HILANGNYA LAKON BAPAK JANTUK DALAM PENTAS TOPENG BETAWI


Judul: Jantuk, Pertumbuhan dan Perkembangan
Penulis: Yahya Andi Saputra
Penerbit: Wedatama Widya Sastra, Oktober 2017
Tebal: xii + 205 hal.

Perkembangan seni tradisi hari ini dihadapkan pada sebuah dilema. Pada satu sisi sebuah seni tradisi bisa begitu diterima oleh komunitasnya. Hanya saja, pentasnya tidak lagi untuk keperluan komunitasnya dulu, melainkan untuk keperluan hiburan. Pentasnya tidak lagi untuk hajatan dan sedekah bumi bagi warganya yang mayoritas petani, tetapi untuk menyambut pejabat. Pada sisi lain, seni tradisi sudah tidak ada  peminatnya, sehingga sudah sangat jarang anggota komunitas tertarik untuk mengundangnya. Satu demi satu para pelakunya meninggal tidak ada yang meneruskan.
Topeng Betawi sebagai pertunjukan teater tradisi dari Betawi mengalami kondisi yang disebutkan pertama tadi. Seni tradisi ini amat populer—bersama lenong—di komunitasnya. Sayangnya, dalam pertunjukan yang populer di antara acara seremonial di Kantor Gubernur DKI Jakarta atau pentas di kampung, pentas topeng betawi sudah tidak utuh lagi. Dalam pentas tersebut sudah tidak ada lagi apa yang disebut dengan Lakon Bapak Jantuk (LBJ). Pentas Topeng Betawi saat ini didominasi oleh lawakan.
LBJ merupakan lakon satu babak yang berkisah  mengenai keluarga batih (inti) Bapak Jantuk.  Dalam LBJ dibawakan topik kerukunan dalam keluarga. LBJ mengandung pelajaran bagi siapa saja yang akan membina keluarga atau yang telah berkeluarga. Karena itu, dulu calon pengantin di Betawi diharuskan menonton LBJ (hal. 24 dan 37). Lakon ini berpesan agar dalam menjalani hidup berkeluarga untuk tidak gampang marah oleh hal sepele demi kerukunan. Wajar selalu ada masalah dalam keluarga, tetapi harus diselesaikan dengan baik agar tidak berujung pada perceraian.
Dalam lakon ini terdapat Bapak Jantuk, Ibu Jantuk, Jantuk, Teman Jantuk, dan Mertua Jantuk. LBJ ini dipentaskan dalam bagian terakhir dari rangkaian pentas Topeng Betawi, utamanya ketika masih pentas di tanah pada tahun 1980-an. LBJ muncul pada jam 2 atau 3 dini hari tatkala lakon utama pada Topeng Betawi berakhir. 
Momen dini hari tersebut merupakan waktu yang hening ketika malam turun menjelang pagi. Secara tradisional, waktu dini hari merupakan waktu yang tepat untuk merenungkan hal-hal yang filosofis secara kontemplatif. Hal ini bisa dibandingkan pada wayang kulit yang menempatkan bagian goro-goro disusul adegan para tokoh kebaikan mengalahkan para tokoh kejahatan.  
Kisah Jantuk
Pakem LBJ sifatnya tetap dan dipentaskan berulang-ulang. Kisahnya berupa Bapak Jantuk yang cerai gara-gara kepala ikan peda hilang dicuri kucing. Bapak Jantuk melampiaskan amarahnya kepada Ibu Jantuk. Pertengkaran ini berujung pada perceraian. Selama perceraian ini Bapak Jantuk merasa kesepian dan rindu pada anak dan istrinya. Bapak Jantuk lalu rujuk dengan Ibu Jantuk untuk membina keluarga.  
LBJ dipentaskan teater Topeng Betawi bersama kepiawaian Bapak Jantuk dalam menari, menyanyi, berpantun, bermonolog, dan dialog. Dalam buku ini kepiawaian membawakan Lakon Bapak Jantuk para maestro Topeng Betawi belum terkalahkan oleh pemain saat ini. Maestro Topeng Betawi seperti Haji Bokir, Kacrit dari Bekasi, Kecil, Haji Bodong aktor panggung Topeng Betawi yang belum tertandingi. Sementara itu, pemain Topeng Betawi hari ini seperti Amung, Atien Kisam, Nomir, Andi Kubil, Sabar, dan Ongkin belum sesempurna para seniornya (hal. 126-127).  
 LBJ, dalam riset Yahya Andi Saputra, keberadaannya sudah mencapai 100 tahun lebih. Dalam penelitian ini disebutkan pada 1915-1916, ketika Jeun dan istrinya, Kinang, membuat LBJ menggantikan lakon Pentul. Di buku ini dijelaskan bahwa jantuk berarti spontan dan tangkas dalam berdialog (hal. 2). Sementara itu, ciri jantuk yang penting adalah pemakaian kedok atau topeng yang bagian dahinya menonjol (nongnong) oleh Bapak Jantuk. Nongnong ini juga menjadi sebutan untuk jantuk (hal. 39). Sayang, buku ini tidak menjelaskan secara berkaitan antara jantuk sebagai sebuah dialog yang tangkas dan jantuk sebagai bentuk menonjol pada dahi topeng.

