"Toko Satu Buku"; Rumah Proses; 2011; Instalasi. |
Dalam perkara kreativitas seni, tidak lagi tabu terus terang menggunakan sebuah karya seni lain sebagai landasan untuk berkreasi. Kreativitas bukan lagi menciptakan yang belum ada di muka bumi ini seolah merogoh sesuatu dari luar kolong langit. Dalam sejarahnya sendiri, tidak ada karya seni yang tidak memiliki riwayat saling pengaruh. Hanya saja, soal saling pengaruh ini seakan tenggelam oleh pentingnya orisinalitas. Alih-alih lebih santai memandang orisinalitas dan saling pengaruh tersebut, dicari-cari apa yang sudah “ditemukan” dalam*karya tersebut. Akibatnya, kreativitas merupakan karakter tersendiri yang benar-benar membuat seniman seorang yang mencipta dari yang tiada ke ada.
Pandangan semacam ini terus terang sama sekali diabaikan dalam pameran Jakarta Bienalle 14 di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, yang sudah usai pada 15 Januari 2014. Sejumlah 16 peserta dari dalam dan luar negeri hasil pilihan Seno Joko Suyono, Bambang Asrini Widjanarko, Ilham Khoiri selaku kurator secara bebas dan jujur mengandalkan teks-teks yang sudah ada sebagai landasan untuk berkreasi dalam karya seni rupa. Teks-teks tersebut bisa puisi, prosa, naskah drama, corat-coret di selebaran uang, catatan sejarah sebuah kota, dst. Ruang Galeri Cipta II disekat dalam 10 ruang dalam ukuran rata-rata sekitar 3x3m. Memang dari 16 karya, hanya 1 yang tidak memanfaatkan ruang sebagai basis terbentuknya karya.
Pertama-tama yang timbul rasa aneh menjalari pikiran—bukan persepsi—ketika mengetahui bahwa karya Rumah Proses yang berjudul “Toko Satu Buku” adalah karya kolaborasi sekian perupa dari novel Saman karya Ayu Utami. Jika yang tersebar selama ini di publik sastra Indonesia novel Saman berupa terobosan seksual dari kaum perempuan, kita tidak menemukan seksual vulgar dalam bentuk rupa oleh kelompok Rumah Proses. Dalam karya Rumah Proses yang muncul sebuah kerangka toko buku dari aluminium yang diisi oleh buku cetakan Rumah Proses, lukisan di atas kanvas, lukisan di atas papan kayu, lukisan di atas seng berbentuk tong warna putih, musik DJ, permainan lantai toko, dst.
Tentu, jauh sekali jika kita berpikir asal muasal karya ini dan karya itu sendiri. Kenapa tidak memunculkan narasi kebebasan seksual seperti yang digarisbawahi novel Ayu Utami itu, tetapi sebuah toko yang menjadi bagian sentral kehidupan kota kita kini? Kenapa justru mixer pengolah musik untuk DJ justru berada di ruang tengah yang menyita perhatian dan suara berdentum-dentum beserta lampu meloncat-loncat ala diskotik? Memang karya Ayu Utami menjadi pinggiran dalam karya ini, sekalipun berjasa untuk memantik kreativitas kelompok Rumah Proses. Konsekuensinya, timbul cara “baca” yang sungguh berbeda antara teks sastra Saman dan teks rupa “Toko Satu Buku”.
Kasus serupa juga pada karya Jompet berjudul “Panggung untuk Percakapan Pertama dan Terakhir antara Pembunuh dan Korbannya”. Karya ini berupa ruang putih tertutup berukuran 3x3 meter. Terdapat dua lampu bervoltage besar didirikan di atas tripod yang diarahkan pada tembok. Ada dua kursi, ada speaker kecil sayup-sayup. Kurang-lebih dalam speaker tersebut berisi sesuai judul karya ini: percakapan pembunuh dan korbannya. Yang terasa asing: karya ini berbasis novel “Snow” karya Orhan Pamuk. Pertama-tama ada ruang konkret dalam karya Jompet ini yang menghilangkan imajinasi yang secara teliti dan seksama dibangun oleh Pamuk lewat narasi tulisan dalam novelnya. Cara itu dihapus oleh Jompet melalui ruang tertutup dengan cahaya kuning menyilaukan lantaran terlalu terang. Sayang, ruang sebelah suaranya terlalu dominan sehingga mengurangi intensitas dialog yang diperdengarkan lewat speaker.
