“NONTON CAPGOMEH” DI KELENTENG TOASEBIO

-->Satu-satu barongsai masuk halaman menunjukkan kepiawaiannya. Suara genderang bertalu-talu mengiringi di belakangnya. Usai tiga barongsai, muncul pemuda  Tionghoa berpakaian adat memperagakan jurus-jurus bela diri. Seorang pemudi bukan Tionghoa juga lihai memperagakan jurus bela dirinya. Penonton memenuhi halaman memanjang milik Klenteng Toasebio. Halaman terasa sempit akibat sesaknya penonton.

Itulah prosesi pembuka pertunjukan pentas Teater Bejana  di Klenteng Toasebio, Glodok, Jakarta Barat, pada Sabtu, 7 Januari 2012. Sejumlah aktor dalam pentas “Nonton Capgomeh” sutradara Daniel H. Jacob tidak terbatas berpentas di panggung di sisi kiri Klenteng, tetapi juga membaur ke kerumunan penonton di halaman klenteng. Suasana ini tak dinyana mendukung naskah “Nonton Capgomeh” yang berlatar tahun baru China, atau biasa disebut tahun baru Imlek yang dipenuhi berbagai bentuk perayaan khas Tionghoa.

Alkisah, Thomas dan Lies, pasangan muda yang dilarang menonton perayaan Capgome di daerah Glodok. Dalam tradisinya Lies selalu menonton perayaan Cap Go Meh bersama sanak familinya. Ibunya, Nyonya Tjiauw Koe melarang seorang perempuan baik sudah bersuami ataupun belum melihat perayaan Cap Go Meh. Pelarangan ini membuat Thomas gusar, namun tidak bisa langsung menentang peraturan yang sudah kental dalam adat Tionghoa. Begitu pun Lies, tidak ada daya untuk menentang secara langsung kebiasaan yang berakar dalam keluarganya tersebut.

Kebetulan Thomas punya sahabat asal Cirebon yang baru datang. Mereka punya ide agar si Frans menyamar sebagai perempuan menemani si Thomas melihat perayaan Capgome. Mereka berdua berjalan menyolok mata di depan Nyonya Tjiauw Koe yang sedang menonton dari restoran ayam panggang milik Nyonya Gemok. Seperti ditusuk matanya, Nyonya Tjiauw Koe marah luar biasa. Ia tidak menerima dan timbul keributan dalam keluarga besar Lies.

Lies pun tidak kehabisan akal. Bersama Diana yang sudah menyamar jadi lelaki, ia pun melenggang di jalanan untuk melihat perayaan Capgome. Ia hanya memancing si Thomas suaminya, bagaimana perasaan bila pasangannya bergandeng dengan orang bukan pasangannya yang sah. Tak disangka mertua Lies melihatnya. Kegusaran tidak hanya terjadi pada keluarga besar Lies, tetapi juga pada keluarga Thomas. Dua keluarga ini melihat menantunya sudah tidak benar dan mesti dipisahkan.

Dalam situasi memanas ini Letnan Tjiauw Kie Kang berusaha melerai dua belah pihak. Pakainnya putih seluruhnya, bertopi putih, dan pipa rokok selalu menggelantung di mulutnya. Lelaki ini disegani di antara masyarakat Tioanghoa, paling tidak di antara keluarga yang tengah berseteru lantaran adat dan perilaku menantu mereka. Kegusaran pada kedua keluarga akhirnya bisa diredam. Menantu mereka cuma main-main dengan pakaian dan sesungguhnya hal itu lazim dalam perayaan Capgome.

Dalam pentas di ruang terbuka di halaman klenteng yang sibuk dan lalu lalang kaum Tionghoa bersembahyang, memang vokal menjadi kendala utama, terlebih Klenteng Toasebio berhadapan dengan jalan sempit dan macet. Aktor mesti memiliki kemampuan untuk mengalahkan keriuhan dan tetap konsentrasi di antara kesibukan sekeliling. Kondisi ini tentu berbeda dengan panggung tertutup yang steril dari aktivitas masyarakat. Apalagi penonton pentas teater ini begitu merapat ke para aktor sehingga mengetahui dialek Tionghoa-nya betul dikuasai atau masih baru latihan, bagaimana kostumnya, bahkan keaktorannya sudah mumpuni apa belum. Demikian dekat interaksi antara yang menonton dan yang ditonton. Namun, bercermin pada naskah “Nonton Capgome” di situlah keuntungan dan tantangan untuk mementaskan naskah ini di tempat terbuka di Klenteng Toasebio. Dan inilah keunikan dari paduan lokasi, bagaimana naskah dipentaskan, dan naskah siapa yang dipentaskan, teater apa yang mementaskan menjadikan bagian dari rangkaian Jakarta Biennale 14.

Di akhir adegan, Letnan Tjiauw Kie Kang menyatakan “Marilah kita minum buat rayaken kamenangannya fihak modern yang sudah bisa kalahken kakunoan!”. Rupanya modernisme pada 1930-an tidak hanya bergemuruh pada politik dan nasionalisme di kalangan politisi, tetapi juga menyeruak di kalangan kaum Tionghoa. Mereka sudah bersiap untuk beradaptasi dengan zaman yang tengah bergerak lewat kritik atas adat mereka yang mengungkung. Inilah visi yang ditangkap oleh Kwee Tek Hoay selaku penulis novel pada 1930-an. Sementara hasil adaptasi untuk naskah Teater Bejana yang dilakukan oleh Veronica B. Vonny berupaya menegaskan kembali visi yang telah dirintis Kwee Tek Hoay yang tidak disangkal kontribusinya bagi dunia kesenian Indonesia.***

Imam Muhtarom, pemerhati teater. 

Terbit di Koran Tempo, Selasa, 10 Januari 2012


0 comments:

Post a Comment

 

Buku Saya


Created with flickr slideshow.

Pemilik Blog

.

.

Translate

PageRank