Oleh Imam Muhtarom
Nilai yang dianut dalam sebuah masyarakat menentukan sebuah kesenian apa yang diapresiasi. Nilai menjadi dasar bagi bangunan perspektif anggota komunitas yang bersangkutan dalam memandang keseluruhan kehidupannya. Pegangan yang paling kongkret sekaligus paling abstrak ada pada nilai ini. Nilai disebut paling kongkret sebab ia memberi arah bagaimana sebuah individu dalam komunitas masyarakatnya menjalani kehidupannya. Sedangkan nilai disebut paling abstrak lantaran nilai tidak bisa ditunjuk secara langsung. Selain memang ada dalam tataran ide, nilai hanya bisa ditunjuk dalam jejak yang berupa aktivitas individu atau kolektif di dalam masyarakatnya.
Dalam sebuah komunitas masyarakat yang masih menyukai Wayang Kulit atau Reyog Bulkiyo di Blitar bagian utara menganut nilai-nilai yang tertentu yang sejalan dengan apa yang menjadi ekspresi karya tradisi tersebut. Nilai itu misalkan masih percaya kebaikan selalu menang melawan kejahatan. Kepercayaan tersebut begitu meresap dalam komunitas sehingga dalam memandang keseharian secara niscaya nilai ini diterapkan. Dalam perilaku sehari-hari kebaikan diutamakan sebab perbuatan jahat selalu akan dapat dikalahkan.
Kepercayaan yang jauh meresap dalam lubuk individu tidak lain manifestasi dari pandangan yang dilandasi metafisika. Adanya kebaikan di dunia nyata ini bukan semata berasal dari lubuk manusia. Kebaikan diyakini sudah ada semenjak manusia belum ada. Kebaikan sudah eksis dalam jagat di luar kehidupan manusia, katakanlah dalam dunia dewa-dewa atau di dunia sebelum atau sesudah manusia ada. Kepercayaan ini lazim dalam dunia komunitas tradisi di manapun khususnya di nusantara. Kepercayaan ini juga menjadi dasar dari pandangan pada Islam, Budha, Hindu, dan Kristiani.
Wayang kulit akan mudah diterima oleh pelbagai masyarakat yang memandang dunia ini hanyalah sesaat dan alam sesudah kematian dianggap alam kelanggengan atau abadi. Wayang kulit merupakan ekspresi paling baik untuk mengutarakan nilai bahwa dunia tidak lebih dari bayang-bayang. Apa yang mewujud secara fisik hanyalah kefanaan, sementara yang rasa yang tidak punya wujud itulah yang hakiki. Dunia ide telah lama dikenal masyarakat Jawa jauh sebelum konsepsi tersebut diperkenalkan dari khasanah pemikiran Yunani. Wayang kulit, Reyog Bulkiyo, dan jenis karya masyarakat tradisi lainnya hidup di tengah nilai sebagaimana diuraikan di atas.
Semua orang telah tahu nilai yang tumbuh berkembang di masyarakat saat ini adalah nilai yang menempatkan kebutuhan materi sebagai hal yang utama. Dalam perbincangan santai di warung kopi sampai dengan rapat di era Kabinet Kerja urusan ekonomi hari ini sebagai hal yang utama. Persoalan ekonomi selalu terkait dengan tingkat konsumsi suatu masyarakat. Apabila konsumsi masyarakat menurun menjadi indikator pokok bahwa terjadi pelemahan tingkat perkonomian suatu negara.
Dalam lain perkataan, pandangan akan pentingnya ekonomi menjadi nilai yang digunakan banyak pihak dalam memahami kehidupan. Pandangan hidup saat ini menempatkan realitas di dunia lebih diutamakan daripada kehidupan sesudah mati. Nilai yang berkembang di masyarakat lebih mementingkan kehidupan di dunia hari ini.
Kenyataan ini bukan hendak menyesali adanya perubahan nilai yang berkembang di masyarakat, melainkan mencermati implikasinya terhadap karya tradisi. Secara teoritis bisa dikatakan menguatnya nilai material ini akan menentukan keberadaan karya tradisi ini, apakah kemudian bertahan dengan mengakomodasi nilai yang sedang menguat atau kukuh dengan pakem lama. Konsekuensi yang pertama, sebuah pertunjukan akan kehilangan esensi tradisinya namun tetap memiliki penggemarnya. Sedangkan konsekuensi yang kedua, sebuah pertunjukan akan kehilangan penggemarnya namun tetap memiliki esensi tradisinya.