Kehilangan Fungsi
Saat ini   LBJ hilang dalam pentas Topeng Betawi. Yang bertahan dalam pentas Topeng betawi adalah tari, nyanyi, dan bodoran atau lawakan. Untuk lakon pun kadang-kadang sudah digantikan dengan bodoran. Yang tersisa dalam pentas hanya yang ringan dan sekadar memberikan hiburan kepada para penonton. Padahal, dalam riwayatnya, Topeng Betawi adalah pertunjukan yang dipercaya orang Betawi mengandung makna sakral. Kerapkali pentas Topeng Betawi dimaksudkan untuk bayar nadzar oleh orang Betawi. Bayar nadzar harus dilaksanakan agar terhindar dari malapetaka di kemudian hari. Dalam pentas yang sakral pertunjukan Topeng Betawi ditampilkan secara lengkap.
Hilangnya nilai sakral dalam Topeng Betawi ini pertama-tama disebabkan oleh perubahan komunitasnya. Sebagaimana dicatat Yahya dalam buku ini, penonton semata-mata mementingkan hiburannya tatkala datang ke pentas Topeng Betawi (hal. 147).
Hilangnya LBJ ini juga disebabkan seniman muda kurang memahami fungsi dan makna lakon ini. Seniman muda orientasinya pada hiburan sehingga tidak sungguh-sungguh merawat Topeng Betawi sebagai basisnya. Kehadiran dunia hiburan seperti menjadi pemain sinetron di televisi memberi andil kepada ketidaksungguhan merawat tersebut. Karena itu, seniman pembawa LBJ tidak lagi menguasai pakem sehingga pentas menjadi ala kadarnya (hal. 146). Dampaknya, penonton semakin memiliki alasan untuk tidak menyukai unsur cerita dalam pentas Topeng Betawi, khususnya LBJ.
Pentingnya buku LBJ ini adalah mengingatkan kepada komunitas Betawi bahwa ada yang hilang dalam pentas topeng betawi yang mereka banggakan itu. Topeng betawi tidak hanya berisi lelucon belaka yang membuat penonton tertawa terpingkal-pingkal, tetapi ada pelajaran moral dan sosial yang luhur berkaitan dengan keluarga. Buku ini berguna sebagai dokumentasi LBJ. Adanya buku karya Yahya ini memungkinkan untuk merekonstruksi pentas topeng Betawi lengkap dengan LBJ. 
Hanya saja, penelitian ini tidak mengungkapkan data secara detail terkait pentas Topeng Betawi yang di dalamnya ada LBJ. Peneliti menginformasikan bahwa riset ini dilakukan di Sanggar Putra Budaya, Bekasi (hal. 24) yang dilakukan selama  3 tahun. Namun peneliti tidak memberi informasi pentas kapan saja yang dijadikan objek penelitian dan pihak mana yang mengundang pentas tersebut.
Adanya informasi tersebut akan menunjukkan secara akurat keberadaan LBJ dalam pentas Topeng Betawi. Apabila pentas Topeng Betawi yang mengandung LBJ hanya diundang oleh lembaga swasta yang peduli LBJ (sebagaimana ada di data foto pentas), bisa dikatakan LBJ memang telah hilang dalam komunitas Betawi. Sebab adanya LBJ dalam pentas Topeng Betawi lantaran dalam kerangka pelestarian. Sebaliknya, apabila undangan dilakukan oleh komunitas Betawi sendiri berarti masih adanya fungsi LBJ dalam komunitasnya.
Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi dan tradisi lisan. Posisi Yahya Andi Saputra sebagai orang Betawi, seharusnya bisa memasukkan pengalaman menontonnya semenjak kecil terkait dengan LBJ. Pengalaman itu akan memberi kekayaan data yang berharga. Sebagai sebuah penelitian etnografis, memasukkan unsur pengalaman tersebut dimungkinkan.
Di luar itu semua, ini buku yang berharga bagi komunitas Betawi maupun khazanah keilmuan tradisi lisan. Bagi orang Betawi mereka diingatkan akan bagian Topeng Betawi yang berharga yang telah hilang. Kemudian bagi tradisi lisan ini merupakan tantangan bagaimana seni tradisi menghadapi kepunahan di tengah megapolitan Jakarta.***

Penulis: Imam Muhtarom, peneliti tradisi lisan dan kurator Borobudur Writers & Cultural Festival.
      
 Terbit di Kompas, Sabtu, 12 Mei 2018


0 comments:

Post a Comment

 

Buku Saya


Created with flickr slideshow.

Pemilik Blog

.

.

Translate

PageRank