Meneguhkan Kembali Karya Sastra


Pernyataan novelis Budi Darma pada Kamis (31/7/2008) dalam rangkaian Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) XII di Bogor, 28 Juli -2 Agustus 2008, layak menjadi renungan dalam perkembangan sastra sekarang ini. Sastra hari ini, menurut Budi Darma, mendapat tantangan yang cukup berat. Tantangan itu bukan karena tidak adanya infrastruktur untuk menopang kelangsungan sastra itu sendiri, melainkan justru ketika infrastruktur tersebut dalam keadaan cukup memadai. Buktinya, sekian penerbit telah muncul dengan segala kelengkapannya agar karya sastra sebanyak mungkin diserap pasar. Pada saat inilah sastra yang sebelumnya serasa diabaikan masyarakat, kini memperoleh kesempatan untuk masuk ke ruang-ruang baca masyarakat. Namun, saat itulah sastra menemui masalah yang justru menurunkan kualitasnya. Sebab, sudah jelas, karya sastra dalam penglihatan penerbit tak lain sebagai produk. Tak ayal karya sastra diperdagangkan di segenap penjuru agar diserap para pembeli, yang dalam hal ini pembaca.

Penerbit tentu memiliki perhitungan ekonomis agar perusahaannya bisa tetap berjalan dan bertahan. Pertimbangan utama penerbit dalam menilai sebuah naskah novel atau kumpulan cerpen, tentu tak bisa menghindarkan dari sejauh mana naskah tersebut laku di pasar (marketable). Laku, sebagai kata kunci penerbit, menjadi dasar operasional penerbit. Di sinilah timbul masalah. Karya sastra yang diterbitkan akhirnya mengikuti selera yang berkembang di pasar (masyarakat). Novel maupun kumpulan cerpen yang beredar tak lain karya sastra yang digemari masyarakat. Penerbit menjaring sebanyak-banyaknya penulis yang bisa memenuhi hasrat pembaca tersebut.

Sementara itu, karya sastra yang benar-benar ”karya sastra” sulit mendapat tempat di hadapan pembaca. Karya sastra tetap terbit namun selalu dijauhi pembaca. Karena dijauhi pembaca, maka dijauhi pula oleh penerbit. Apa yang ironis dalam perkembangan sastra hari ini, justru dalam kondisi infrastruktur penerbitan buku semakin baik, perkembangan karya sastra yang benar-benar ”karya sastra” justru mengkhawatirkan. Titik puncaknya, penulis-penulis karya sastra didera kegamangan.

Namun, Budi Darma membesarkan hati para peserta Mastera XII. Dia mengatakan, keadaan demikian tidak perlu disikapi dengan gamang. Sebab, dalam sejarah karya sastra yang benar-benar ”karya sastra” ditulis sebagai panggilan hidup penulisnya. Penulis karya sastra terdorong untuk menulis, bukan sebab iming-iming material dengan berapa ribu novel dan kumpulan cerpennya terserap pasar. Penulis berkarya dengan tujuan agar karya sastra bermanfaat bagi orang lain.

Pendapat ”menulis sebagai panggilan hidup” bisa terdengar klise dan kuno. Namun, pendapat itu justru bermakna sangat mendalam di zaman yang segalanya diukur oleh laba dan rugi seperti sekarang ini. Zaman yang telah menyingkirkan segala aspek kedalaman dan makna. Zaman yang penuh intrik politik dan ekonomi. Pada titik inilah spirit sastra dikembalikan pada arti sesungguhnya mengapa karya sastra sebagai ”karya sastra” harus ditulis dan tetap relevan dibaca. Sebab, karya sastra demikian merefleksikan manusia beserta nasibnya yang tak tentu. Seperti ketidakmenentuan tokoh tua di tengah laut dalam The Old Man and The Sea karya Ernest Hemingway. Pembaca akan tahu manusia tampak mengharukan bukan mereka berhasil mengatasi masalah tapi justru di dalam kegagalannya.

Spirit yang diteguhkan Budi Darma kepada para peserta Mastera kali ini memberi arah dari diskusi sebelumnya yang banyak mempersoalkan masalah teknis penulisan. Para penulis cerpen yang dipilih dari empat negara (Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam), bisa keluar dari kebuntuan teknis yang menghambat. Dari 20 penulis, 10 dari Indonesia, Malaysia (4), Singapura (2), dan Brunei (4), masing-masing menyerahkan cerpennya untuk dibahas bersama-sama. Kendala teknis ini meliputi bahasa dan terbatasnya waktu untuk mempelajari cerpen-cerpen tersebut. Penulis cerpen dari Indonesia sekalipun paham cerpen penulis Malaysia, Singapura, maupun Brunei, tetap ada kendala dalam menghayati karya-karya lantaran kekhasan yang berlaku dalam bahasa masing-masing. Begitu pula para penulis cerpen dari ketiga negara ketika menghadapi cerpen-cerpen karya peserta dari Indonesia.

