Oleh
Imam Muhtarom
Tuan Tanah Kawin Muda1964 170x89 cm |
Bagi Djokopekik, melukis adalah soal keyakinan, pilihan hidup, dan tidak tergantikan oleh apa pun. Ketika ia keluar penjara pada 1972, ia memilih menjahit dan berdagang batik lurik. Pada 1974 Djokopekik dengan 4 orang anak dan 1 istri, hidup dalam himpitan secara ekonomi, sosial, dan politik. Tidak ada akses apa pun bagi dirinya untuk hidup layak dan sejajar dengan manusia lain.
Namun, ia tidak mundur oleh kesulitan itu.
Justru dalam keadan sulit muncul karya berjudul Memanah Matahari. Karya
tiga dimensi ini ciptaan Djokopekik pada 1966 ketika ia menjadi tahanan penjara
Wirogunan Yogyakarta pada 1965-1972.
“Karya Memanah Matahari kubuat sebagai
ungkapan rasa kegembiraan ternyata tetap bisa berkarya di dalam penjara,” kata
Djokopekik.
Karya ini paradoks bila melihat konteks
Djokopekik berada saat itu dan karyanya ini. karyanya tidak menggambarkan apa
yang ia alami saat itu yang penuh penderitaan. karya Memanah Matahari tampak
sebagai realitas ideal yang Djokopekik idamkan yang tidak terjamah saat ia
dipenjara.
Kisah karya ini berawal dari Moes Soebagyo
yang mendapat pesan dari Bung Karno. Djoko Pekik ditahan pada 1965. Pada 1966
Bung Karno yang saat itu masih presiden
datang ke Magelang meresmikan sekolah
militer, AMM. Bung Karno kepada komandan CPM (Corps Polisi Militer) daerah Yogyakarta, Moes Soebagyo, memberikan perintah: “Moes, semua
seniman-seniman Yogya jangan ada yang dibunuh. Bikin seniman itu susah. Kalau
bikin insinyur dan dokter itu mudah.” Moes sangat menghormati Bung Karno. Moes
melaksanakan titah itu. Namun, kata Djokopekik,
saat itu pelukis Trubus sudah telanjur hilang.
Lewat Moes, Bung Karno perintahkan Djokopekik
bikin karya. Sekalipun dia ditahan, diingatkan kepada Moes untuk tidak menyiksa
seniman Sanggar Bumi Tarung, lembaga kesenian di bawah Lekra. Dalam tahanan di
Yogya, Djokopekik tidak mendapat siksaan. Justru Djokopekik mendapat ruang
khusus di penjara Wirogunan. Selama 1965-1972, ia tidak berkarya apa-apa
kecuali 1 karya patung berjudul Memanah Matahari. Karya ini masuk dalam
daftar pameran di Galeri Nasional pada Oktober 2013.
Selepas dari penjara Wirogunan, Yogyakarta,
tidak berarti Djokopekik bebas menorehkan kuasnya ke kanvas. Ia dilarang
beraktivitas dalam kaitannya dengan kesenian.
“Aku tidak boleh melukis, tidak boleh
berpameran, tidak boleh menerima undangan pameran. Memang secara fisik aku
bebas dari penjara, tetapi aku masuk “penjara” lebih besar bernama masyarakat
diskiriminatif,” kata Djokopekik.
Alhasil pada 1972-1989, Djokopekik tiarap.
Pada masa ini ia dan keluarganya benar-benar dalam kondisi sulit. Anak-anak
Djokopekik masih kecil-kecil. Mereka tumbuh dalam situasi sulit. Nihil Pakuril
(35), anak ke-4 Djokopekik dari 8 bersaudara, masih ingat betul bagaimana harus
menerima perlakuan diskriminatif, terutama di sekolah. Ia bersama
saudara-saudaranya sudah biasa dikatakan ‘anak PKI’ dari kawan-kawannya di
sekolah.