Sebuah wayang akan kehilangan esensi tradisinya ketika pada babak manyura yang mestinya berisi kisah sarat akan ajaran moral klasik ternyata diganti dengan pertunjukan campursari hingga sampai jam 3 dini hari. Alhasil, cerita jadi tak selesai atau dipaksa selesai. Hal ini tidak saja dilakukan dalang jawa timuran dengan gaya wetanan (disertasi Ribut Basuki, 2010), tetapi juga dalang asal jawa tengahan yang kulonan yang dikenal lebih teguh menjaga pakem. Namun pertunjukan di pedesaan di Jawa dari tengah malam hingga menjelang pagi itu penonton tambah semangat lantaran ada sindhen yang goyangnya bak penyanyi dangdut pantura.
Sementara itu, Reyog Bulkiyo dari Blitar bagian utara yang taat pakem harus kehilangan penontonnya. Pertunjukan reyog ini semenjak akhir abad 19 tidak banyak yang berubah. Tidak ada inovasi dan para pelakunya bilang tidak memerlukan inovasi demi menjaga pakem dari para leluhur. Pada pihak lain, penonton bilang pertunjukan reyog ini membosankan lantaran pemainnya tua-tua dan tariannya itu-itu aja. Mereka lebih suka pada jaranan yang ada campursari dan goyang ngebor ala pantura.
Ada fungsi yang berubah dari karya tradisi di dalam masyarakatnya. Dulu pertunjukan wayang kulit pada 1930-an di pedesaan di Blitar seorang dalang dianggap orang yang memiliki kemampuan dalam hal ilmu moral dan ilmu batin. Seorang dalang posisinya sebagai pusat ajaran yang disebarkan kepada masyarakat lewat pertunjukan wayang kulit. Sebuah pertunjukan wayang kulit adalah sebuah pertunjukan yang sakral sebab di dalamnya terdapat petuah yang diberikan oleh seorang dalang yang mumpuni.
Demikian juga dengan Reyog Bulkiyo, Jaranan, Reyog Ponorogo, Wayang Jemblung, Topeng Sumenep, Topeng Malang, Tari Seblang, Kentrung, dan lainnya. Karya tradisi ini dalam hubungannya dengan masyarakat berfungsi secara ritual. Karya itu menjadi penanda dalam daur kehidupan manusia berupa kelahiran, pernikahan, sunatan, masa panen atau bersih desa lewat sebuah petunjukan. Dari segi intrinsik maupun konteksnya karya tradisi ini menyatu dengan komunitas pendukungnya. Bisa diterima kemudian Ben Anderson memahami orang Jawa lewat wayang kulit, Clifford Geertz memahami orang Bali lewat adu jago, Ninuk Kleden memahami orang Betawi dengan Topeng Betawi, dan Pudentia MPSS memahami orang Melayu Riau dengan Makyong.
Saat ini persoalannya menjadi praktis. Karya tradisi yang mengakomodasi nilai yang berbasis materi akan bertahan dengan tetap memiliki penggemarnya. Sebaliknya, karya tradisi yang tidak mengakomodasi nilai berbasis materi ini perlahan dengan pasti kehilangan pendukungnya. Karya tradisi ini tidak lagi mendapat undangan pentas dari masyarakatnya sebab mereka membutuhkan hiburan yang menggairahkan inderawi daripada petatah-petitih sarat petuah moral yang barangkali tidak mereka perlukan.
Untuk itu, karya tradisi yang kukuh dengan pakem semakin kehilangan komunitasnya. Ia tidak memiliki tempat berjejak di tanah kelahirannya seperti 20 atau 50 tahun yang lalu. Bila dibiarkan terus dengan pasti karya tradisi akan punah. Punah pertunjukannya dan punah pula esensi tradisinya yang sarat nilai luhur. Dalam hal ini sudah saatnya dipikirkan dan adanya kebijakan yang berorintasi pelestarian karya tradisi yang merupakan bagian dari tradisi lisan yang amat berharga. Sekiranya tidak mungkin mengembalikan kepada fungsi ritualnya—sesuatu yang terlalu ambisius, tentu saja—paling tidak memberi kesempatan pertunjukan secara periodik kepada karya tradisi tersebut di daerahnya masing-masing.***
Imam Muhtarom, peneliti tradisi lisan; alumnus magister Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Terbit di Kompas, Minggu, 17 Januari 2016
Jos gandos
ReplyDeleteSeni di antara tuntunan dan tontonan
Pengajian yang seharusnya sarat dengan tuntunan, dipaksa untuk jadi stand up komedi.
Pertanyaannya, apakah sedemikian cerdasnya masyarakat yang tidak butuh lagi sebuah tuntunan
Wah, saya tidak mencermati soal pengajian dll itu Pak. ada yg lebih ahli. salam
Delete