Ular "Tempuran"

right by detik.com
Sore itu aku putuskan untuk turun sungai. Aku lihat kaki langit tidak begitu gelap di utara. Udara terasa lebih dingin. Semburat matahari sebagian berhasil keluar dari jepitan awan di sisi barat. Senja datang agak terlambat, pikirku. 

Aku periksa peralatan turun sungai di belakang dinding dapur. Aku lihat muncul karat di ujung besi yang kuambil dari lajur besi di bengkel tetanggaku. Muncul karat juga di besi yang melingkar tempat mulut jaring menangkap ikan. Aku turunkan peralatan itu dari dinding gedhek. Aku bongkar aki yang berada di dalam kotak. Aku periksa kabel-kabel masih berada pada posisinya semula. Kemudian aku tekan saklar di kayu yang berujung besi itu.

"Therrrrr…." Terdengar sekaligus muncul getaran dari lajur kayu yang bersaklar itu. Bunyi itu memastikan alat setrumku dapat bekerja dengan baik. Aku bisa turun di sungai malam nanti. Aku harap tidak ada hujan yang turun di daerah hulu. Hujan akan menggagalkan upayaku mendapat ikan-ikan segar di Kali Ewuh. 

Aku mandikan dua anakku sore itu. Dua anak laki-laki yang berumur 8 dan 5 tahun. Aku namai mereka Jito dan Muhamad. Jito berarti "jitu" dan Muhammad pimpinan agama Islam. Aku berharap kelak mereka akan hidup dengan nasib yang baik dan taat pada orangtuanya. 

Aku merasa dua anak itu anak yang baik. Tidak pernah merengek-rengek dibelikan benda atau mainan mahal, apalagi minta ponsel. Teman-teman sebayanya sudah berponsel semua. Anakku kularang meski alasan sebenarnya tidak ada uang untuk membelikannya. 

TV pun hanya ukuran 15 inch. Kadang gambarnya hilang bila antena di atas genting kena tiupan angin dari arah persawahan di sebelah timur rumah. Tiupan angin itu tidak hanya mengganggu sinyal tangkapan siaran televisi, tetapi juga menusuk pada kulit kami sekeluarga. Dinding rumahku merupakan susunan anyaman bambu tinggalan almarhum bapak. Bila angin dari arah persawahan bertiup kencang pada malam-malam yang gelap, seisi rumah segera membuntal badannya dengan apa saja. 

Angin itu seperti memukul-mukul seluruh punggung dinding. Suara angin itu seperti kelebatan burung besar yang paruhnya memukul angin. Angin tampak hidup dalam kepala Jitu dan Muhammad. Mungkin seperti makhluk di kegelapan yang tersisa hanya matanya sementara badannya menyatu dalam kegelapan.

Jika sudah begitu, kedua anakku berebut untuk kupeluk untuk menghilangkan dingin sekaligus bayangan makhluk dengan dua mata pijar di kegelapan. Kurasakan debur napas dari lubang hidung mereka berdua. Keempat lengan kecil-kecil itu merangkul ke leherku. Mereka berduyun-duyun agar mendapat kehangatan yang paling banyak dariku. 

Tidak begitu lama mereka akan terlelap. Rangkulan lengannya yang erat berubah menjadi longgar. Napasnya menjadi datar kembali. Pada saat itu aku rebahkan Jito dan Muhammad di dipan beralas tikar pandan itu. Kututupi kedua makhluk kecil ini dengan kain agar badannya tetap hangat. Kain tipis dan kumal. 

Malam itu, tidak beda dengan malam-malam aku turun ke sungai, kutidurkan anakku dengan cepat. Tidak ada rengekan yang biasanya menimpa anak-anak kecil di tengah malam buta. Anakku tergolong mudah tidur dan itu menolongku untuk segera menyiapkan peralatan setrum.