Selama masa pelarangan itu Djokopekik bukan
mati secara kreatif. Simbol celeng yang menjadi ciri khas Djokopekik justru
sudah muncul pada 1965. Simbol celeng bagi Pekik menggambarkan keangkaramurkaan
dan keserakahan penguasa baru saat itu. Celeng mewakili sifat membabi buta,
merusak, jalannya lurus tidak bisa belok, jorok kehidupannya, dan matinya hina digebuki
orang banyak.
Hanya saja, Pekik tidak mungkin memindahkan
simbol celeng di atas kanvas pada masa itu. Ia bersiasat agar tidak menjadi
korban rezim Soeharto. Hingga pada 1993 lukisan Djokopekik berkisar tentang
kehidupan sehari-hari dan menjauhi kritik langsung pada kekuasaan Soeharto.
Setelah lepas dari penjara Wirogunan pada 1972, karya pekik antara lain Korban
Vasektomi (1975), Penebang Kayu (1978), Pencari Pasir (1986),
Bukit Parangtritis (1988), Keretaku Tak Berhenti Lama (1989), Anak
Warung Nasi (1992).
Keretaku
Tak Berhenti Lama (150x150 cm) ia lukis pada 1989. Sebuah lukisan kereta
api yang melintas di bawah jalan layang berjejal para penunpang. Di luar kereta
terlihat massa juga tengah menunggu. Djokopekik mengatakan lukisan itu beranjak
dari keprihatinannya pada akhir 1980-an itu di Jakarta Barat menyaksikan kereta
penuh berjejalan penumpang. Mereka adalah para buruh pabrik, pedagang kecil,
karyawan kecil, pengemis, pengamen. Karya ini tidak lain tanggapan terhadap
situasi yang dihadapi rakyat kecil yang kehidupannya menderita akibat negara
yang tidak berpihak pada mereka.
“Melukis di zaman Orde Baru harus menggunakan
siasat sluman, slumun, slamet agar terhindar dari penguasa. Tidak
mungkin kita menghantam tembok kekuasaan langsung. Kepala kita sendiri akan
pecah. Aku tidak mau konyol,” kata Djokopekik.
Pelukis kelahiran Purwodadi, Grobogan, Jawa
tengah pada 1938 ini komitmennya dalam melukis tidak tanggung-tanggung. Tidak
hanya berkaitan dengan gagasan, tetapi juga material untuk melukis. Ia tidak
mau memakai bahan dengan kualitas rendah. Sekalipun hidupnya serba kekurangan
ia menggunakan cat minyak merek Rembrandt dalam melukis. Caranya? Ia pergi ke perupa Affandi dan minta
sisa-sisa cat minyak untuk melukis. Saking miskinnya ia sampai minta celana
kolor milik Affandi. Celana kolor itu oleh Djokopekik ia simpan sampai kini.
Pada 1996 ia melihat waktu yang tepat untuk
mengungkapkan komentarnya terhadap penguasa. Saat itu dua tahun Orde Baru di
ambang keruntuhannya. Di pihak lain suara-suara yang dibungkam rezim mulai
mendapat tempat. Rezim mulai kewalahan membendung kritik dari rakyat. Maka ia
melukis Susu Raja Celeng (139x180 cm).
Simbol hewan celeng pada lukisan ini menjadi
awal dari karya-karya Djokopekik dalam
menanggapi rezim Orde Baru yang amat berkuasa. Binatang yang telah Pekik akrabi
sejak kecil ini menjadi idiom yang paling mewakili dari perkembangan situasi
politik dan sosial. Celeng atau babi hutan dalam budaya Jawa pinggiran yang
membesarkan Pekik berarti binatang terjelek dan tidak lain dari penjelmaan
setan pencari harta dengan jalan mencuri. Celeng juga menjadi bagian
ketidaksadaran Djokopekik ketika ia harus menghuni penjara dan di dalam penjara
ia mendapat berbagai perlakuan menjijikkan dari tentara.
‘Celeng, asu, bajingan!’ adalah umpatan atau pisuhan
yang menjadi bagian dirinya ketika mendapat perlakuan keji dari para penguasa
sejak 1965.
