BERTAHANNYA NOVEL SEJARAH NUSANTARA




Budi Darma pernah mengibaratkan novel dan pembaca bagaikan kuda dan penunggangnya. Bagi penunggang yang tepat kuda dan penunggangnya dapat melaju mengikuti jalan curam berbahaya. Sebaliknya, penunggang yang tidak tepat akan terpental dari punggung kuda.
Pengibaratan ini akan berlaku pada novel genre apa pun dan novel berbahan sosial, etnik, seks, psikologi, politik, dan sejarah. Faktor penyebab kesesuaian antara novel dan pembacanya ada beragam. Faktor intrinsik ada kalanya memberi faktor, tetapi rupanya faktor ekstrinsik memberi banyak sumbangan kesesuaian antara novel dan pembacanya. Kesesuaian ini memberi ikatan yang kuat pembaca sebagai penunggangnya dan novel sebagai kudanya. Faktor ekstrinsik sebagai penentu ini tentu yang menjadi bagian persoalan kolektif masyarakat pembacanya. 
Contohnya Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Kondisi kolonialisme dan serangkaian akibatnya yang harus ditanggung masyarakat pribumi telah mendorong novel ini terus-menerus mendapatkan pembacanya dalam lintasan generasi. Isu kolonialis yang rupanya tak pernah padam dan terdorongnya sikap-sikap nasionalisme sebagai cara untuk menemukan kehidupan yang damai dan sejahtera membuat pembaca sulit melupakan karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Sementara itu, saat ini sulit sekali menemukan novelis sekelas Pramoedya pada generasi-generasi sesudahnya untuk tema yang sama.

