Judul: Kesetiaan pada Lao Membawa Keabadian bagi Li Qing
Penerbit: Gramedia, 2011
Penyusun: Feng Menglong
Penyusun: Feng Menglong
Penerjemah ke Bahasa Inggris: Shuhui dan Yunqin Yan
Tebal Buku: xxxii + 457 hal.
Keadilan dan kebenaran merupakan gagasan yang usianya setua manusia. Di mana ada sejumlah manusia berada, di situlah selalu berkaitan soal keadilan dan kebenaran. Tentu saja, apa yang dimaksud dengan keadilan dan kebenaran tergantung dengan konteks di mana manusia itu berada. Setiap wilayah memiliki pandangan dan ukuran yang berbeda sesuai dengan sejarah dan kebudayaan yang menjadi anutannya. Namun demikian, keberbedaan konteks tidak membuat keadilan dan kebenaran kehilangan nilai universalitasnya. Rasa keadilan dan kebenaran selalu ada dan menjadi idaman masyarakat mana pun dan kapan pun.
Adanya unversalitas rasa keadilan dan kebenaran inilah yang menjadikan berbagai pengalaman yang berserak di masa lampau dari wilayah yang jauh tetap relevan untuk dipelajari, misalkan China. China memiliki pengalaman yang mendalam terkait dengan soal keadilan dan kebenaran sebagaimana tertuang dalam sekian banyak prosa-prosanya. . Tidak heran China hari ini tegas dalam menerapkan sistem hukumnya.Salah satu yang menarik prosanya adalah kompilasi Feng Menglong pada masa pemerintahan Dinasti Ming yang berakhir sekitar abad 16 masehi. Dinasti Ming dianggap sebuah dinasti yang banyak menorehkan keberhasilan dalam bidang ekonomi, budaya, kesenian, keamanan
Feng Menglong sendiri adalah cendekiawan cerdas. Ia memang agak lambat dalam pencapaian karir. Ia menduduki jabatan setara bupati pada usia senjanya. Namun ia banyak meninggalkan jejak karya yang bisa dinikmati sampai sekarang, antara lain tiga jilid kumpulan kisah klasik Dinasti Ming. Salah satu jilidnya berjudul Kesetiaan pada Tao Membawa Keabadian Bagi Li Qing.
Karya peninggalan Feng Menglong ini bisa dibaca sebagai dokumen sosial di China, namun juga suatu pelajaran penting akan arti keadilan, kebenaran, kesetiaan, dan spiritualitas. Memang kumpulan kisah klasik itu bukan karya Feng Menglong tetapi karya anonim yang ia sunting. Dalam kerja penyuntingan itu Feng Menglong tidak luput untuk masuk dan mencampuri jalannya cerita.
Dalam kumpulan prosa ini keadilan, kebenaran, spiritualitas menjadi tema utama. Salah satu alasan mendasarnya cerita diciptakan bukan untuk sebatas kesenangan tetapi sebagai acuan moral bagi sidang pembacanya. Karya sastra tidak dibedakan secara tegas dengan ajaran Konfucius, Tao maupun Budhis. Justru, karya sastra tidak lain kepanjangan dari dua ajaran yang lahir di China tersebut. Ciri ini tentu berbeda dengan semangat yang ada dalam sastra modern yang lebih menekankan ungkapan individu.
Lantaran tujuannya mengajarkan apa yang benar dan apa yang tidak, keseluruhan kisah dalam kumpulan prosa ini adalah harapan kepada pembaca untuk hidup secara benar. Saya kira justru itulah kumpulan prosa ini relevan hadir dalam sidang pembaca di Indonesia.
Dari 12 prosa yang termuat dalam kumpulan ini, tema keadilan mendapat porsi lebih dan cerita yang agak panjang. Dalam “Hanya Karena Uang Satu Ketip, Sebuah Dendam Berakhir dengan Tragedi yang Kejam”. Dari judulnya sudah tampak bahwa judulnya tidak lain peringatan. Cerita berawal dari seorang anak yang diminta ibunya membeli obat sakit perut seharga satu ketip. Bukannya sang anak ke toko tapi tergoda ajakan temannya untuk judi. Sekalipun di awal judi, di akhir ia kalah. Dari situ konflik dimulai. Si ibu membela anaknya, sementara anak yang mengajak judi juga dibela orangtuanya. Cerita ini tidak berakhir di situ tetapi melibatkan bupati, orang kaya daerah itu, pengadilan bertahun-tahun, dan berakhir dengan 13 orang mati. Si ibu yang sakit perut berakhir dengan bunuh diri lantaran si ibu dari anak yang mengajak judi membongkar perselingkuhannya. Kebetulan si suami mendengarkan dan marah. Ia diminta bunuh diri jika yakin tidak bebruat serong. Si istri akhirnya bunuh diri dan mayatnya dimanfaatkan seorang kaya licik yang kebetulan lewat sungai di mana mayat si istri ini berada.
Mayatnya dijadikan bukti palsu dalam perkelahian dengan seorang kaya lain dalam soal perebutan sebidang tanah. Mulanya si kaya licik ini berhasil, tetapi berkat kejelian serta sifat keadilan dalam diri bupati, kejahatannya terbongkar. Lawannya menggunakan kelicikannya persis dengan membunuh dua orang sebagai bukti palsu bahwa si licik pertama juga membanti dua orang lainnya. Kasus tidak terbongkar beberapa tahun, tapi ada saksi yang membukanya di kemudian hari. Dua orang kaya licik ini akhirnya sama-sama dikenai hukuman mati oleh sang bupati.