Maka, pada 1999 di Galeri Nasional Jakarta 3
karyanya dipajang dalam pameran tunggal. Ketiga karya tersebut: Susu Raja
Celeng, Berburu Celeng, dan Tanpa Bunga dan Telegram Duka.
Jelas, ketiga karya ini adalah ungkapan kepada rezim Orde Baru yang baru runtuh
setahun sebelumnya.
14 tahun kemudian, tepatnya Oktober 2013, baru
Djokopekik pameran tunggal lagi yang bertajuk Zaman Edan Kesurupan.
Pameran ini memajang 32 karya baik karya milik kolektor maupun karya sendiri.
Dari keseluruhan karya terbilang baru ada 5, itu pun mulai tahun 2011 hingga
kini. Jika pada awal tahun 2000-an dengan dimulainya era reformasi, kekuasaan
menyebar di daerah-daerah. Tidak terdapat sentrum lagi. Era ini dalam pandangan
Djokopekik semua penguasa ia ibaratkan lengji lengbeh (celeng siji
celeng kabeh), yang artinya saat ini semua menjadi celeng. Kini, 13 tahun
kemudian, kondisinya tambah menyedihkan. Semua penguasa di lembaga negara, baik
di pemerintahan pusat dan daerah, tidak ada yang dapat dipercaya. Bahkan,
lembaga yang dianggap berperan sebagai pawang untuk menahan laju kebobrokan
negara, justru ikut terlibat, yaitu Mahkamah Konstitusi.
Pawang Kesurupan2012 350x200 |
Dalam lukisan Pawang Kesurupan ukuran
350x200 cm (2012), dilukiskan penegak hukum tampak kesurupan dalam sebuah
adegan jaranan. Penegak hukum itu makan ayam, lalu 2 penari lainnya terlihat
makan menyan. Sementara di kursi belakang dua hakim memegang tokek dan satu
hakim tengah bermesraan dengan perempuan.
Karya-karya Djokopekik di luar simbol Celeng,
merupakan karya spontan. Karya-karya ini respon dari keadaan ketidakadilan,
keangkaramurkaan kepada para penguasa. Atau juga tanggapan kepada kehidupan
rakyat yang sedang terjadi pada saat itu.
Akhir-akhir ini Djokopekik tidak terlalu
produktif menghasilkan lukisan. Bahkan, dalam pameran “Zaman Edan Kesurupan” di
Galeri Nasional ini hanya 1 lukisan yang ia buat selama 2013, yaitu lukisan
potret diri ukuran 115x70 cm.
Sekalipun tidak seproduktif tahun-tahun
sebelumnya, ia tidak mau melibatkan artisan. Komitmennya untuk menghasilkan
lukisan ia tunjukkan dengan melukis seorang diri. Ia lakukan seorang diri
mencuci kuas, mencampur cat, memasang spangram, bahkan mengangkat tangga.
“Artisan tidak akan tahu kapan sebuah sapuan
kuas harus terus atau selesai. Hanya saya selaku pelukis yang mengerti,” kata perupa yang suka menguncir
rambutnya.
Sebagai perupa senior di Yogyakarta,
Djokopekik menyambut kemajuan yang telah dicapai para perupa muda Yogyakarta.
Ia senang para perupa muda bisa kaya, bisa beli rumah, mobil daripada kere,
miskin, kelaparan seperti pernah ia alami. Asal, pesan Pekik, tidak korupsi dan
maling yang menyebabkan orang lain sengsara. Kepada perupa muda ia mengatakan
bahwa soal kebesaran karya biarlah waktu yang mengujinya.
Kita tidak ragu akan vitalitas dan semangat
Djokopekik untuk menggali tema-tema kerakyatan dan keadilan sosial yang belum
terselenggara di republik ini. Maka, pada akhir pidato pembukaan pameran di
Galeri Nasional Jakarta, 10 Oktober 2013 yang lalu ia pun berseru dengan lantang, “Revolusi belum
selesai!”***
Imam Muhtarom,
pengamat seni rupa dan mahasiswa pasca-sarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya, Universitas Indonesia.
Terbit di harian Sinar Harapan, Sabtu, 22 Maret 2014
0 comments:
Post a Comment