongan pistol Paulina. Saya kira situasi dilematis ini bukan hendak
mengganggu bangunan lakon oleh Teater Satu Lampung, melainkan justru masuk ke
masalah pokok. Bahwa, kenyataan itu—di Chile dan bisa di mana pun—tidak sejelas
sebagaimana dibayangkan. Namun kenyataan yang pahit itu ada dan dekat kita di
sini. *** (Imam Muhtarom,
kritikus seni)
Terbit di Pikiran Rakyat, Minggu, 28 Juli 2013
0 comments:
Post a Comment