Seni Rupa Kita Kini: Refleksi 2009


Seni rupa kita telah berkembang dengan cukup luwes. Dibandingkan dengan cabang seni lainnya, seni rupa telah berhasil melampaui batas-batasnya baik dari sisi aspek formalnya maupun dari sisi aspek ekstrinsiknya. Aspek formal tersebut seni rupa dengan cukup leluasa mempertimbangkan keragaman objek sebagai satu bahan dialog untuk berkreasi. Seni rupa bisa memanfaatkan dengan kepiawaian yang memadai bahan-bahan sekelilingnya dengan mempertahankan daya estetiknya. Kepiawaian ini bisa lantaran kejenuhan untuk bertahan pada dua dimensi (lukisan) dan mempertimbangkan karya tiga dimensi sebagai jalan keluar kemandegan kreativitas.

Kemudian pada sisi ekstrinsik karya seni rupa bisa merespons berbagai pekembangan isu yang berkembang di wilayah sosial-politik. Respons ini dalam sejarah seni rupa modern kita tampak begitu heroik pada masa-masa perebutan kemerdekaan dan masa-masa sesudahnya. Kepekaan karya-karya seni rupa pada kondisi bangsa menjelang kemerdekaannya hingga masa orde baru dan orde lama merupakan bukti tak terbantah bagaimana seni rupa menjadi bagian dari masyarakatnya.
Perkembangan dua sisi ini pada pekembangan selanjutnya mendapat akomodasi yang lebih luas dengan tumbuhnya pasar. Pasar seni rupa, terlepas dari naik dan turunnya, adalah satu fakta bahwa seni rupa menunjuk kan dialektika terus-menerus dalam rangka mempertahan kan daya hidupnya baik se cara ekonomi maupun estetis. Ekonomi seni rupa, terutama belakangan ini, menjadi indikator yang cukup kuat pada dunia seni rupa ke depan. Indikator ini meliputi, pertama, pasar seni rupa telah berhasil membangun sistemnya secara mandiri, namun pada saat yang sama, kedua, sistem pasar yang mandiri tersebut langsung maupun tidak langsung mengintervensi pekembangan kreativitas itu sendiri.
Jika indikator ini kian hari semakin menguat dan mampu mengorganisasikan diri secara adekuat maka mau tak mau pasar memang berada pada posisi yang secara meyakinkan untuk menentukan berkembang tidaknya dunia seni rupa itu sendiri. Begitu sistem pasar yang mandiri tersebut bekerja maka akan muncul preseden yang negatif. Salah satu rangkaian preseden negatif tersebut adalah tidak munculnya daya kreatif dalam seni rupa khususnya dalam seni lukis. Keseragaman dalam berbagai pameran seni lukis baik di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali sepanjang 2009 bisa dilihat sebagai dampak bagaimana mekanisme pasar itu telah bekerja.

Jelas sekali bahwa hukum pasar berada pada penawaran dan permintaan. Jika permintaan pada jenis dan ragam produk tertentu maka akan selalu diikuti oleh permintaan pada jenis dan ragam produk tertentu; dan bukan sebaliknya. Sementara seniman di pihak lain tidak terlalu berdaya menentukan, apakah ia secara personal suka atau tidak suka dengan permintaan tersebut. Mereka yang meninggalkan selera pasar maka akan segera tergerus dan berdiri di sudut di antara hiruk pikuk pasar seorang diri. Dalam situasi pasar yang menguat ini mengharuskan seniman mapan pun ikut arus dalam kesibukan semacam ini. Apa yang akan dilakukan oleh seniman belum mapan kecuali ikut-ikutan masuk atau mati mengenaskan.

Persoalan peran pasar dalam dunia seni rupa tidak sekadar harus dihadapi dengan sikap keras kepala tanpa strategi sebagai satu basis untuk mempertahankan daya cipta si seniman. Pasar tidak mengenal hukum empati sebab yang berlaku adalah untung. Sejauh tidak memberi keuntungan, di luarnya setinggi apa pun kualitas estetikanya, tidak akan mendapat tempat. Oleh sebab itu, militansi berguna dalam melawan pasar, tetapi mengandalkan militansi semata adalah sesuatu yang membuang waktu.
Mekanisme atau sistem yang mandiri dalam pasar seni rupa tidak ubahnya sebagai dunia kecil di antara dunia lain yang lebih luas. Dunia tersebut kecil ketika seorang melihatnya dari luar, tetapi akan menjadi luas dan seakan tak tersentuh begitu seorang tersebut berada di dalamnya. Faktor yang me me ngaruhi persepsi demikian tidak lain sifat tergantung individu di dalamnya dan hal ini kurang-lebihnya diakibat kan adanya self-regulation yang menciptakan ketidakterhinggaan pada sistem yang mandiri tersebut. Sistem mandiri memang berarti bisa mencukupi segala kebutuhan yang diperlukan, tetapi sisi yang tidak terantisipasi ada lah manifestasi kebutuhan yang tidak bisa dikoreksi secara layak oleh akal sehat, terutama akal sehat yang dimiliki oleh para penghuni/pendukung dunia itu.