Ini malam yang lancar, kataku dalam hati. Sebelum turun ke sungai aku selalu pastikan kondisi anak-anak apakah segera dapat tidur atau malah rewel sampai jelang tengah malam. Apabila anak-anak dapat segera tidur itu pertanda pekerjaanku menangkap ikan di sungai lancar juga. Tetapi bila anak-anak rewel sehingga tidak bisa tidur, aku urungkan keberangkatanku ke sungai. Aku pernah berkali-kali terus ke sungai di malam buta meskipun anak-anak rewel. Menangis terus dan tidak tahu apa yang mereka inginkan. Aku serahkan anak-anak ke istriku, lalu aku pergi membawa peralatan setrum ke sungai. 

Apa yang terjadi di sungai? Aku tidak menjumpai ikan-ikan kecil maupun udang. Aku tidak tahu ke mana ikan-ikan itu berada. Padahal aku sudah hitung bahwa aku dua minggu tidak turun ke sungai itu. Aku tahu tidak ada tukang setrum ikan yang berani ke sungai itu. Sungainya kecil. Tidak lebih dari dua meter, malah di bagian tertentu hanya satu meter dan aliran airnya kencang. 

Sungainya berada di jurang yang cukup dalam. Di sisi kanan kiri bahu jurang berbagai ukuran batu dan pepohonan besar. Dasar sungainya pun padas dan kalau tidak hati-hati bisa terpelanting oleh desakan arus air dan dasar sungai yang licin. Di sungai demikian banyak sekali yang tidak terduga bisa terjadi. Sungai itu bernama Sungai Ndosewu.

Setahuku tidak ada orang yang berani turun membawa alat setrum di sungai itu. Herannya, kenapa aku hanya bisa membawa pulang seperempat kilo ikan bersih. Biasanya aku bisa memperoleh hingga lima kilo ikan bersih. Apalagi di sungai itu! Bisa lima kilo lebih.

Berkali-kali terjadi seperti itu. Aku selalu tidak beruntung bila berangkat meninggalkan anak-anak rewel. Dan istriku berjuang sendirian menentramkan anak-anak. Aku tidak percaya itu membawa nasib buruk di sungai. Ayahku tidak pernah mengatakan pantangan itu kepadaku, juga kakekku. Mereka berdua adalah guruku untuk urusan mencari ikan di sungai. Tetapi seingatku mereka belum pernah bicara soal keluarga dan kaitannya dengan peruntungan di sungai. Memang, dalam ingatanku ayah rasanya turun ke sungai dalam keadaanku anak-anaknya tenang. Aku mengingat betul masa kecilku bersama ayah. Hanya saja, ayah tidak bicara sepatah pun soal ini.

***

Pukul 11 malam aku minta istriku antarkan aku di hilir di Sungai Ewuh, di sekitar Desa Jajar. Tepatnya di area "tempuran" Sungai Ewuh dan Sungai Brantas. Tempuran artinya bertemunya aliran Sungai Ewuh dengan aliran Sungai Brantas. Karena Sungai Brantas lebih besar ukuran dan jumlah airnya, Sungai Ewuh hilang ditelan kebesaran Sungai Brantas.

Aku turunkan segala peralatan dari motor. Kotak kayu berisi aki di punggung, kepis di panggul kanan, lampu senter di kepala, tangan kanan membawa batang kayu yang terdapat saklar dan berujung besi, dan tangan kiri memegang kayu yang berujung jaring. 

"Aku berangkat, Ti," kataku pada Surti, istriku. Kutatap sekilas dan kudengar 'Ya, Mas' dari istriku di kegelapan. Aku berjalan ke bawah melalui rumputan. Kucari bagian sisi sungai yang agak dangkal, yang tidak melebihi ketinggian pahaku. Aku dengar suara motor yang ditumpangi istriku melintas di jalan atas bersama sepintas cahaya motornya meloncat-loncat di atas pepohonan yang gelap.