Formulasi semacam ini rupanya berlaku juga kepada novel-novel yang mengangkat sejarah nusantara ketika sistem politiknya berupa kerajaan. Karya-karya ini memadati rak-rak toko buku, kulit buku bernuansa klasik bermunculan, penerbit-penerbit gencar mencari novel-novel sejenis. Serapan yang besar untuk beberapa judul semacam Senopati Pamungkas karya Arswendo Atmowiloto, Sabdo Palon karya Damar Shashangka, pancalogi Gajah Mada karya Langit Kresna Hariadi, Nagabumi karya Seno Gumira Ajidarma, dan Singgasana Terakhir Pajajaran karya Tatang Sumarsono.
Novel-novel yang banyak pembacanya ini tidak menggunakan strategi pemasaran untuk meraih pembacanya sebagaimana pada umumnya dilakukan. Tidak ada resensi maupun ulasan yang muncul di berbagai media saat novel ini muncul. Boleh dikata untuk industri buku, novel ini tidak lain “kebetulan” belaka sehingga menjangkau pembacanya yang luas.
Namun bila dicermati dari sudut bahan yang diceritakan akan terkuak kebetulan itu bukanlah kebetulan. Ingatan kolektif yang menjadi bagian bawah sadar masyarakat pembaca yang menentukan novel tersebut mendapatkan pembacanya.
Senopati Pamungkas karya Arswendo Atmowiloto adalah contoh yang baik. Novel ini menempatkan kaum pesilat sebagai bagian dalam pergeseran kekuasaaan Kerajaan Singasari yang runtuh ke Kerajaan Majapahit. Pendekar silat seperti Upasara Wulung yang menguasai jurus bertepuk sebelah tangan adalah tokoh yang berperan dalam pertarungan mengalahkan para pendekar Kubilai Khan dari Mongol ketika dipecundangi di sekitar Tarik. Saat itu para prajurit telah berhasil membabat prajurit Jayakatwang yang diduganya prajurit Kerajaan Singasari yang sebetulnya telah runtuh lebih dulu.
Tidak ada Upasara Wulung dan tidak ada jurus bertepuk sebelah tangan itu berdasarkan data sejarah. Juga tidak ada para pendekar yang mampu merongrong kekuasaan Kerajaan Singasari dan Kerajaan Majapahit. Novel ini bertaburan pendekar silat yang menjadi bagian pendukung Singasari, Majapahit, Kediri, dan Kubilai Khan. Para pendekar silat, dalam novel ini, berperan dalam naik-turunnya kerajaan tersebut.
Namun, dalam sebuah karya fiksi tidak perlu klarifikasi apakah sebuah novel memperlihatkan kepada pembacanya sebagai kebohongan ataukah kenyataan. Pembaca hanya dahaga akan sebuah cerita yang menarik dan berpetualang ke masa lampau yang secara fisik tidak dialami ini. Apalagi dalam novel ini permainan para pendekar tidak berlaga saja dalam setiap 50 tahun untuk menemukan pesilat sejati, tetapi mereka terlibat intrik kekuasaan di lingkaran istana Singasari dan Majapahit. Bahkan, asyiknya, si Upasara Wulung dalam novel ini terjebak dalam asmara yang melibatkan Permaisuri Rajapatmi dan Raden Wijaya, pendiri Majapahit. Dalam hal ini, novel Senopati Pamungkas yang tebal sekali untuk novel berbahasa Indonesia mampu menjadi pemuas dahaga pembaca.
Hanya perlu dicatat perbedaannya dengan novel fantasi yang bahan ceritanya tidak bisa dirujuk dalam sejarah, novel ini masih bisa dirujuk dalam sejarah. Senopati Pamungkas tetap menggunakan alur sejarah utama, yaitu Singasari jatuh setelah prajuritnya dikerahkan untuk mengamankan Selat Malaka dari prajurit Tartar dan pada saat itu Jayakatwang dari Kediri menyerang Kerajaan Singasari sampai menimbulkan kematian rajanya, Kertanegara. Setelah itu, Raden Wijaya diberi tanah perdikan di daerah Tarik. Dari sana prajurit Tartar yang hendak membalas dendam ditipu dan ditumpas oleh pasukan Raden Wijaya.
Artinya, kerangka kesadaran sejarah dipertahankan oleh pengarang, sementara kisahnya dipenuhi oleh para pesilat. Kepedulian konflik dan intrik politik yang mengaduk di lingkaran istana yang memukau dalam novel ini mengikatkan pada pembaca kepada sejarah yang bergolak di wilayah Jawa Timur.
Sementara itu, novel Nagabumi 1 dengan cara nyaris sama dengan alur tidak serumit Senopati Pamungkas mengangkat Mataram kuno pada saat Candi Borobudur dibangun dan kaitannya dengan Kerajaan Sriwijaya. Hanya saja, dalam novel Nagabumi 1 perspektif kekuasaan demikian menonjol sekaligus gamblang melalui kisah tulisan Pendekar Tanpa Nama, sekalipun tidak ada keinginan sebiji padi pun pada diri tokoh utama untuk berada atau dekat dengan lingkaran para rakai di istana Mataram Kuno. Ikatan sejarah itulah yang menjadi daya tarik utama akan novel Gajah Mada, Sabdo Palon dan Singgasana Terakhir Pajajaran serta karya novel-novel sejenis.
Ketika sebuah novel, apa pun jenisnya, telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat luas ia bisa disebut sebagai benda budaya. Novel itu tidak behenti sebagai bacaan ringan melainkan suatu dialektika antara apa yang dibaca dan pengalaman yang mengendap di dalam diri pembaca. Pembaca dengan serangkaian ingatan kolektifnya menemukan realitas yang terbayangkan bagaimana sebenarnya dirinya berada dalam deretan sejarah yang tak berhingga. Artinya, individu di alam pikiran modern yang bagai debu tak beridentitas kecuali sejauh mana banyaknya materi dan posisi sosial, mendapatkan landasan genealogisnya untuk mengetahui posisinya di jagat waktu tak bertepi. Novel-novel ini memberi fase sebagai sarana berefleksi keberadaannya kepada pembaca pendukungnya.
Di sini pembaca menentukan sekali keberadaan novel-novel tersebut. Pembaca tidak harus seturut dengan pendidikan sejarah yang dilesakkan oleh negara bagaimana mencerna dan mengetahui paparan sejarahnya. Mereka dengan suka hati memilih mana novel sejarah yang sesuai dengan latar belakang riwayat asal-usul sejarahnya dan mana yang bertolak belakang. Pembaca yang berasal dari latar belakang Aceh barangkali akan suka hati memilih novel Burung Rantau Pulang ke Sarang karya  berasal dari dataran Sulawesi akan membaca novel La galigo karya Abdul Rahman, dan untuk pembaca di dataran Sumatera akan memilih Bumi Sriwijaya karya Bagus Dilla. Sementara pembaca dari tlatah Sunda suka membaca Gajah Mada Musuhku karya Hermawan Aksan untuk pembaca di kalangan Sunda, dan seterusnya. Atau, bisa juga, pembacara menentukan novel sejarah bacaannya bersandar pada keingintahuan pada ranah sejarah atau budaya lokal lain yang berbeda.
Dengan demikian, menguatnya novel-novel berlatar sejarah yang ada di nusantara ini sudah seyogyanya mendapat perhatian yang mencukupi dalam bentuk apresiasi publik yang memadai. Memadai dalam arti sebuah tindakan kritis berupa penyelaman pada tataran literer maupun pendalaman materi sejarahnya. Tataran literer akan terkuak sejauh mana kemampuan bercerita telah berkembang dalam penulisan novel sejarah nusantara ini. Sementara pada tataran materi masuk pada wilayah sejauh mana penggalian sejarah telah dilakukan para penulis novel. Kemudian materi yang digali tersebut terpapar dalam narasi novel sehingga menunjukkan kemampuan seorang penulis novel dalam menafsirkan materi sejarah tersebut.
Dengan demikian, ada perlakuan yang benar terhadap novel-novel sejarah nusantara yang telah dikerjakan dengan serius oleh pengarangnya, dibaca masyarakat secara luas, dan karena itu menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri.***

Penulis: Imam Muhtarom, kurator Borobudur Writer and Cultural Festival 2012.        

Terbit di Koran Tempo, Senin, 29 Oktober 2012

4 comments:

 

Buku Saya


Created with flickr slideshow.

Pemilik Blog

.

.

Translate

PageRank