Dengan perkataan lain, sekalipun pasar dari satu pihak membuat dunia seni rupa terlihat kukuh dibandingkan cabang seni lainnya, tetapi pada sisi lainnya ia menciptakan lubang kematiannya sendiri. Lubang kematian ini tidak harus diartikan sebagai hancurnya seni rupa itu di kemudian hari, tetapi lebih pada mandulnya kreativitas sebagai ujung dari bidang kesenian itu sendiri. Jika kreativitas tidak berada pada posisi yang semestinya, tidak ayal dunia seni rupa yang tanpa roh tersebut tidak ubahnya mayat yang berjalan. Seni rupa itu tetap ada, ia berguna bagi para pelakunya, tetapi tidak berguna bagi orang di luar seni rupa itu sendiri.

Seni Rupa dalam Kontrol

Persoalan pasar dalam dunia seni rupa tidak berbeda jauh dengan persoalan pasar di wilayah sosial politik. Pasar menghisap apa pun yang dianggap menguntungkan dan menolak apa yang tidak menguntungkan. Hukum pasar ini secara menyeluruh mengabaikan nilai-nilai menjadi nilai-nilai artifisial “guna” yang berlaku pada sementara waktu dan pada waktu lain nilai “guna” tersebut menjadi nilai “tidak berguna”. Nilai “guna” dan “tidak guna” ini hanya bersandar pada sifat eko no mi nya semata. Pasar meng abaikan proses yang intim dengan nilai kemanusiaan sebab pasar tidak memiliki bahasa untuk itu. Pasar tidak ada hubungannya dengan nilai-nilai kemanusiaan.


Ironisnya, kreativitas dalam seni rupa tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Perkembangan dalam seni rupa baik yang modern maupun tradisi adalah potret bagaimana seni rupa dijadikan sarana negosiasi untuk mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Dalam konteks sejarah seni rupa di Barat dengan munculnya banyak aliran semacam impresionisme, ekspresionisme, dadaisme, surealisme, superrealisme, dan lain sebagainya dilandasi oleh semangat bagaimana manusia itu menemukan nilai-nilai dari kemandegan nilai-nilai sosial-politik di sekelilingnya. Begitu juga dalam konteks sejarah seni rupa di Indonesia. Soedjojono, Affandi, Hendra Gunawan, kelompok seni rupa baru, kelompok Pipa (kepribadian apa), adalah bukti bahwa kreativitas mereka didorong gagasan-gagasan kemanusiaan. Bahwa kemudian dari sisi artistik mereka menemukan cara dan teknik yang baru, hal ini tidak lain konsekuensi dari bagaimana menunjukkan kepada publik mengenai nilai-nilai kemanusiaan baru dalam seni rupa itu sendiri.

Persoalan hari ini: bentuk artistik ini dipisahkan dengan denyut kehidupan sosial yang lebih luas dan berhenti pada pengetahuan-pengetahuan teknik. Apa yang terjadi pada seni rupa kontemporer kita tidak lebih pada urusan-urusan semacam itu. Seni rupa tidak terbatas pada keunikan artistik, tetapi juga pada apa landasan yang menjadikan sebuah karya seni rupa menjadi demikian. Sebuah argumentasi yang tidak jelas kecuali semata menuruti hukum pasar, apabila sebuah karya seni lukis dihargai lantaran karya seni itu menggambarkan persoalan pribadi si pelukisnya, sementara persoalan itu benar-benar pribadi dalam arti sesungguhnya sehingga orang lain sulit mengalaminya.

Keunikan menjadi menarik tidak sebatas pada pengalaman pribadi belaka, kecuali pasar menghenda kinya dan seolah-olah menjadi pencapaian besar dalam ranah seni rupa. Barangkali pasar memang menghendaki sebuah letupan, tetapi letupan tersebut masih berada dalam kerangka bisa dikontrol. Pasar tidak meng inginkan sebuah letupan yang diinspirasi oleh karya seni rupa lalu menciptakan gejolak sosial lebih luas yang justru membahayakan pasar seni rupa itu sendiri.

Sebab itulah sepanjang hiruk-pikuknya karya seni rupa sepanjang 2009 yang muncul dan bisa dirayakan adalah karya seni rupa dua dimensi (seni lukis). Jarang atau belum muncul karya tiga dimensi (instalasi) yang benar-benar mengejutkan baik dari gagasan maupun dari eksekusi karya. Sekalipun sudah terjadi pengulangan ragam/corak karya seni lukis, tetapi juga belum muncul karya-karya seni rupa sebagaimana yang pernah muncul menjelang runtuhnya rezim Orde Baru di paruh awal tahun 1990-an seperti pada karya Heri Dono, Moeljono, FX Harsono, Eddie Hara, Dadang Christanto.

Dengan becermin pada masa itu untuk melihat masa kini, tidak ada gejolak yang mengejutkan dari keriuhan pameran-pameran yang cenderung gigantik saat ini. Justru keriuhan tersebut menunjukkan bagaimana pasar telah bekerja secara efektif dan efisien untuk tetap menciptakan dunia seni rupa itu meriah bahkan cukup riuh, tetapi tetap berada dalam kontrol, berada dalam taklukan.***



Imam Muhtarom

Sinar Harapan
Sabtu, 06 Pebruari 2010


Bookmark and Share

1 comments:

 

Buku Saya


Created with flickr slideshow.

Pemilik Blog

.

.

Translate

PageRank