Jika manifestasi yang digunakan oleh Jompet adalah ruang terang dan suara dialog, maka yang terasa aneh pada Komunitas Berkat Yakin dalam karya “Saya Bilang Mereka Monyet”. Karya itu berupa 7 bingkai kaca. Kaca pertama berupa cermin berlobang di bagian atas beserta 1 kepala lelaki dewasa. Sementara 6 bingkai lainnya berupa kaca tembus dan terdapat kayu dan rangkaian bunga. Karya ini betul-betul sulit dikaitkan dengan karya cerpen Jenar Maesa Ayu jika tidak terdapat keterangan bahwa karya tersebut berpijak dari teks sastra tersebut. Namun justru, disinilah permainan interpretasi menjadi menarik dan penting.
Angki Purbandono, satu-satunya karya yang memanfaatkan ruang terbuka berupa lorong di tengah Galeri Cipta II, menghadirkan 3 buku ukuran 80x80cm. Buku tersebut berisi hasil pindai uang kertas seribu rupiah dalam ukuran buku tersebut. Puluhan lembar dalam buku tersebut hanya berisi pindaian lembaran seribu rupiah yang kebanyakan kusam dan—yang terpenting—berisi teks tulis aneka cerita. Ada yang menginformasikan nomor ponselnya untuk kencan, ada salam sayang untuk kekasihnya entah di mana, sumpah serapah mengenai kemiskinan, kekesalan situasi politik, dst. Melihat uang ribuan dan keadaan lembaran ribuan yang telah kusam itu, bisa dipastikan uang tersebut hanya beredar di antara kelompok sosial bawah. Tingkat kekusaman, apa yang dituliskan, model penulisannya, hingga pemakai terbesar dari uang seribu ruphah itu sendiri. Teks yang muncul pada uang kertas tersebut sering kita jumpai juga di toilet-toilet terminal yang kumuh, tembok-tembok kosong di kota-kota. Cuma teks itu tidak bergerak. Dalam uang seribu rupiah ini teks tersebut beredar dalam setiap transaksi, masuk dompet, masuk saku kernet bis, sopir angkotan, masuk kotak amal masjid, dst, dst. Intinya uang tersebut tidak akan sampai di tangan pejabat setingkat menteri, apalagi presiden.
Dalam karya Sandra Nyberg yang kini tinggal di Finlandia, juga terasa aneh. Karya yang berada di sudut dalam Galeri berupa penanda seismik naik-turun persis penanda seismik untuk mencatat getaran gempa di gunung berapi. Atau, penanda seismik untuk mengetahui detak jantung pasien di rumah sakit. Karya berjudul "Subjective Drawings” berupa cetak digital di atas kertas beranjak dari 4 cerita pendek karya penulis Finlandia, Rosa Liksom. Hasil pembacaan ini kemudian ditorehkan dalam data grafik seismik. Ada pengalaman rumit dengan membaca data grafik seismik tersebut. Kapan grafik tersebut membentuk kerucut dan kapan membentuk turunan. Ini tentunya pertemuan dari sekian faktor dari pengalaman pembaca sendiri dan teks cerpen. Pembaca akan sensitif ketika ada pengalaman yang sejajar dalam pertemuannya dengan teks. Juga, pembaca akan merasa dapat pengalaman baru dari teks yang dibacanya. Data ini saya kira yang akan membentuk naik-turunnya grafik seismik tersebut. Bukan pada tampilan karyanya yang menarik, tetapi pada proses bagaimana terbentuknya grafik tersebut.
Pameran yang mengambil konsep metro-text seduction tidak saja menyodorkan cara lain berkreativitas, namun juga menjadi gambaran dari perilaku yang lazim dalam sebuah kota besar: gesekan antar hal menimbulkan/memacu hal yang baru. Sejenis saling pengaruhi sebagai produktivitas penghuni kota. Saya kira kota juga serangkaian modus saling tiru atau bisa juga saling tolak dari para penghuninya dan dalam skala besar saling tiru atau saling tolak antarkota. Dan ciri ini semakin riuh bersama munculnya masyarakat kota berbasis komunikasi teknologi tinggi sekarang ini. Persoalannya, praktik saling pengaruhi tidak dalam kondisi setara, tetapi siapa menguasai siapa. Di sini penting arti gagasan tidak sekadar saling tiru atau sekadar saling tolak. Perlu direnungkan lebih mendalam prospek sebuah peradaban kota.***
Penulis: Imam Muhtarom, pemerhati seni rupa.
Terbit di Seputar Indonesia, Minggu, 29 Januari 2012
ya sebuah kreativitas tidak lagi hanya berarti berkutat pada orisinalitas, kreativitas adalah hal-hal yang memungkinkan membentuk sesuatu suatu yang memang menyegarkan/bukan basi.......setidaknya seperti yang anda paparkan.
ReplyDelete