Aku turun di sungai tempuran. Airnya tidak terlalu dingin. Aku duga tidak ada hujan di daerah hulu sana. Permulaan yang bagus. Bismillah, doaku dalam hati. Aku berjalan pelan di antara arus air yang lemah. Perlahan air semakin tinggi hingga mencapai dengkulku. Aku menyisir di bagian pinggir untuk mencari kedangkalan. Aku menghindari kotak akiku tenggelam agar tidak konslet dan mati. Meskipun aki tegangan istriknya sama dengan tegangan listrik rumah. Cukup untuk membunuh seekor kerbau. 

Di kawasan tempuran tidak ada ikan kecil-kecil seukuran jari manusia dewasa. Biasanya ikan-ikan besar nila atau gurami atau emas atau lele atau patin. Cuma jarang dan itu pun sukar ditangkap, apalagi dengan jaring diameter tidak lebih dari satu meter macam milikku. Kalau ada ikan demikian sampai tertangkap jaringku, itu berarti ikan sial dan aku tukang setrum yang beruntung. 

Seraya mencari dasar sungai yang padat dan dangkal aku tekan saklar di tangan kanan. Sementara tangan kiri memegang kayu jaring di belakang besi yang teraliri listrik. Cahaya lampu di kepalaku menerangi antara jaring dan besi berlistrik. Selain itu adalah kegelapan. Tidak ada yang tampak kecuali apa yang ada di depanku walaupun aku tahu aku berada di daerah tempuran. Di belakangku adalah arus besar Sungai Brantas yang dihuni berbagai makhluk besar. Meski belum pernah melihat langsung aku yakin ada buaya atau ular besar di area tempuran. Tapi, aku tidak takut. Aku tidak mengganggu mereka dan tidak mencari mereka. 

Aku butuhkan ikan-ikan kecil sebesar jari-jari manusia dewasa. Ikan-ikan kecil ini untuk santapan orang-orang di kota untuk dibuat rempeyek. Rempeyek tersebut dijual restoran uceng. Uceng sejenis ikan lebih kecil dari jari orang dewasa, licin, dan suka hidup di area sungai yang dangkal dan deras. Itu saja, yang aku katakan dalam batinku. Anehnya, aku tidak pernah takut di kegelapan seorang diri di sungai. Walaupun, segala sesuatu bisa terjadi pada diriku.

Benar, aku tidak bertemu dengan ikan gurami atau ikan mas yang lagi sial. Aku hanya bertemu dengan ikan wader di area tempuran itu. Ikan wader gesit bila di air yang tenang dan dalam. Aku kira wader-wader itu lagi berkejaran dan tidak sengaja masuk ke dalam jaringku. 

Aku bergerak ke arah hulu sungai. Kegelapan sungai menjadi hidup dalam diriku oleh arus sungai dan serangga malam. Suara serangga malam bersahut-sahutan di kegelapan malam. Malam itu tidak banyak kunang-kunang yang bertaburan di udara. Ada beberapa di ketinggian di atas sungai. Jadinya, sebuah kegelapan yang pekat di tengah sungai.

Aku terus berjalan ke arah hulu. Bahu sungai di kanan-kiri sungai kian meninggi. Lebar Sungai Ewuh menjadi kian menyempit. Semakin ke arah hulu semakin banyak dijumpai batu-batu seukuran pos ronda. Aku suka di daerah berbatu begini. Di bawahnya biasanya banyak ikan bersembunyi. Ikan wader dan ikan uceng suka tinggal di area berbatu, terlebih uceng. Jaringku tidak lelahnya bergerak terus menangkapi ikan-ikan kecil yang jumpalitan kena sengatan listrik. Jarak 1 meter lebih dari ujung besi berlistrik ikan-ikan kecil itu jumpalitan. Ada yang bisa melarikan diri ke atas atau melompat menghindari sengatan listrik, ada pula yang jatuh berguguran lantaran tak sanggup menahan sengatan listrik.

