Judul Novel: Tak Ada Santo Dari Sirkus
Penulis: Seno Joko Suyono
Penerbit: Lamalera, September 2010
Tebal: viii+397
Peristiwa dalam novel tidak bisa dikesampingkan lantaran kisahannya hendak menonjolkan latar cerita atau kondisi psikologi tokoh-tokohnya. Peristiwa barangkali satu-satunya taruhan sebuah novel apakah ia berhasil memadukan berbagai kemungkinan dalam peristiwa yang dialami oleh tokoh. Peristiwa bukan saja agar sebuah adegan menunjukkan suatu soal lantas merujuk pada suatu tema. Lebih dari itu, peristiwa menunjukkan kepiawaian novel dalam ramuan bahan cerita dengan alur, perwatakan, tema, dan latar. Namun demikian, kepiawaian di ujung lain juga masalah kepekaan terhadap soal dan tentunya terhadap manusia itu sendiri. Kemampuan teknis memungkinkan sebuah bahan cerita menjadi jelas sekaligus jernih di benak pembaca, sementara kepekaan membuat manusia me/dibentuk peristiwa tampak hidup.
Peristiwa dalam salah satu cerpen di kumpulan Penari-Penari Izu karya Yasunari Kawabata menunjukkan bahwa cerita begitu sederhana, tetapi impresi yang ditinggalkan begitu membekas. Seorang laki-laki dalam perjalanan di pegunungan dengan segenap keasrian, bertemu pemilik penginapan yang lumpuh, dan suatu kali dalam perjalanan pulang memandang perempuan telanjang tengah mandi dari atas jembatan. Terlihat peristiwanya sederhana, namun membekas seperti lukisan yang hidup, bahkan lebih tepat cerita menjadi begitu filmis. Kepekaam pada alam kalangan Zen Budhisme yang diwarisi Kawabata tentunya tampak sekali dalam mengekspresikan alam pegunungan, manusia, dan perasaan yang rawan terhadap kesementaraan hidup. Persepsi inderawi mampu menerobos batin pengalaman tokoh.
Dalam konteks wilayah budaya yang lain, tentunya akan berbeda pula ekspresi seorang pengarang dan dalam memandang apa itu peristiwa. Peristiwa dalam benak orang modern barangkali dilihat banyak kejutan, terbelah-belah dalam sekian peristiwa, menumpuk dalam potongan-potongan. Tidak muncul impresi yang mendalam kecuali entakan-entakan psikologis yang mengenaskan para tokohnya. Kekinian para tokohnya boyak oleh sekian tragedi. Para tokoh tidak bisa mengadaptasi situasi kekiniannya sehingga ada kedamaian yang melekat di sana. Justru, para tokoh terus-menerus berkelahi dengan kekiniannya dengan harapan akan menuai kecemerlangannya dalam hidup. Kegagalan menyelesaikan masalah kekiniannya, para tokoh berkecenderungan untuk memanggil masa lampau sebagai sarana untuk berdamai.
Kondisi tragis semacam itulah yang menjadi dasar pembentukan peristiwa novel Tak Ada Santo Dari Sirkus karya Seno Joko Suyono. Semenjak awal tokoh—seorang lelaki lajang—terdampar di daerah Eropa dalam rangka menjadi sukarelawan. Tempat si tokoh utama adalah kota kecil yang menurut sejarah tempat Paulus lari dari kejaran pasukan Romawi. Dengan alasan agar keyakinan para umatnya tetap kuat semenjak ia harus berlari dari satu tempat ke tempat lain, Paulus menulis surat kepada kaumnya. Kota kecil itu—tanpa disebut nama—dipenuhi artefak peninggalan para pengikut Paulus mendermakan dirinya dalam jalan suci. Mereka membuat lubang-lubang “pertapaan”, makan lumut dan minum tetes air gua. Pengikut Paulus itu menyakiti tubuhnya dengan tujuan merasakan apa yang dialami Paulus selama pengejaran pasukan Romawi.