Namun, ceramah tentang penulisan yang filosofis dari Danarto dan Putu Wijaya yang dibawakan dalam bentuk monolog mengenai penulisan cerpen cukup memberi inspirasi tentang gagasan penulisan cerpen bukan sekadar kemasyuran atau material. Menulis adalah sebuah panggilan hidup. Bukan yang lain.

Perkembangan Cerpen 4 negara

Hal lain yang menarik dari Mastera XII adalah pemaparan para pemandu mengenai perkembangan penulisan cerpen dari negaranya masing-masing. Joni Ariadinata mengatakan bahwa banyak cerpen di Indonesia hari ini belum menunjukkan kualitas yang diinginkan. Cerpen-cerpen tersebut kebanyakan masih mengalami masalah teknis penulisan dan gagasan. Walaupun di Indonesia cerpen yang ditulis mencapai 181.440 per tahun, menurut Joni, tetap sulit mencari cerpen-cerpen yang bagus. Dengan kalimat lain, kesuburan dalam hal produktivitas cerpen tidak paralel dengan kualitasnya. Menurut dia, ini disebabkan kompromi yang diambil penulis untuk menyesuaikan keinginan penerbit atau media massa yang ingin mendapatkan pembaca yang luas. Ini pula yang dialami Joni yang saat ini menjadi redaktur majalah sastra Horison.

Masalah berbeda diungkapkan Mohammad Ghazali Abdul Rashid dari Malaysia. Sastrawan senior dan dosen di berbagai universitas di Malyasia itu menyatakan adanya perkembangan menarik dengan adanya gaya dan teknik dalam penulisan cerpen di negaranya. Perubahan itu banyak mendapat akomodasi dari majalah-majalah sastra yang tumbuh oleh dukungan pemerintah.

Perubahan dalam bentuk penulisan cerpen juga terjadi di Brunei. Menurut paparan Awang Moh. Zefri Ariff bin Md Zain Ariff, seorang praktisi maupun teoritisi seni di sana, perubahan itu dipengaruhi kondisi sosial sesudah perang. Juga, peran universitas yang aktif dalam mendorong perubahan tersebut. Selain itu, pergeseran nilai lokal oleh pengaruh teknologi dan pengetahuan. Meski demikian, perubahan tersebut tetap dalam koridor tanggung jawab moral sepanjang hayat oleh instruksi kerajaan.

Sementara di Singapura perubahan itu terjadi pada arah orientasi dan tentu ini pula yang menjadi penyebab pergeseran penulisan cerpen. Setelah perpisahan dengan Malaysia, maka penulisan cerpen terbawa ke arah pembentukan nilai-nilai nasionalisme.

Menjadi relevan untuk mencanangkan kembali Mastera dengan agenda yang lebih spesifik dalam program-programnya. Pertama, terdapat kecenderungan yang sama-sama menarik, terutama dari segi jumlah (kuantitas) sekalipun belum begitu menggembirakan dalam kualitas. Justru di sini Mastera bisa mengambil peran agar cerpen-cerpen yang ditulis semakin berkualitas. Tentu ini bukan masalah teknis, tetapi memperhitungkan berbagai aspek dari pergeseran sosial di wilayah setempat, budaya, politik, sosial, sehingga pembicaraan menjadi meluas sekalipun tetap berlandaskan pada teks karya sastra. Sebab, pembicaraan teks tanpa diiringi pembicaraan konteks, tidak terbentuk pemahaman yang komprehensif mengenai teks itu sendiri.

Kedua, cara semacam ini akan mempererat jalinan antarpeserta untuk semakin memahami budaya masing-masing, yang mana akhir-akhir ini muncul peristiwa yang CUKUP mengganggu bagi kelangsungan hubungan di antara tiga negara ini. Tentu, peristiwa di luar sastra. ***

Indopos , 2008
Imam Muhtarom, Peserta Mastera XII – 2008.

0 comments:

Post a Comment

 

Buku Saya


Created with flickr slideshow.

Pemilik Blog

.

.

Translate

PageRank