Daerah berbatu ini kutempuh setelah dua jam perjalanan. Kalau tidak salah ini di pinggir Desa Gading. Dari area tempuran kurang lebih dua kilometer. Kepisku sudah berisi setengah. Ikan-ikan kecil yang gurih yang segera dikupas istriku dan disetor ke restoran kota kecamatan. Tambah berat rasanya jalanku. Namun semangat terus bertambah mengingat akan penuh sebelum subuh nanti. 

Tidak berapa lama aku masuk tikungan. Sungai itu sedikit berbelok ke kanan. Bahu sungai lebih menyempit membentuk tebing ke atas. Pepohonan besar tumbuh di tebing-tebing. Pohon-pohon itu tumbuh berbelitan dengan rimbunan pohon bambu. Sehingga dahan dan dedaunan pohon menutup bagian atas sungai. Sungai itu menjelma lorong panjang yang berisi air yang berarus deras dan batu-batu. Batu-batu besar itu letaknya tak beraturan sehingga air sungai terasa terjepit oleh bebatuan tersebut. Air sungai menjadi lebih deras menghindari jepitan batu-batu sungai. Buih-buih mengapung di atas arus air. Terdengar gejolak air sepanjang area tersebut. 

Tak ada apa-apa di tengah lorong itu kecuali kegelapan. Kegelapan yang ditingkahi derasnya air sungai. Aku arahkan ujung besiku di sela-sela batu yang terhindar terpaan arus air. Di sana banyak ikan-ikan, kadang terjaring nila sebesar telapak ikan. Rasanya kepisku tambah berat. Mungkin sebentar lagi akan penuh. Tidak sampai subuh. 

Aku terus berjalan di antara batu-batu sebesar kambing. Ujung besi berlistrik dengan gesit mencari air yang banyak ikannya, sedangkan jaringku dengan gesit pula menangkapi ikan. Pada saat kuangkat jaringku tak disangka tertangkap ikan nila sebesar satu setengah telapak tangan manusia dewasa. Aku tersenyum dalam hati. Akhirnya, malam ini aku mendapat hadiah, kataku dalam hati. Tepat aku angkat jaringku dari kejauhan di tebing sungai aku lihat dua mata menyala. 

Untuk beberapa saat aku diam. Tidak aku pedulikan ikan yang menggelepar di jaringku. Coba aku perhatikan lebih seksama dua mata menyala itu. Mata itu kurang lebih sepuluh meter dari posisiku. Sambil mengatur napas aku masukkan di jaring ke dalam kepis. Aku naik batu. Aku ingin lihat dua mata menyala tetapi yang tidak aku lihat sosok badanya.

Deg, ini pasti ular besar, batinku. Jarak sebesar jari di antara dua mata menyala itu menandakan ukuran ular itu minimal sebesar pahaku. Atau sebesar pohon pepaya di depan rumahku. Aku perkirakan panjangnya lima meter. Jarak di antara dua mata itu sebesar jari manusia.

Yang belum aku tahu, ini ular puspokajang atau ular sanca. Ular puspokajang akan membelit, sedangkan ular sanca memiliki bisa mematikan. Aku diam di tempat semula. Mata itu terus mendekatiku. Ular itu tertarik kepada cahaya dari lampu di kepalaku. Aku tidak tahu kenapa itu. Dalam hati aku hanya berkata, aku tidak mencari gara-gara, aku tidak berniat mengganggu siapapun. Tetapi aku akan menjaga keselamatanku diriku.

Posisiku tidak memungkinkan untuk kembali. Tidak ada kamus kembali dalam riwayat pencari ikan dalam silsilah keluargaku. Kakekku adalah pencari ikan dan segala makhluk di air. Ayahku juga. Dalam ceritanya, tidak ada pernah terlontar mereka balik karena menjumpai makhluk halus, ular, setan, atau Nyai Blorong. Semua dihadapi dengan baik. Modalnya hanya satu, mencari ikan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tidak ada selain itu. Doanya cuma itu. 