Apa yang kemudian menjadi masalah tatkala jalinan interaksi rombongan sukarelawan dengan para penduduk buruk. Para penduduk, di satu pihak, membatasi keingintahuan para rombongan sukarelawan, sementara di pihak lain para sukarelawan ingin mengetahui bahkan terpesona masa lampau kota yang pernah ditinggali Paulus tersebut, terutama si tokoh utama. Kontradiksi ini semakin menguat tatkala sebagian rombongan—kelompok tokoh utama—ingin mengadakan pawai musik dan topeng pada saat pemindahan gereja abad pertengahan yang menjadi tujuan utama proyek sukarelawan itu.
Yang menjadi soal adalah keinginan berpawai topeng dari banyak sudut dunia yang mewakili beragam ekspresi rupa manusia dan ide suasana religius yang khidmat bebas dari usikan seni topeng dan musik yang dianggap menodai oleh penduduk kota kecil itu. Posisi pendatang dan sekadar sukarelawan inilah yang membikin tokoh utama dan kawannya diimpit dan didorong untuk tidak terlibat dalam prosesi pemindahan gereja tua.
Entah lantaran persis sama situasinya dengan pengalaman masa kecil tokoh utama di kota kecil di Jawa Timur, entah desakan yang bertubi-tubi dari penduduk setempat, atau lebih tepat oleh dua keadaan tersebut, bangkitlah ingatan tokoh utama yang menghampar hampir setengah isi novel ini.
Tak ada istimewa dari pengalaman masa lampau tokoh utama kecuali dan penokohan yang begitu mendalam pada tokoh Pak Siul, Mat Bopong, Lancelot dari rombongan sirkus dan kemungkinan besar tokoh Jaan dan Jaap kecil—keturunan Belanda—ternyata bagian dari kelompok yang ditimpuki oleh warga kota kecil itu.
Kesan yang begitu mendalam terhadap dua peristiwa di kota kecil di bagian Eropa dan pengalaman tokoh utama dengan anggota sirkus merupakan metamorfosa yang penting. Peristiwa-peristiwa yang disusun secara berantai dalam novel ini akan memiliki makna tatkala peristiwa pada masa kini dan masa lampaunya dipandang bukan suatu kebetulan. Pun jika peristiwa ini merupakan kebetulan, tentunya kebetulan yang memberi makna.
Ketersisihan tokoh Pak Siul, Mat Bopong, Lancelot dari rombongan sirkus dan ketersisihan tokoh utama bersama kawan-kawannya selama menjadi sukarelawan pemindahan gereja abad pertengahan, adalah dua hal yang memiliki kesamaan. Dalam pengertian, kesamaan untuk menjadi spiritualis dengan keingitahuannya dan keinginan berbuat kebaikan, justru membuat mereka tidak mendapat tempat dan bahkan akhirnya menemui kematian. Tokoh utama memang tidak mati, tetapi ada kawannya yang mati, beberapa dirawat, dan tokoh-tokoh yang dikagumi tokoh utama novel ini, pada akhirnya menemui kematian.
Untuk itulah di akhir novel tokoh utama menahbiskan nama Pak Siul, Mat Bopong, dan Lancelot sebagai santo—orang suci—dengan alasan spiritualitasnya sendiri, agar teman-temannya sesama sukarelawan mendapat perlindungan. Peristiwa di kota kecil tempat pemindahan gereja abad pertengahan dan peristiwa masa kecil tokoh utama dengan sirkus keliling merupakan dua peristiwa yang mengandaikan. Peristiwa pertama bermakna lantara peristiwa kedua. Begitu pula sebaliknya. Saya kira dengan cara pembacaan seperti itulah novel Tak Ada Santo Dari Sirkus bermakna: bahwa justru santo muncul dari sirkus.
Namun demikian, sepanjang kisahan novel agak tersendat-sendat lantaran kepeterpesonaan menjelaskan perihal seni, kesakitan para pengikut Paulus, kuliner, benda-benda abad pertengahan, ritual-ritual, sulapan para sirkus, dansa-dansi noni-noni Belanda, khasiat akar-akaran. Tetapi mungkin juga, hal itu sebagai penunjuk betapa banyak godaan dan kesulitan untuk mencapai status santo dalam arti sebenarnya dengan melampaui penderitaan sekaligus kebahagiaan duniawi. Saya tidak tahu persis, namun demikian silakan membaca.
Peresensi: Imam Muhtarom, penulis sastra dan seni.
0 comments:
Post a Comment