Dalam diri manusia terdapat potensi kejahatan yang bisa merugikan orang lain, tetapi dengan adanya bupati yang memegang teguh prinsip keadilan, kejahatan tetap mendapat hukuman setimpal. Bisa dibayangkan jika perbuatan licik dan penuh aksi suap di pengadilan tanpa kehadiran si bupati, tidak akan terungkap berbagai kejahatan tersebut.
Tema keadilan ini juga kuat dalam “Hanya Karena Beberapa Renceng Uang, Gurauan Membawa pada Bencana yang Mengerikan”. Cerita ini berkisah mengenai seorang suami mengatakan pada istrinya bahwa ia baru saja mendapat uang satu kantong setelah bersepakat menggadaikan istrinya seharga 15 receng. Sesungguhnya si suami ini hendak bergurau setelah pulang dari mertuanya dan diberi modal dagang kecil-kecilan setelah usahanya selama ini tidak ada kemajuan. Rupanya candaan ini diterima si istri dengan serius dan malam itu juga ia berencana pulang ke orangtuanya agar membatalkan kesepakatan si suami. Malam itu ia tidak tidur di rumahnya lantaran kesal dan menumpang di rumah tetangga agar pagi-pagi buta bisa pulang ke orangtuanya. Kepada tetangganya ia digadaikan sebesar 15 renceng.
Tak disangka malam itu ada pemuda kalah yang judi dan punya ide mendadak untuk mencuri. Ia masuk rumah yang lewat pintu yang tidak dikunci oleh si istri dan mendapati koin di kaki si suami yang tertidur. Si suami terbangun dan mengejarnya sampai dapur dan dalam keadaan gugup ia mengambil kapak pembelah kayu dan melayangkannya ke wajah si suami. Si suami mati lalu si pencuri mengambil uang 15 renceng.
Tetangga si suami itu geger mendapatinya mati mengenaskan. Maka, orang kampung segera mengejar si istri yang hendak digadaikan tersebut. Orang-orang menangkap dan menemukannya tengah berjalan dengan seorang pemuda. Mereka berdua didakwa telah bersekongkol berzina, merampok, dan membunuh. Si pemuda menolak tetapi ditemukan dalam kantongnya uang sebesar 15 renceng persis jumlah uang si suami. Tanpa ampun perempuan dan lelaki itu sesuai dengan instruksi kaisar lewat residen, dihukum mati.
Sementara istri pertama dari suami yang mati itu pulang lantaran ke orangtuanya setelah semua tragedi tersebut dan berniat menikah setahun kemudian. Di tengah jalan di sebuha hutan mereka dirampok dan si ayah terbunuh. Si istri pertama kemudian menikah. Dalam pernikahan berttahun-tahun dalam keadaan putus asa itu dan perlahan bahagia, terungkap bahwa suami yang membunuh ayahnya adalah juga si pembunuh suaminya bertahun lampau. Kemudian ia melaporkan kepada bupati dan pengadilan membuka kasus lama. Si pembunuh ini akhirnya mendapat ganjaran hukuman mati.
Selain tema keadilan, tema spiritualitas juga kuat. Contohnya “Kesetiaan pada Tao Membawa Keabadian bagi Li Qing”. Pengalaman spiritual tokoh Li Qing ini bisa kita bandingkan dengan tokoh santo di Kristiani, sufi di Islam, linuwḗh dalam konsep Jawa. Berkat kesetiaan pada ajaran Tao, Li Qing dianugerahi oleh dewa di langit untuk kembali di dunia dengan anugerah dan berbuat baik kepada sesama manusia sampai usia sekitar 150 tahun. Ia meninggalkan kehidupan duniawi pada usia 70 tahun dan berketetapan mengabdikan di jalan Tao. Kesetiaannya didengarkan oleh langit dan ia hidup dengan kemampuan supernatural demi kemaslahatan hidup orang banyak. Salah satu bentuk supernaturalnya saat kematiannya jenazahnya ikut lenyap. Li Qing muksha.
Ke-12 prosa dalam kumpulan ini menggunakan teknik tradisional. Jika sastra modern melepaskan kehadiran penulis dalam karyanya, prosa China klasik ini sebaliknya. Karya ini bercampur tangan dengan penulis dan si penyunting sendiri, Feng Menglong. Jika si penulis campur tangannya berupa saran moral, si penyunting hadir serupa “moderator” yang menjembatani maksud cerita, penulis, dan posisi pembaca.
Sekalipun pembaca dalam kondisi “dikendalikan”, ada kenikmatan tersendiri ketika tukang cerita ikut hadir dalam kisah. Penyunting berserta penulis ikut membantu serta memantau jalannya cerita. Cerita dengan lancarnya berjalan dengan memanfaatkan metode pararel, yaitu satu peristiwa berjalan bersamaan dengan peristiwa yang lain di waktu yang sama. Linearitas dalam sastra modern yang ditentang sastra “paskamodern” dengan konsep waktu pararel sudah ada dalam sastra China klasik. Prosa “Jalan Setapak Bercecabang” karya Jorge Louis Borges adalah salah satu bentuk bagaimana konsep pararelitas dipraktikkan.***
http://indonesiaartnews.or.id/bukudetil.php?id=7
http://indonesiaartnews.or.id/bukudetil.php?id=7
0 comments:
Post a Comment