Aku tidak berbalik arah ke asalku turun sungai sesungguhnya bukan hanya kondisi sungai berlorong dan keberadaan ular puspakajang yang tiba-tiba muncul. Aku berani karena sudah ada di niatku untuk mencari ikan demi anak-anak dan istriku. Siapa saja yang menghalangi berarti bertaruh nyawa denganku, termasuk ular di depan itu.

Aku tahu persis area berlorong ini merupakan bagian dari Sungai Ewuh yang tidak biasa. Lamat-lamat aku ingat kawasan ini merupakan kawasan angker. Dulu, kata kakek kawasan ini untuk mencari pesugihan jenis Nyai Blorong. Seorang perempuan cantik yang bagian badan bawahnya berupa ular. Di antara sisik-sisik itu akan mengeluarkan emas bila ia menggerak-gerakkan badannya. Hanya saja, kau harus menyerahkan nyawamu, istrimu, atau anak-anakmu untuk dipersembahkan ke Nyai Blorong, kata kakekku.

Pelan, ular itu merapat ke arahku. Lamat-lamat aku lihat sosoknya. Batik. Puspakajang, pikirku. Aku tunggu ular itu sampai mendekat ke posisiku. Aku siapkan senjataku berupa besi berlistrik. Aku tidak tahu apa yang ada di benak ular besar itu. Mungkin aku mangsa yang enak di tengah sungai di malam jelang pagi ini. 

Aku merapat di tepi yang berseberangan dari mana ular itu berada. Aku buat jarak berupa bentang air yang mengalir. Ujung besi berlistrik aku celupkan ke dalam air. Demikian juga jaring di tangan kiriku, kucelupkan ke dalam air. Ular itu ada di seberang. Kulihat sosoknya sebesar pahaku. Motif batik warna cokelat tua. Tampak bagian bawah warna kuning dan keputihan. Kontras tanah yang gelap dengan bagian bawah badannya membuat ular itu berkilauan terkena sinar lampuku. Kulihat lidahnya menjulur-julur.

Aku merapat di sisi sungai. Ular itu mulai turun ke air, merangsek ke arahku. Di dalam air gerakan ular itu lebih lentur. Aku menghela napas dalam-dalam. Kupegang erat kayu berujung besi. Ini senjata pamungkas untuk menghadapi ular yang sanggup memangsaku itu. Badanku akan amblas digelibati tubuh ular itu, lalu dimangsa bulat-bulat. 

Ketika badan ular itu masuk ke air, tidak ada yang berubah. Air sungai tetap berbuih ketika menabrak bebatuan dan mengeluarkan bunyi riak. Serangga-serangga tetap mengeluarkan bebunyian dari kaki atau sayap-sayapnya. Seolah mereka menganggap hal biasa ketika salah satu nyawa akan tercerabut malam itu.

Bismilah…aku tekan saklar dengan jempol hari tangan kananku. Tak pelak seluruh bentang air di depanku tersengat listrik. Ular itu pun melonjak dari dalam air. Ia meronta. Tubuh sebesar pahaku itu meliuk-liuk tak keruan. Tubuhnya melintir tidak sanggup menahan sengatan listrik buatanku. Kulihat warna kuning keputihan ular puspakajang itu kian jelas di mataku. Seekor ular berbahaya yang indah, batinku. 

Aku terus tekan saklar berarus listrik dengan jempolku. Aku tetap tahan juga di dalam air jaring ikan. Ketika jaring dicelupkan ke dalam air dan ujung besir berlistrik dicelupkan di dalam air, aliran listriknya akan maksimal. Makhluk apa saja berkelojotan tersengat listrik buatanku, tak terkecuali ular puspakajang itu. 

