Menggali Kuburan Sejarah 1965


Buried Histories; The Anticommunist Massacres of 1965-1966 in Indonesia

Penulis: John Roosa

Penerbit: University of Wisconsin Press (2020)

Tebal: xvii + 352

 

Buku terbaru John Roosa menyebut tentara sebagai aktor penting pembantaian Partai Komunis Indonesia pada 1965-1966. Pembantaian itu melibatkan pelbagai kelompok Kanan.


Pembantaian orang-orang Kiri setelah Gerakan 30 September 1965 menurut John Roosa dalam buku terbarunya bukan peristiwa lokal, apalagi kejadian spontan yang terjadi secara horisontal. Pembantaian itu berskala nasional, direncanakan, dan terorganisir rapi dengan sasaran yang sudah jelas, yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta pendukungnya. Peristiwa itu melibatkan pelbagai kelompok yang diorkestrasi menjadi destruksif dan massal dalam membabat golongan Kiri. Kelompok-kelompok itu berasal dari militer dan sipil yang memiliki orientasi pandangan Kanan.


John Roosa menggunakan banyak data sejarah lisan yang dia gali di Jakarta, Jawa Tengah, Bali, dan Sumatera. Ia tidak hanya mewawancarai pihak korban, juga para pelaku pembantaian dari kalangan sipil. Para pelaku ini pun dibedakan antara yang berkepentingan dan terlibat secara tidak sengaja. Intensitas dalam hal kepentingan ini menentukan informasi seperti apa yang kemudian diutarakan oleh narasumber. Dalam hal ini John Roosa tak hanya piawai merajut data, juga peka terhadap data yang diperoleh.


Yang perlu diperhatikan, pembantaian itu tidak terjadi secara serentak di setiap provinsi di Indonesia dan tidak terjadi di semua provinsi. Pembantaian di Solo terjadi di pekan terakhir Oktober 1965, sedangkan di Bali terjadi pada November 1965. Sementara itu, di Jawa Barat, Riau, dan Sumatera Barat tidak terjadi pembantaian massal. Dari sisi kelembagaan, ada yang sasarannya pemerintahan daerah (Solo dan Bali) beserta pendukung Kiri, lalu ada target yang semata-mata perusahaan (Palembang).


Indonesianis dari University of British Columbia, Kanada ini menyebut aktor penting pembantaian massal ini adalah tentara, khususnya Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Di Solo pembantaian diawali dengan kedatangan RPKAD di bawah kendali Kolonel Sarwo Edhie pada 22 Oktober 1965. Sebelum tanggal itu Solo bisa dibilang aman. Justru kelompok Kiri yang menguasai Solo saat itu—wali kota dan militer—melakukan antisipasi agar tidak terjadi bentrok massa. Koordinasi antara tentara setempat yang pro-Kiri dan Pemerintah Kota Solo menjadikan kota kelahiran PKI ini aman.


Dalam buku ini, John Roosa membahas pembantaian massal yang terjadi di Solo, Bali, dan Palembang. Pembantaian massal tersebut terkait persaingan antara PKI dan Angkatan Darat semasa pemerintahan Demokrasi Terpimpin. Perolehan suara besar PKI pada Pemilihan Umum 1955 dan 1957 yang memasukkannya ke dalam empat besar, bersama Partai Nasional Indonesia, Nahdlatul Ulama, dan Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia.


Ketidaksukaan Angkatan Darat (AD) terhadap PKI sudah mengakar sejak 1920 dengan pemberontakan terhadap Belanda atau kepada Indonesia pada 1948. Ketidaksukaan ini sangat terbuka sehingga semua tahu Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal Abdul Haris Nasution benci PKI. Kemenangan PKI di pemilu direspon AD dengan konsep Tentara dan Teritorium (TT) sekalipun latar belakangnya adalah ketahanan di tengah Perang Dingin. Struktur TT ini menjadikan militer memiliki jaringan kekuasaan yang bersifat nasional hingga dalam satuan terkecil di tingkat kecamatan (Komando Rayon Militer).


PKI menanggapi TT dengan menanamkan orang-orangnya ke tubuh militer. Program Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan dianggap berhasil dan menumbuhkan kepercayaan diri PKI bahwa tak akan ada serangan dari militer yang mematikan PKI. Kealpaan PKI, sekalipun elite AD telah mereka dekati, lapisan militer di Komando Daerah Militer (Kodam), Komando Resor Militer (Korem), dan Komando Distrik Militer (Kodim) tidak mereka pahami dengan baik. Faktanya, pembantaian dilakukan dengan kerjasama militer di tingkat ini. Adapun, elite AD pro-PKI tak berfungsi setelah Peristiwa G-30-S. 


Pembantaian di Solo dan Jawa Tengah berbeda dengan yang terjadi di Bali. Pembantaian orang PKI di Bali terjadi pada pertengahan November 1965. Selama Oktober 1965 tidak ada gejolak di masyarakat. Panglima Kodam XVI/Udayana yang meliputi Bali dan Nusa Tenggara Barat Brigadir Jenderal Sjafiuddin menginstruksikan agar PKI berdiam diri sehingga tidak timbul gesekan dengan kalangan Kanan. Kebijakan Gubernur Bali Anak Agung Bagus Sutedja saat itu pun sejalan dengan Kodam.


Hanya saja, pimpinan PNI yang anti-komunis meminta RPKAD datang ke Bali untuk menghabisi PKI. RPKAD dengan mudah melewati garis komando Kodam melalui cara bekerjasama dengan Korem Bali yang dipimpin Letnan Kolonel Soekarman. Korem ini membawahi beberapa Kodim di Bali. Dari situlah pembantaian massal di Bali tidak terkendali dilakukan para milisi sipil Kanan, terutama dari PNI. Suharto mengganjar Soekarman dengan jabatan gubernur Bali selama 10 tahun sejak 1967.  Tragisnya, selain pembantaian massal di Bali itu, Sutedja diculik oleh tentara di Jakarta dan tidak pernah kembali.


IMAM MUHTAROM, KURATOR BOROBUDUR WRITERS AND CULTURAL FESTIVAL


Terbit di Majalah Tempo, 20 September 2020


0 comments:

Post a Comment

 

Buku Saya


Created with flickr slideshow.

Pemilik Blog

.

.

Translate

PageRank