Setelah lima belas menit berjibaku dengan sengatan listrik, kelojotan ular itu mulai mereda. Ia lemas dan hanya menunjukkan kejang-kejang. Bersamaan dengan itu ular itu mulai terbawa arus air. Ketika kuhentikan sejenak aliran listrik itu, badan ular itu tampak bergerak-gerak lagi. Aku salurkan listrik ke dalam air sungai lagi. Ia melonjak-lonjak sebentar kemudian meregang kaku. Tiada ampun aku salurkan listrik terus sampai lima belas menit. Ular puspakajang itu diam. Tubuhnya hanyut oleh air sungai dan kemudian tersampir pada sebuah batu. 

Kutusuk-tusukkan ujung besi berlistrik ke tubuh ular itu. Kupastikan ular itu mati. Ya, mati, ular itu terkapar sehingga tidak sanggup lagi menahan aliran arus air sungai. Kepalanya hanyut oleh air sungai, juga ekornya. Hanya bagian perutnya tersampir pada batu. Aku kagum pada keberanianku sendiri. Ular itu mati di tanganku sendiri. Jika tidak, aku yang mati dilahap bulat-bulat oleh ular puspakajang itu.

Rasanya badanku menjadi lemas usai memastikan kematian ular itu. Aku naik ke pinggir sungai, tersandar pada tepi sungai. Kulepas kotak kayu berisi aki dari punggungku. Aku lepaskan napas yang tegang dengan lega dari dadaku. Malam menjadi pekat diiringi suara riak air sungai dan tembang para serangga.

Aku putuskan untuk tidak membawa ular itu pulang. Aku tidak mau terjadi hal yang tidak-tidak di keluargaku. Aku tidak terlalu peduli dengan kisah Nyai Blorong itu. Tetapi bersikap hati-hati akan lebih baik. 

Di pengepul kulit, harga satu meter ular sebesar pahaku mencapai seratus ribu. Aku bisa dapat lima ratus ribu dari satu ular itu. Bisa untuk mencicil membeli bahan untuk membuat dinding rumah. Tetapi sebagian besar hidupku ada di sungai, demikian juga leluhurku hidup di sungai. Aku tinggalkan ular itu tetap di tempat ia mati. Aku hanya mengikat dengan tali di bahu sungai yang tidak terkena air. Tali itu untuk memastikan ular itu tidak hanyut oleh air sungai, seandainya tiba-tiba ada banjir.

Malam ini aku segara pulang, naik dari sungai. Kepisku sudah berisi hampir penuh. Aku mengira sudah mencapai lima kilo ikan bersih setelah dikupas, atau empat setengah kilo bersih usai dikupas. Seratus lima puluh ribu terbayang di benakku. Cukup untuk beli beras dan tabungan.

***

Esok paginya, tatkala aku balik ke sungai itu, batinku berdebar keras. Tidak sadar keringat dingin keluar dari pori-poriku. Di pinggir sungai itu aku hanya menemukan tali pengikatku semalam. Ular puspakajang itu telah lenyap. Aku pastikan sekali lagi bahwa aku tidak salah tempat. Semalam aku bertarung di daerah lorong ini. Namun, aku tidak menemukan apa-apa kecuali tali untuk mengikat ular itu saja. Aku juga tidak percaya ada orang yang datang lebih dulu dan mengambilnya. Daerah ini cukup jarang dicapai oleh manusia, kecuali orang semacam aku. Dan orang semacam aku di seluruh kecamatan hanya ada aku seorang. 

Baiklah, untung aku tidak membawamu pulang ular. Aku lihat sepintas bentang air tempat kami bertarung. Aku melangkah pulang dengan rasa syukur. Semoga kedua anakku dan istriku baik-baik di rumah.

Karawang, 2017

Dimuat di www.detik.com pada Sabtu, 7 Oktober 2017. 

https://hot.detik.com/art/3674172/ular-tempuran

0 comments:

Post a Comment

 

Buku Saya


Created with flickr slideshow.

Pemilik Blog

.

.

Translate

PageRank